BANYAK pertanyaan diarahkan ke saya. Kenapa sih mengurusi ‘hal kecil’ di jalan raya? Ngapain kelompok saya ngoprek hal-hal remeh temeh? Salah satunya soal berhenti di belakang garis setop atau garis putih.
Awalnya, saya bingung juga soal definisi ‘hal kecil’. Saya coba memahami pandangan tersebut. Ternyata sulit juga. Sulit mengerti kalau untuk ‘hal kecil’ saja tidak bisa disiplin. Bagaimana dengan hal besar?
Kebiasaan mengabaikan hal kecil rasanya bisa berbuah kekeliruan yang besar. Misal, kalau kita sudah sulit mengikuti aturan yang dianggap remeh temeh, yakni berhenti di belakang garis setop, bagaimana mengikuti aturan besar seperti membayar pajak?
Kembali ke soal dinamika jalan raya. Bagi saya, berhenti di belakang garis setop adalah langkah awal melatih disiplin. Sebuah latihan untuk menghadapi ujian yang lebih berat, seperti godaan melintas di trotoar jalan atau di jalur busway milik Transjakarta.
Apalagi, Undang Undang (UU) No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di pasal 106 ayat (4) menegaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: a. rambu perintah atau rambu larangan; b. marka jalan; c. alat pemberi isyarat lalu lintas; d. gerakan lalu lintas; e. berhenti dan parkir.
Oh ya, pengertian marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
Para pelanggar aturan itu bisa terancam sanksi lumayan serius. Coba simak di UU No 22 tahun 2009 pasal 287 ayat (1) yang menegaskan bahwa
setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf a atau marka jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu.
Memang, kadang ada diskresi pak polisi yang meminta pengguna jalan berhenti di depan garis putih. Itu soal lain. Diskresi memang harus dipatuhi. UU menempatkan diskresi sebagai aturan yang harus diikuti para pengguna jalan. Tapi, ketika petugas tidak ada, kadang pemakai jalan membuat diskresi sendiri.
Di luar diskresi, rasanya ujian terhadap rasa sabar di jalan raya harus dijalani dengan maksimal. Sabar menanti lampu pengatur lalu lintas jalan berganti hijau. Kebiasaan menaati aturan lalu lintas jalan menjadi penting untuk mereduksi potensi kecelakaan. Saya termasuk yang sepakat pernyataan ini, ‘kecelakaan kerapkali diawali oleh pelanggaran aturan.’ Sepakat? (edo rusyanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H