Sebagai arek Suroboyo dan fans Persebaya, saya sangat prihatin dengan kondisi yang terjadi belakangan ini. Perseteruan dan rivalitas politik telah mempermainkan dan mengorbankan klub kebanggaan kota Surabaya, Persebaya. Klub legendaris dengan supporter mencapai jutaan ini telah menjadi "korban" gesekan antar elit yang memiliki kepentingan dan target politik berbalut organisasi PSSI. Arek Suroboyo yang dikenal kompak, militan, setia kawan serta punya solidaritas, dipecah belah. Bonek mania dibuat saling bermusuhan. Persebaya pun dibelah menjadi dua. Persebaya 1927 versus Persebaya boneka bentukan PSSI.
Untuk menarik simpatik publik bola Surabaya, di awal kompetisi ISL 2013, PSSI melalui tangan pihak lain membentuk Persebaya boneka dengan menghamburkan dana besar-besaran. Manajemen Persebaya DU (Divisi Utama) ini mendatangkan pelatih sekaliber Rahmad Dharmawan. Manajemen juga mendatangkan pemain-pemain nasional bergaji mahal. Bek timnas Mahanati Letusen didatangkan. Ada Ricardo Salampessy, ada Muhammad Ilham, ada juga Alfin Tuassalamony, ada pemain asing Greg Nwokolo.
Namun investasi besar-besaran untuk menghadirkan Persebaya yang "wah", mahal dan meriah kala itu justru disambut dingin para supporter dan pendukung utama Persebaya, Bonek mania. Kehadiran Persebaya "baru" ini tidak dipedulikan. Ujung-ujungnya tiap kali bermain di kandang Persebaya Gelora Bung Tomo yang dikenal "angker" bagi tim lawan, nyaris tidak ada penonton satupun. Persebaya bentukan PSSI pun tak mendapatkan legitimasi dari warga Surabaya, khususnya supporter Persebaya.
Terbukti stadion sangat sepi manakala Persebaya yang bertabur pemain bintang ini tampil. Dan kondisi itu terjadi terus menerus hingga 2015 ini. Saya juga kadang bertanya-tanya, kenapa saat bertanding di Surabaya, "Persebaya baru" jadi sepi penonton seperti ini. Akan sampai kapan pemodal klub akan kuat menanggung beban subsidi dan nomboki biaya gaji pemain dan biaya operasional.
Kenapa Persebaya baru tidak disukai supporter Surabaya dan Bonek Mania. Sebagai salah satu supporter mania Persebaya saya punya pandangan menurut analisa saya. Menurut saya, Persebaya yang direstui PSSI dibawah rejim pengurus baru sekarang ini adalah potret Persebaya yang sudah kehilangan jati dirinya. Para pengelola Persebaya baru itu seperti sudah kehilangan roh Persebaya. Mereka tidak pernah mau belajar dan memahami sejarah dan tradisi (historical and culture klub) Persebaya sebagai klub yang melahirkan sederet pemain besar.
Sehingga cara berpikir pragmatis dengan mendatangkan pemain mahal ke Surabaya sudah dianggap akan mampu menyedot perhatian supporter Surabaya. Namun kenyataan sebaliknya. Persebaya yang dikampanyekan hebat itu, nyaris tak banyak pendukungnya dan dinilai tidak mewakili aspirasi para pecinta dan pelaku bola di kota pahlawan ini. Akibatnya setiap bertanding pemandangannya sangat kontras. Sepi dan nyaris tanpa penonton. Tidak seperti Persebaya yang dulu pernah ada. Sampai-sampai kapasitas Stadion tidak mampu menampung antusias penonton.
Saya hanyalah satu dari ribuan pecinta klub Persebaya yang setia mengikuti klub ini sejak tahun 1982 sampai sekarang. Ketika saya masih duduk di sekolah dasar di Surabaya, sekitar tahun 1981 an. Kebetulan rumah saya tak jauh dari Stadion Gelora 10 Nopember, jadi buat saya menonton Persebaya bertanding adalah wajib hukumnya. Berjalan kaki menyusuri jalan Tambak Rejo, gang Tambak Segaran hingga tiba di Gelora Bung Tomo (dulu namanya Gelora 10 Nopember Tambaksari, Surabaya). Di sepanjang jalan kami bersama puluhan supporter sudah saling membahas rasa penasaran kami dengan bintang idola kami. Sambil menenteng radio, kami berlarian menuju stadion tempat laga dipersembahkan. Sebuah kenangan indah di era tahun 80-an sd 90 an.
Kenangan demi kenangan manis tak terlupakan telah tertoreh dalam kehidupan saya dalam mencintai Persebaya. Saya juga bangga menjadi saksi hidup saat Persebaya kedatangan tamu klub elite Liga Inggris, Arsenal. Saat itu sekitar bulan Maret 1982. Persebaya menang 2:1 dan membuat stadion kebanggaan arek-arek Suroboyo bergemuruh. Bintang-bintang idola yang dilahirkan dari markas Karanggayam seperti Joko Malis, Yongki Kastanya, Rudi William Keltjes, I Wayan Diana menjadi kebanggaan masyarakat Surabaya.
Persebaya kembali menorehkan prestasi di angkatan tahun 1990an, striker Mustaqim, gelandang Hanafing, dan stopper tangguh Abdul Khamid. Saat itu Persebaya mendapat kehormatan melawan klub Italia, AC Milan.
Persebaya banyak melahirkan pemain besar seperti Muhammad Zein Al Hadad, Ferryl Raymond Hattu, Edo Mangilomi, Yohanes Geohera, Aji Santoso, Yusuf Ekodono, Hartono. Kemudian era Ibnu Graham, Anang Ma'ruf, "Pace" Chairil Anwar dkk. Kemudian di era tahun 2000 an muncul bintang si penembak geledek Eri Irianto, Uston Nawawi. Di era tahun 2012-2013 muncul nama-nama Andik Vermansyah, Taufiq, Rendi. Era tahun 2014 hingga sekarang melahirkan Evan Dimas Darmono.
"Persebaya baru" bentukan PSSI belum pernah menunjukkan kedekatannya dengan publik bola Surabaya. Mereka memang secara finansial didukung dana yang kuat. Tapi mereka tidak membumi. Mereka tidak mengenali budaya dan tradisi Persebaya. Tradisi yang dilahirkan dari Wisma Eri Irianto di Jalan Karanggayam belakang stadion. Tempat dimana dari pemain hingga tukung pijat tim saling berbagi cerita dan kebersamaan.