Mohon tunggu...
Edo Media
Edo Media Mohon Tunggu... Jurnalis -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hidup di Era Kapitalis Kenapa Salahkan China

4 Februari 2016   11:12 Diperbarui: 4 Februari 2016   13:26 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kereta Cepat (sumber www.smeaker.com)"][/caption]Keberhasilan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggandeng investor asal China untuk menanamkan modalnya ke Indonesia dengan membangun kereta api cepat Jakarta Bandung justru menuai gugatan beberapa pihak. Ada yang menyebut proyek Kereta Cepat ini hanya taktik Tiongkok untuk menggerakkan kembali industrinya yang sepi proyek. Ada juga yang menuduh bahwa modal yang ditanamkan China untuk membiayai infrastruktur Kereta Cepat hanya akan menjadi beban "utang" pemerintah. Ada juga yang menyebut proyek itu tidak peka dan adil jika melihat masih buruknya sarana transportasi di daerah lain, tapi kenapa pemerintah hanya fokus di Bandung. Dan banyak pendapat sinis lainnya.

Para penggugat ini tidak sadar jika negara kita sudah memasuki era ideologi kapitalisme. Artinya pemilik modal (baca:uang) sangat berkuasa menentukan hitam putihnya ekonomi sebuah negara. Kapital atau uang bisa bergerak kemana saja ia suka. Dia bisa memilih negara yang disukainya untuk menanamkan uang. Ia bisa memilih Indonesia, Vietnam, Birma, Thailand atau negara manapun. Ia bisa memilih Bandung, Semarang, atau yang jauh seperti Papua sekalipun untuk dikucuri modal selama daerah itu memberikan keuntungan. Uang akan terus mencari tempat yang aman dan menguntungkan.

Sementara problem pemimpin sebuah negara adalah bagaimana bisa memberi makan rakyatnya. Bagaimana bisa menciptakan kesejahteraan. Bagaimana jumlah orang miskin berkurang. Maka jalan pintas dengan menarik modal tadi diharapkan akan memberikan cycle impact terciptanya lapangan kerja yang menyerap ratusan pencari kerja.

Apa yang menjadi tujuan dan program pemerintah ini kemudian connect dengan para konglomerat pemilik modal yang memang sedang mencari peluang menaruh uangnya untuk sebuah bisnis yang menguntungkan. Muncullah keduanya bersinergi meski terkadang posisi pemerintah lebih lemah.

Tengok kekuasaan Freeport Indonesia yang menambang tembaga dan emas kita di Tembagapura Papua sejak awal Orde Baru tahun 1974. Pemerintah kita saat itu butuh modal untuk membuka tambang di Papua. Sementara Freeport punya uang banyak. Jadilah keduanya "kawin". Freeport berkuasa menambang emas disana karena mereka memiliki modal besar. Sehingga mereka bisa mengalahkan "kedaulatan" bangsa kita. Dalam teori kapitalis kedaulatan sebuah negara itu sudah tidak ada lagi. Yang ada kekuasaan uang yang bisa masuk kemana saja dan menjadi harapan hidup banyak orang.

Karena untuk menambang emas butuh teknologi tinggi, infrastruktur dan sumber daya manusia banyak yang harus digaji ketika kontraktor penambang belum mendapatkan bijih emas. Mereka harus mengeluarkan uang miliaran. Maka jangan salahkan Freeport jika mereka terus "menjajah" kita karena mereka ingin modalnya kembali.

Contoh lain hancurnya kedaulatan kita karena dijajah ideologi kapitalisme adalah dunia penyiaran. Meski frekuensi itu milik negara, frekuensi itu milik rakyat tapi kita tidak berdaya mengatur, mengendalikan dan menghadapi kekuasaan uang para kartel pengelola lembaga penyiaran. Kenapa? Karena uang sangat kuat menyetir kebijakan pemerintah dalam bisnis penyiaran.

Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang bernafaskan pemerataan kesempatan berusaha bagi dunia penyiaran dan stasiun televisi dengan siaran kearifan lokal telah mati suri. UU ini yang mengharuskan pembagian keadilan penyiaran kepada lembaga penyiaran daerah nyaris hanya mimpi kosong. Karena semua frekuensi sudah dikuasai oleh monopoli kekuatan uang konglomerat media. Semua frekuensi diambil dengan kekuatan uang.

Anak-anak muda di daerah yang memiliki kreativitas, memiliki keahlian membuat pemancaran siaran bagus, memiliki kemampuannya membuat program siaran, kreativitasnya mati dan tak berkembang. Karena hampir semua program siaran dikendalikan oleh Jakarta.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun bak ibarat macan ompong tak mampu menindak pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi swasta. Kenapa? Karena kekuatan modal mereka menjadi pertimbangan. Mana ada yang berani memberikan sanksi menutup siaran televisi yang mana perusahaan atau lembaga penyiaran itu telah mengeluarkan modal uang triliunan. Lagi-lagi kekuatan uang lebih berkuasa ketimbang melindungi masyarakat dari tayangan yang tidak mendidik atau memberikan kesempatan kepada anak-anak muda menyalurkan kemampuannya dengan hadirnya televisi lokal.

Inilah era kapitalisme. Semua kekuasaan dan kedaulatan diukur dengan uang. Mimpi untuk mewujudkan pembangunan bangsa ini harus diukur dengan kekuatan uang. Untuk menjadikan rakyat sejahtera hanya dengan cara menarik pemilik modal (baca: uang) sebagai malaikat penyelamat. Untuk membuka lapangan usaha harus dengan uang, untuk membeli susu harus dengan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun