Keberanian itu sirna ketika menatap jernih dua bola mata sikecil. Wajah polos tanpa dosa balita itu, menyeret dalam keheningan. Menggedor nurani yang selama ini membalut kehidupan di metropolitan. Si buah hati meluluhkan egoisme yang selama ini menemani kemana-mana. Keberanian itu harus disimpan rapat-rapat. Keberanian tanpa perhitungan, konyol. Ya. Keberanian menerabas kemacetan lalu lintas jalan dengan melintas di jalur bus (busway) milik armada Transjakarta. Keberanian melintas di trotoar jalan. Keberanian ber-zig-zag ria di tengah antrean kendaraan. Keberanian menerabas lampu pengatur lalu lintas ketika berwarna merah. Keberanian untuk melawan arus kendaraan. Keberanian melintas di bahu jalan. Mungkin ’keberanian’ itu tak layak disebut keberanian seorang ksatria. Lebih pas disebut nekat. Hanya demi kepentingan sesaat, ingin lebih cepat tiba ditujuan. Kini, keberanian itu dibaringkan dalam kamar yang terkunci rapat. Keselamatan saat di jalan lebih utama ketimbang kecepatan yang bisa menuai nestapa. Kita boleh nyinyir kepada perilaku buruk saat berlalu lintas jalan, yakni ego demi kepentingan pribadi. Tapi kita boleh memuji mereka yang peduli dan mau berbagi ruas jalan. Mereka adalah para pemberani sesungguhnya. Saya percaya, mereka memahami makna penantian pulang dengan selamat ke rumah dari orang-orang yang tercinta. (edo rusyanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H