Sinetron berjudul "Kau Yang Berasal Dari Bintang" saat ini tengah menuai kontroversi. Sinetron buatan Sinemart ini dituding sangat mirip dengan drama asal Korea buatan SBS berjudul Byeoreseo on geudae (별에서 온 그대) atau lebih populer dengan nama You Who Came from the Star atau My Love from the Star. Kontroversi ini sudah dimuat di berbagai media baik lokal maupun internasional hingga sampai ke Korea sana. [caption id="attachment_305437" align="aligncenter" width="300" caption="nonews.com"][/caption]
Saya bukan penggemar sinetron, malah selalu menghindarinya. Saya bukan pula penggemar drama Korea karena selera saya memang tidak terlalu menggemari kisah-kisah percintaan seperti itu. Tapi fenomena ini sangat menarik karena saya sudah menonton ke seluruh 21 episode drama ini sekaligus berhadapan dengan penayangan sinetron lokal yang ironisnya berjudul sama. Respon saya melihat penayangan iklan dan sampai saat saya menulis ini, sudah 3 episode, saya benar-benar menertawakan kemiskinan kreativitas yang dimiliki si pembuat sinetron. Bagi saya, respon pertama dan paling terbaik melihat sinetron ini adalah dengan menertawakannya. Saya perlu menerima kenyataan bahwa ini adalah praktek plagiarisme paling memalukan dari yang pernah ada di sinetron-sinetron Indonesia. Ada klaim dari fanbase Nikita Willy yang mengatakan kalau sinetron ini sudah membeli lisensi drama aslinya (bisa disimak di tautan ini). Namun saat saya menonton sinetronnya, tidak satupun saya menemukan semacam klaim hak cipta (copyright claim) adaptasi yang dimaksud baik di bagian pembuka maupun penutup sinetron tersebut.Dan pada akhirnya SBS sendiri memberi konfirmasi (bisa disimak di tautan ini dan ini) bahwa sinetron Kau Yang Berasal Dari Bintang adalah hasil jiplakan bukan adaptasi resmi. Bicara soal adaptasi, salah satu contoh yang bisa saya tampilkan adalah antara Super Sentai dengan Power Rangers. Di setiap bagian akhir acara selalu dimunculkan klaim adaptasi tersebut. [caption id="attachment_305426" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pri"]
[caption id="attachment_305427" align="aligncenter" width="300" caption="Dok. Pri"]
Klaim adaptasi itu penting sehingga tidak dianggap "plagiat" atau menjiplak. Pada kasus Power Rangers sendiri, justru pihak Toei selaku pemilik Super Sentai turut serta membantu produksi versi adaptasinya. Di Indonesia, batas adaptasi dan menjiplak sangat kabur. Beberapa memang saya temukan ada klaim seperti yang di atas, tapi kebanyakan justru tidak ada sama sekali. Sudah banyak sinetron-sinetron yang diproduksi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan produksi-produksi dari luar negeri entah itu dari sisi plot, karakterisasi, setingan, maupun tema yang diusungnya. Perbedaan mencolok hanya pada penyesuaian latar atau pelokalan setingan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan penonton lokal. Daftar sinetron-sinetron adaptasi bisa dilihat di halaman Wikipedia Daftar Adaptasi Sinetron. Kembali ke sinetron Kau Yang Berasal dari Bintang, ketiadaan klaim hak cipta tersebut membuat saya bertanya, ini langkah berani, modal nekat, atau bagaimana? [caption id="" align="aligncenter" width="225" caption="Dok. Pri"]
Sinetron saat ini tidak memiliki orientasi yang benar-benar menghibur apalagi mendidik. Ini hanya semacam bukti nyata yang sudah berkali-kali muncul kalau produser sinetron tidak peduli dengan mental penontonnya (baca: pembodohan yang disengaja). Apalagi dengan memperlihatkan aksi tidak kreatif dan memalukan seperti ini. Mungkin saya terlalu bermimpi, tapi saya ingin momen seperti ini menjadi ajang introspeksi menyeluruh. Saya selalu memimpikan produk dalam negeri yang memang sangat bermutu dan memang layak dipuji karena kualitasnya, bukan sebuah produk ecek-ecek yang cuma peduli permintaan pasar (film horor semi porno, komedi vulgar, acara joget-joget tanpa tujuan, sinetron episode super panjang tanpa tahu kapan tamatnya, dan lain-lain). Apalagi jika produk tersebut memang produksi asli dalam negeri tanpa embel-embel adaptasi apalagi jiplakan. Biarkan saja Korea atau negara lainnya menjadi trendstter toh mereka juga bisa seperti itu karena kerja kerasnya, kenapa kita tidak bisa? Intinya memang kembali pada mentalitas produk hiburan itu sendiri, mau dibawa ke mana orientasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H