foto:dok edo SIANG itu suasana di kantor saya cukup riuh. Ada apa nih, batin saya. Ternyata, Jumat (30/3/2012) siang itu, kami kedatangan Joko Widodo alias Jokowi, walikota Solo, Jawa Tengah. Pria murah senyum itu, tampil sederhana dengan kemeja kotak-kotak berwarna dominan merah. “Kalau pakaian saja tidak berani tampil beda, bagaimana mau membuat perubahan,” sergah Jokowi, saat berbincang-bincang di ruang rapat kami, Jumat. Perubahan yang ingin dibawa oleh Jokowi ternyata banyak juga. Sebagai calon gubernur DKI Jakarta, segudang gagasan diumbar kepada calon pemilih. “Butuh nyali untuk melakukan perubahan di Jakarta,” sergah pria yang tahun 1985 bekerja di Jakarta. Jokowi yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut, meladeni pertanyaan-pertanyaan kami dengan lugas. Sesekali diselingi kelakar yang mengundang senyum. Misalnya saja, “Saya ini pakai baju kotak-kotak sampai tanggal 7 Juli 2012,” tutur dia. Juli 2012 adalah jadwal pemungutan suara untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Jokowi bersama pasangannya, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, tampil beda dibandingkan lima pasangan yang lain. Banyak perbincangan serius. Termasuk saat saya tanyakan apakah kelak jika terpilih bakal menerapkan pembatasan kendaraan di Jakarta? “Saya berani menerapkan pembatasan kendaraan di Jakarta,” tukasnya.
Dia menjelaskan, pembatasan kendaraan yang dimaksud di antaranya dengan menerapkan aturan pelat nomor ganjil genap. Hari ini kendaraan pribadi yang boleh keluar bernomor genap, hari berikutnya bernomor ganjil. Pembatasan lainnya, kata dia, berdasarkan waktu atau jam. Pada waktu-waktu tertentu kendaraan tidak boleh melintas di rute tertentu. “Saya juga akan terapkan ERP (electronic road pricing),” jelas dia. ERP adalah pembatasan kendaraan dengan menarik sejumlah biaya terhadap kendaraan yang melintas di rute tertentu. Selain itu, kata Jokowi, pihaknya bakal menerapkan biaya parkir kendaraan setinggi-tingginya. Pembatasan kendaraan seperti itu sebenarnya termaktub di dalam Undang Undang No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Kewenangan para pemerintah daerah (pemda) untuk menerapkan aturan tersebut. Tujuannya agar lalu lintas jalan menjadi lebih aman, nyaman, dan selamat. Sehingga, jika pemda DKI Jakarta kelak berani menerapkan aturan seperti yang dipaparkan Jokowi, bisa menjadi salah satu jurus membuat lalu lintas jalan menjadi lebih humanis. Kita tahu, jurus lain yang dipaparkan Jokowi adalah dengan membangun moda transportasi mass rapid transit (MRT), monorel, dan trem. “Trem bisa mengangkut penumpang lebih banyak dibandingkan bus. Trem yang bakal kita bangun berbasis bahan bakar gas,” tutur dia. Soal busway atau Transjakarta, Jokowi mengaku tetap bakal mengoperasikan di rute-rute tertentu. Trem atau railbus menjadi tulang punggung transportasi Jakarta. Saat saya lontarkan tentang pentingnya instansi pengujian kendaraan (Kir) yang steril, Jokowi mengaku siap mewujudkan manajemen yang transparan. Apakah jurus itu bisa menghilangkan kemacetan lalu lintas jalan? “Saya tidak janji kemacetan bisa diatasi dalam 3-4 tahun. Butuh transportasi publik yang bagus dan kebijakan yang kuat. Butuh nyali,” tegasnya. Kita tahu bahwa kemacetan sudah begitu melekat dengan kota metropolitan Jakarta. Sekalipun sudah ada 11 koridor Transjakarta, tetap saja jumlah kendaraan pribadi membludak. Bahkan, kendaraan pribadi pun merangsek ke jalur busway.
Ya. Butuh nyali dan menghapus ego sektoral agar lalu lintas jalan jauh lebih humanis dibandingkan saat ini. Cukup sudah tiga orang tewas setiap hari dalam beberapa tahun terakhir ini di Jakarta. Tanpa kebijakan yang sinergi di kalangan stakeholder, rasanya mustahil mewujudkan lalu lintas jalan yang humanis. Lalu lintas jalan yang aman dan selamat. (edo rusyanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya