Mohon tunggu...
Edo Chandra
Edo Chandra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kadang kita berfikir berulang2 sebelum menentukan keputusan.. Bahkan kita kembali lagi setelah keputusan kita ambil.. yang membuat kita terus memutar2 perahu kehidupan kita.. hingga membuat perahu kita kehabisan bahan bakar sebelum sampai tujuan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wulandari

25 Agustus 2014   19:15 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bersimbah darah seorang gadis muda. Tertelentang dengan mata masih terbuka. Telah kering darah di pelipis kanannya. Tepat di ujung mata yang biasanya memancar indah.

Tak pelak, ramailah rumah di posisi tusuk sate pertigaan jalan Senalang. Dua pria dengan tangan terborgol tertuduh menjadi tersangka pembunuhan Wulandari. Motif sementara, pembunuhan dilakukan secara tidak sengaja setelah kedua pelaku gagal melakukan perkosaan terhadap gadis pujaan.

***

Raung sirine menggema di setiap pelosok lembaga pemasyarakatan. Seorang Narapidana diketahui melarikan diri melompati pagar kawat setinggi dua ekor kuda. Beberapa petugas dengan seragam abu-abunya tampak sigap mengejar warganya yang menolak dibina. Sedang lainnya memastikan hanya satu saja yang dapat lolos dari jeruji.

Beberapa tapak kaki jelas menjejak di pematang sawah belakang Lapas. Beberapanya menapak dalam di sawah yang gelap. Namun purnama yang terang tak banyak membantu petugas menemukan Rendi. Tubuh besarnya menyimpan energi yang jauh lebih banyak. Prestasi lari marathon jelas sangat berguna baginya saat ini.

Rendi sampai di rumahku dengan kaki penuh lumpur. Tak diketuknya pintu depan rumah. Ia lebih memilih mengetuk lirih jendela ruang keluarga. Karena ia tahu betul aku selalu tidur dengan televisi yang masih menyala di ruang keluarga. Jelas ia tak ingin mengambil resiko diketahui oleh penjaga malam yang mengetuk tiang listrik setiap dua jam.

Aku membukakan pintu belakang. Melupakan rasa terkejutku melihat kawan yang terakhir kulihat tiga bulan yang lalu di kursi pesakitan. Aku menyuruhnya membersihkan diri. Sedang aku mempersiapkan dua gelas kopi torabika yang biasa kami tenggak berempat. Aku tahu betul, tentu banyak hal yang ingin diceritakan oleh Rendi. Terlebih tentang pembunuhan yang dituduhkan dan pelariannya.

***

Beberapa kali pintu diketuk. Aku tahu benar itu bukan ketukan orang yang ingin bertamu. Terlebih pada jam satu dini hari. Ketukan pintu itu lebih seperti polisi yang bermaksud menggerebek pabrik narkoba. Atau ketukan dari seorang istri yang menangkap basah aksi perselingkuhan suaminya. Sebuah hal yang tak tabuh di seputaran jalan Senalang.

Gemetar pula aku dibuatnya. Tak pernah terlintas dipikirku ditangkap polisi atas tuduhan menyembunyikan narapidana yang melarikan diri. Tapi ia sahabatku. Tak mungkin pula aku justru membantu meringkusnya.

Rendi pun tak kalah kalang kabut. Kami saling tatap, berusaha berkomunikasi dengan raut wajah.

Semuanya berhasil, Rendi bersembunyi di dalam tedmon kosong. Tepat seperti yang ku pikirkan. Bersembunyi di tempat yang biasa kami gunakan bermain petak umpet semasa kecil.

Aku menarik nafas panjang. Rambut sedikit kuacak. Berharap menyisakan kesan orang yang baru bangun tidur. Dengan memikirkan sedikit jawaban penjelasan, perlahan kubuka pintu yang masih tetap diketuk setiap selang lima detik.

Bukan satu pasukan. Bukan pula pria bersenjata lengkap. Perawakannya tak terlalu besar dengan seragam yang tak juga rapi.

Bukan seragam kepolisian. Bukan pula seragam petugas Lapas. Pria itu pun sangat kukenal. Heri dengan seragam hijau khas pasien rumah sakit.

Dengan nafas sisa ketakutan, bercampur dengan rasa terkejut, aku menyegerakannya masuk. Jelas baju rumah sakit itu terlalu tipis di malam yang dingin untuknya yang tampak tak sehat.

Ku seduh lagi segelas kopi hangat. Melengkapi dua gelas kopi sebelumnya yang tinggal separuh. Heri dan Rendi telah memulai runtutan kisah. Meski harusnya mereka telah puas berbagi cerita ketika di dalam penjara.

Aku pun baru tahu ternyata Heri di rawat di Rumah sakit minggu lalu. Ia mencoba bunuh diri dengan mengiris nadinya. Ia menggunakan sendok yang ia asah menjadi pisau.

Ia merasa sangat berdosa. Pembunuhan itu merupakan kekhilafan terbesarnya. Terlebih gadis yang ia bunuh adalah Wulandari, satu-satunya wanita dalam ruang persahabatan kami.

***

Berkisahlah dua orang sahabatku tentang mulanya mereka membunuh. Rendi memulai kisah dari malam yang tampak mendung. Tak terlihat bintang dan bulan sabit yang harusnya mempersolek langit malam.

Keduanya tampak asyik diperdaya beberapa botol miniman beralkohol. Bercengkrama hangat di ruang tamu rumah Wulandari, tempat biasa kami menghabiskan malam minggu.

Rendi jelas mabuk berat malam itu. Mukanya mulai memerah. Tak lulus ujian masuk kepolisian telah membuatnya kehabisan akal. Alkohol menjadi solusi terbaik baginya.

Wulandari dengan baju hitamnya mungkin tampak menggoda malam itu. Terlebih dihadapan pria yang sedang mabuk kepayang. Karena ketika tak mabuk pun, tentu kecantikannya menjadi pemikat bagi banyak pria, baik yang setia maupun hidung belang.

Bagaimana tidak, rambutnya panjang hitam arang. Kulitnya mulus kuning khas duku komering. Tuturnya pun begitu baik. Santun kepada yang lebih tua, akrab pada sesama. Alasan klasik yang membuat para pria menyimpan ruang hati untuknya.

Rendi mulai kehilangan akal. Jelas alkohol merenggut jalan pikirnya. Ia berbisik pada heri untuk menyeret Wulandari ke dalam kamar. Berbagi tubuh gadis cantik membuat heri mengiyakan hasrat buruk sahabatnya.

Wulandari melawan. Berkali-kali ia berusaha menyadarkan tindakan keduanya. Namun tubuhnya yang merontah bersambut pukulan keras botol minuman di kepala. Wulandari terkapar bersimbah darah.

***

Sirine polisi menjerit di pagi buta. Bahkan adzan subuh pun belum terdengar lantangnya. Namun sebuah rumah yang biasa dihuni seorang pria telah ramai disesaki.

Beberapa polisi menggiring pria ke dalam mobil kedinasannya. Tidak tiga orang, hanya satu orang. Dua lainnya dibawa pria berseragam putih. Tidak ke dalam mobil polisi, namun kedalam mobil ambulan.

Aku menjadi tersangka pembunuhan. Kedua sahabatku tewas dengan belasan luka tusukan. Sebuah balasan pantas bagi pembunuh kekasih yang baru dua hari kupacari, Wulandari.

Lubuklinggau, 13 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun