KEMOLEKAN Nusa Tenggara Timur (NTT) banyak mengundang decak kagum. Salah satunya adalah Danau Kelimutu. Keajaiban tiga danau tersebut adalah bisa berubah-ubah warna. Hijau, merah, kadang gelap. Cerita itu saya dapat dari paparan Lissabrina Pasla, presenter dalam acara ‘Mutu Manikam’ di stasiun televisi TVOne, Minggu (9/1/2012), berkisar 09.10-09.15 WIB. Sebelumnya saya juga pernah melihat di berbagai literatur termasukmajalah dan surat kabar yang terbit di Jakarta. Lewat ‘Mutu Manikam’ menjadi terasa lebih dekat dengan keindahan dana tersebut. Bahkan, kian kuat dorongan untuk mengunjungi secara langsung ke NTT. Sang presenter pun menceritakan keindahan panai-pantai yang ada di Flores. Deburan ombak, birunya air laut, ddan putihnya pasir pantai, membuat takjub siapa pun yang memandang. Sang presenter sempat bermandi air laut. Kaos warna putihnya kuyup oleh air laut. Menjadi transparan.
Nah, pada bagian perjalanan mengunjungi Flores yang dalam bahasa Portugis berarti bunga itu, sang presenter berkisah sambil mengendarai sepeda motor. Sendirian. Tanpa helm dan dan bersepatu sandal alias sepatu gunung. Entah karena agar lebih mudah wajahnya terlihat oleh pemirsa televisi, atau karena kurang faham risiko bersepeda motor, saya tidak tahu. Barangkali sang produser menganggap lumrah bersepeda motor tanpa helm. Saya jadi ingat regulasi yang mewajibkan setiap pengendara sepeda motor memakai helm. Dalam Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLA) ditegaskan bahwa setiap pengendara dan penumpang sepeda motor wajib memakai helm. Kualitas helmnya pun ditentukan yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Siapa pun, bakal kena sanksi. Tinggal pilih, denda maksimal Rp 250 ribu, atau sanksi pidana kurungan badan maksimal satu bulan.
Ok lah kalau soal regulasi terlupakan. Tapi, soal risiko rasanya mesti kita ingat betul. Helm sebagai pelindung kepala bermanfaat untuk mengurangi fatalitas manakala terjadi insiden kecelakaan. Kita semua tahu, benturan sekecil apapun di kepala bisa berakibat cukup serius. Terpenting, ini sih bagi saya, televisi mesti menjadi panutan bagi pemirsanya. Jangan sampai, barangkali dianggap sepele, bersepeda motor tanpa helm menjadi lumrah di masyarakat kita. Kalau hal yang dianggap sepele aja tidak bisa dilakoni, bagaimana untuk hal besar?
Program siaran televisi bisa memengaruhi pemirsanya. Gampang untuk melihat indikator itu. Tengok sekeliling kita, gaya hidup kita, pertumbuhan anak-anak di sekitar kita. Bahkan, memanasnya suhu politik nasional juga bisa bersumber dari tayangan televisi.
Salah satu yang bisa jadi indikator penting soal kekuatan televisi adalah soal iklan. Terbukti para produsen berbondong-bondong memasang iklan di televisi. Buat apa buang uang segudang kalau gak yakin bahwa beriklan di televisi bakal berdampak baik bagi produk yang diiklankan. Oh ya, kue iklan televisi menyedot porsi terbesar belanja iklan di Indonesia. (edo rusyanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya