“Mawar yang ku taburkan semerbak menyelubungi lagit sendu. Mendung membawa angin dingin meniup kelopak mawar dengan daun hijaunya. Beberapa helai kelopak kamboja diatas pusara berguguran. Memberikan putih diatas merah mawar yang basah. Titik-titik hujan mulai membumi. Sedikit demi sedikit aku basah lalu pergi.”
Kutipan dari cerpenku yang berjudul yang meraih juara tiga lomba menulis tingkat provinsi Sumatera Selatan. Aku bahagia bukan kepalang. Cerpen pertama yang aku ikutkan dalam sebuah kompetisi menulis langsung meraih juara. Meski hanya juara ketiga.
Aku sangat suka menulis. Sejak SMP aku dan dua orang teman sekelasku, Irene dan Tasya seringkali saling bertukar surat. Membicarakan Pak Suwarno, guru Matematika yang super galak. Menggosipkan Putri yang menjadi “Ratu Gosip” di sekolah. Ataupun curhat tentang Randi, Ketua OSIS yang sangat aku kagumi.
Hingga aku di bangku SMA saat ini pun aku masih suka menulis. Walaupun tidak lagi menulis surat untuk teman-temanku. Karena sejak lulus SMP kami berpisah tanpa tahu alamat masing-masing.
***
“Cerpenmu sangat indah. Aku sangat menyukainya. Aku sangat ingin membaca karya-karyamu lagi. Semoga kita bisa menjadi sahabat, ya. Salam hangat, Irene”
Sebuah surat pembaca kuterima. Wah, rasanya sangat bahagia membaca surat pertama dari pembaca cerpenku. Motivasi untuk menulisku meledak luar biasa.
Akupun menginginkan untuk bersahabat dengan pembacaku. Suratnya langsung ku balas.
“Dear, Irene. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca karyaku. Dan namamu sama dengan nama sahabatku, Irene. Semoga kita bisa menjadi sahabat yang baik, ya” Jawabku dalam surat yang ku masukkan dalam amplop biru muda.
Dua hari berlalu. Pak Pos menghampiri kotak suratku. Aku yang sedari tadi mengintip dari jendela segera bergegas menghampiri. Surat beramplop biru kuterima. Ya, itu surat yang kukirimkan. Keterangan yang tertera pada form pengiriman menunjukkan “rumah kosong”.
Pak pos menyerahkan surat yang kedua. Surat yang terbungkus amplop kuning bermotif bunga mawar. Di salah satu sisi amplop tertulis nama Irene.
“Suatu kebetulan namaku sama dengan nama sahabatmu. Aku yang berharap menjadi sahabatmu ternyata telah menjadi sahabatmu dimasa yang lalu. Oh ya. Bisakah kamu mengirimkan karyamu lagi padaku? Aku sangat ingin membaca karyamu lagi” Tulis Irene dalam suratnya.
Aku termangu. Surat yang ku kirimkan tidak sampai kepada Irene, tapi Irene menjawab suratku. Tapi aku tak memperdulikannya.
“Mawar itu mekar lagi. Tak tersisa lagi kuncup mungilnya. Embun membawa titik-titik basah. Sebarkan semerbak di pagi buta.” Aku menulis lagi. Beberapa bait puisi yang khusus ku buat untuk Irene.
Beberapa hari setelah surat itu kukirim, dua lembar surat kembali kuterima. Satu surat dengan amplop berwarna biru muda yang aku kirimkan bertulis “rumah kosong”. Dan Surat berwarna kuning bermotif mawar dari Irene. Lagi, suratku tidak terkirim tetapi Irene menanggapi suratku dengan tepat.
Aku mulai bingung. Aku berinisiatif untuk menemui Iren di alamat yang tertera pada Amplop yang dikirimkan Irene. Jl. Mawar nomor 40 Kota Lubuklinggau. Ya, aku tau itu adalah sebuah kota kecil paling barat Provinsi Sumatera Selatan. Seorang temanku tinggal disana.
***
Cuaca agak mendung siang itu. Sisa hujan semalam membekas pada aspal yang masih basah. Hiruk pikuk stasiun kecil menyambutku hangat. Aku sampai di Kota Lubuklinggau.
Tas punggung tak terlalu besar hanya kuisi dengan beberapa helai baju. Aku tak berniat berlama-lama di kota orang. Aku hanya ingin bertemu Irene.
Seorang temanku telah menunggu di halaman parkir dengan motor vespa hijaunya. Ia mengantarkanku pergi dengan seikat mawar di tanganku yang kusiapkan khusus untuk kuberikan pada Irene.
Tak jauh juga jarak stasiun dan alamat rumah Irene. Aku sampai di sana dalam waktu 15 menit.
Aku terperangah. Rumah Irene adalah rumah yang tidak cukup besar dengan rumput yang meninggi dan akar tanaman sebagai penghiasnya. Sebuah rumah tua dengan latar belakang Bukit Sulap – ikon kota lubuklinggau – yang menjadi satu-satunya hal yang membuatnya indah. Rumah Irene adalah sebuah rumah yang sudah lama tak berpenghuni.
Aku dan Romi mengitari sejenak rumah kosong itu. Wangi bunga begitu akrab tercium. Bagaimana tidak, beraneka ragam bunga tumbuh liar tanpa terawat. Kelopaknya berguguran menutupi hampir seluruh tanah. Benang sari dan kepala putiknya beterbangan menumbuhkan bunga-bunga mungil.
Langkah kami terhenti ketika sampai di sisi kanan rumah. Sebuah pusara melintang di bawah pohon bunga kamboja. Lahir : 9 Mei 1991, Wafat : 5 Desember 2012. Nama Irene tertulis di situ. Iren telah meninggal dunia satu tahun yang lalu.
Aku melangkah menghampirinya. Tanpa berkata apapun, mawar yang ku bawa ku taburkan dipusaranya.
Mawar yang ku taburkan semerbak menyelubungi lagit sendu. Mendung membawa angin dingin meniup kelopak mawar dengan daun hijaunya. Beberapa helai kelopak kamboja di atas pusara berguguran. Memberikan putih di atas merah mawar yang basah. Titik-titik hujan mulai membumi. Sedikit demi sedikit aku basah lalu pergi.
Lubuklinggau, 5 Desember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H