Mohon tunggu...
edo murtadha
edo murtadha Mohon Tunggu... Foto/Videografer - I love traveling, making video

The best idea is the one that you're doing!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Komentator Terbaik Adalah Diri Sendiri

26 Januari 2016   08:28 Diperbarui: 26 Januari 2016   08:35 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti biasa, setiap pagi dalam perjalanan ke kantor menggunakan transportasi umum, saya membuka twitter untuk membaca berita. Selain karena memang twitter adalah sosial media pertama saya, di twitter juga informasi cenderung lebih cepat.
Daripada hanya mengandalkan satu aplikasi berita dimana pasti sudah di-drive oleh beberapa pihak baik internal maupun eskternal, twitter juga menawarkan berita dari beberapa media. Sehingga kita bisa membandingkan atau mengetahui sebuah peristiwa dari sudut penulisan, pandangan yang berbeda.
Ada yang menarik pagi ini, setelah saya membaca berita tentang nasihat BJ. Habibie kepada Presiden Jokowi, tentang bagaimana seharusnya Indonesia bersikap untuk memajukan bangsa. Intinya, kata BapakPesawat Indonesia itu, Indonesia tidak lagi bisa mengandalkan sumber daya alam saja, tapi lebih berfokus pada sumber daya manusianya. Mendidik manusianya.

[caption caption="sumber: Liputan6"][/caption]

Seperti sedang curhat, atau menyindir negara. Ya, semua tau kan bagaimana negara kita seolah membuang beliau, kemudian beliau berhasil di negara Panzer sana. Bahkan namanya melambung tinggi juga berkat negara Mesut Ozil itu.
Berita kedua yang saya baca secara tidak sengaja adalah Kenapa pelaku begal mayoritas adalah anak remaja. Ini semacam ketidaksengajaan yang menampar saya. Padahal baru saja suami almarhumah Ibu Ainun berkata tentang sumber dsya manusia Indonesia.

[caption caption="sumber: GoRiau"]

[/caption]

Hhmm...
Merubah negara apalagi masyarakatnya memang bukan pekerjaan membangun candi dalam waktu semalam. Dan manusia dimanapun ia berada selalu busa beralih profesi menjadi komentator. Yang anehnya, bukan hanya saat ia diminta untuk menggantikan orang yang ia komentari, tapi saat diminta secara formal sebagai komentator malah banyak alasan untuk menolaknya.
Coba saat bangun tidur, jangan langsung bangun. Diam dan tatap langit kamar atau kosan kita, tanya pada diri sendiri: sudah berapa lama, sudah berapa banyak komen pedas yang kita keluarkan terhadap sesuatu, sesorang, yang ternyata kita melakukan hal tersebut di kemudian hari?
Daripada merubah orang lain, rubahlah dia yang kamu lihat setiap kamu menyikat gigimu di hadapan cermin kamarmu.
Rubahlah ia yang kamu lihat saat kamu membetulkan letak kaca spion kendaraanmu. Ia yang selama ini hanya bisa komen, hanya bisa memberikan saran.
Simpan semua komen dan saran itu, berikan kepada ia yang kamu lihat hari ini di pantulan layar komputermu, yang kamu lihat di pantulan genangan air di jalanan.

Jakarta 25 Januari 2016 20:33

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun