Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money

Kapan Ya Pertamina Direvolusi

4 Agustus 2015   17:02 Diperbarui: 4 Agustus 2015   17:02 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Meski harga minyak dunia sedang anjlok dibawah USD 50 per barel sejak Juni, namun Pertamina tetap saja belum menurunkan harga premium dan solar. Padahal di era pemerintahan Jokowi ini harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengikuti tren harga pasar internasional (NYMEX). Sementara sejak awal pemerintah Malaysia sudah menurunkan harga bensinnya. Ada apa gerangan?

Menurut Menko Perekonomian Sofyan Djalil, pelemahan nilai tukar rupiah jadi alasan kenapa pemerintah belum mau merubah harga. Sofyan juga mengkambinghitamkan utang pemerintah ke PT Pertamina karena jasanya sebagai penyalur BBM. Sehingga kerugian perlu dikompensasi agar tidak akan ada penurunan harga.

Alasan lain lagi dikemukakan oleh Menteri ESDM Sudirman Said yang menyatakan harga minyak memang sedang turun tapi keuntungan Pertamina masih pada batas wajar. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), badan usaha hanya mendapatkan margin usaha 5%-10%.

Menteri ESDM beralasan mekanisme order pembelian minyak mentah dari Pertamina sudah dilakukan 3 bulan sebelumnya. Artinya meski harga minyak turun bulan ini tetapi Pertamina tetap membeli minyak dan BBM tiga bulan lalu saat harga masih tinggi. Bahkan Menteri ESDM sempat menyatakan Pertamina mencatat kerugian Rp12 triliun dari penjualan premium dan solar. Pertamina selama ini defisit karena menjual BBM di bawah harga keekonomian

Apapun alasan pemerintah sebagai bos Pertamina keukeuh tidak mau menurunkan harga bensin, namun BUMN ini seharusnya mulai diajari bisnis yang sesungguhnya. Kenapa negara-negara diluar mampu menjual bensin dengan harga murah?

Penulis melihat ada "sesuatu" di Pertamina yang kemarin luput dari penanganan Tim Reformasi Tata Kelola Migas pimpinan Faisal Basri. Sebagai BUMN yang menguasai mayoritas pengelolaan sumur minyak mentah di Indonesia, Pertamina menjadi rentan dan sensitif terhadap isu. Ditambah lagi bisnis menggiurkan menjadi penyalur tunggal BBM bersubsidi yang artinya Pertamina menguasai bisnis monopoli. Makanya SPBU kompetitor terlihat sepi, sementara SPBU Pertamina setiap hari terlihat antrian BBM. Karena Pertamina menjual BBM bersubsidi secara monopoli sehingga diserbu penggunaan kendaraan yang ingin mendapatkan BBM murah.

Ditambah bisnis-bisnis lainnya seperti penjualan Pertamax, produk turunan minyak mentah seperti oli dan bisnis gas, Pertamina tentunya memiliki keuntungan yang besar. Masak kemudian pemerintah mengatakan Pertamina merugi?? Penulis tidak percaya sekali. Karena hingga hari ini pegawai Pertamina masih menerima gaji paling tinggi dan hidupnya paling sejahtera di Indonesia. Kalau perusahaan itu merugi, sudah menjadi hukum bisnis sebagaimana perusahaan swasta umumnya, sudah pasti mengurangi gaji karyawan atau melakukan efisiensi dengan pengurangan jumlah karyawan. Sampai saat ini Pertamina tetap berkibar.

Fakta yang ada demikian mengapa pemerintah selalu kemudian mengatakan Pertamina merugi karena menjual BBM bersubsidi. Bukankah BBM bersubsidi adalah tanggungan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)? Yang jelas, dalam pandangan penulis yang subyektif, Pertamina pasti untung sebagai penyalur tunggal BBM bersubsidi. Betapa tidak. Sudah bisnisnya bersifat monopoli (karena tidak ada pengelola Migas yang diberi tugas menyalurkan BBM bersubsidi kecuali Pertamina), pemerintah memberikan margin ke Pertamina 10 persen. Siapa tak mau bisnis tanpa mikir begini?

Yang seharusnya kemarin direvolusi oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas, salah satunya adalah pengelolaan manajemen produksi Migas di Pertamina mulai dari hulu hingga hilir. Apakah benar dalam pengadaan minyak mentah "clear" bener. Artinya tidak ada broker yang bermain dan kemungkinan adanya komisi ilegal. Bagaimana mekanisme penjualan minyak mentah dan bagaimana mekanisme pembelian premium impor. Apakah semua sudah dilakukan secara transparan. Apakah dalam kedua kegiatan tersebut memang benar-benar bersih dari unsur-unsur "permainan" komisi ke orang dalam. Sehingga menguntungkan sekelompok pemasok atau pembeli minyak mentah.

Penulis jadi teringat bagaimana ekonom Senior kita Kwik Kian Gie membuat paparan yang gamblang sekali terkait pengelolaan Migas untuk rakyat. Jadi dalam paparan Kwik Kian Gie, Pertamina meraih keuntungan besar dalam pengelolaan Minyak Mentah meski minyak tersebut digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Minyak mentah di ekspor ke luar kemudian negara kita mengimpor "minyak matang" dimana salah satu produknya bernama Premium. Produk lainnya solar, Pertamax dan produk lainnya.

Saat Pertamina mengekspor minyak mentah maka dia mendapatkan penghasilan dari penjualan minyak mentah tersebut. Sekarang berapa nilai penjualan minyak mentah Pertamina? Apalagi kurs dolar sedang naik, otomatis nilai penjualan secara rupiah juga naik. Kemudian saat diperintahkan pemerintah mengimpor BBM dari luar untuk kebutuhan BBM bersubsidi, Pertamina juga mendapatkan anggaran pembelian dari pemerintah. Sehingga menurut perhitungan Kwik Kian Gie, jumlah penjualan minyak mentah kita masih bisa untuk mensubsidi harga premium yang kita impor dari luar. Pertanyaannya sekarang siapa yang diuntungkan dalam trader ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun