Mohon tunggu...
Edo Karensa
Edo Karensa Mohon Tunggu... -

Majoring media studies on Communication Study, Fisip UAJY. TERAS Pers. Founder of Badaiotak Community.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Serampangan

15 Maret 2013   12:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:44 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berkutat dengan proposal skripsi, mau tidak mau membuat saya harus banyak membaca. Kebetulan saya angkat topik soal praktik demokrasi. Topik ini sungguh buat saya gelisah. Ternyata, kita perlu banyak berefleksi soal praktik demokrasi di bangsa ini, hari ini. Kita memang butuh banyak berefleksi.

29 Januari yang lalu, Husia Yosia Karoba, Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Tolikara Papua, tewas dikeroyok massa. Penyebabnya sederhana: ia berbeda pilihan dengan warga sekampung. Distrik Gilibandu menganut sistem noken. Sistem ini memungkinkan sebuah distrik/kampung untuk memilih satu kandidat saja melalui mufakat dengan kepala distrik/desa, atau mungkin kepala adat. Singkat cerita, semua warga desa dalam satu daerah berkumpul dalam satu rapat, berbincang soal siapa kandidat yang akan dipilih, lalu bersepakat. Pada hari pemilihan mereka akan datang ke TPS bersama-sama untuk memilih kandidat yang sudah disepakati. Konon, kala itu Husia berbeda pendapat. Ia pilih kandidat yang berbeda, alhasil ia dikeroyok sampai tewas.Kurang lebih masalah ini sama dengan keistimewaan Yogya beberapa waktu yang lalu. Saya kira usul presiden SBY untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah di DIY tidak salah. Karena, pada umumnya begitulah cara untuk memilih kepala daerah. Tapi perlawanan datang dari masyarakat Yogya. Mereka tidak terima tradisi penetapan diusik. Masyarakat Yogya cukup percaya bahwa tanpa praktik pemilihan, mereka bisa dapat pemimpin yang amanah. Sejarah juga berkata demikian. Klaim akan kontribusi besar terhadap perjuangan paska kemerdekaan, membuat masyarakat Yogya semakin yakin melangkah dengan posisi tawar yang baik. Media exsposuremembuat pemerintah pusat terpojok hingga akhirnya mengalah, atau kalah.Soal dua kejadian tersebut, terlalu dini kalau kita bicara soal mana yang benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan bagian dari gelombang demokrasi ketiga di dunia. Umurnya pun belum genap15 tahun. Kata orang, harga yang dibayar untuk demokrasi mahal. Ya, jelas itu. Kalau demokrasi kita anggap saja sebagai praktik pemilihan pemimpin (election) semata, angka Rp 6,7 trilyun untuk Pemilu 2009 bukan harga yang murah. Belum lagi biaya kampanye politik. Belum lagi tenaga dan pikiran yang terkuras untuk menimbang untuk memilih pemimpin. Kata Winston Churcill, democracy is the worst form of government except all those other forms that have been tried from time to time. Kita mungkin tidak punya pilihan lain. Tidak ada sistematika yang memungkinkan keadilan dan kebebasan seperti yang dimiliki demokrasi. Sosialisme, untuk saya pribadi, lebih terasa sebagai ideologi yang akan menemui masalah operasionalisasi gagasan di lapangan. Terdengar heroik, tapi juga tidak menjamin keadilan dan kemakmuran.Yang lebih dekat dan mendesak sekarang ini mungkin adalah refleksi. Jangan-jangan praktik demokrasi selama ini kita telan mentah-mentah. Yudi Latif, di Kompas (15/3) menulis: reformasi sosial acapkali direduksi sekadar informasi prosedural, dan pilihan-pilihan prosedur itu pun sering kali diambil secara serampangan dari model luar tanpa usaha kontekstualisasi ke dalam sistem sosial budaya kita. Yogya dan Papua sudah bisa jadi contoh. Kita perlu lebih banyak mengenal diri dan asal usul kita sebelum kemudian secara stylist mengenakan baju bernama demokrasi. Kita perlu pertimbangkan apa kita tampak lebih elok dengan baju demokrasi yang itu? Jangan-jangan kita tampak seperti anak buluk pakai baju raja yang kebesaran.Kita perlu kembali merefleksikan semua ini, mumpung baru 14 tahun mengenakan ‘baju’ demokrasi ini. Perbincangan di televisi memang tampak gagah dan maju. Debat antar politisi ada muncul hampir setiap malam. Pemilukada di semua daerah juga diikuti dengan debat kandidat. Banyak orang bilang, kita sudah mirip Amerika. Ah, tapi tidak juga. Tempo hari saya menonton debat Pemilukada NTT. Agak lucu sekaligus miris, mereka berdebat kursi pemerintahan di daerah itu harus diserahkan pada putra daerah (suku yang ada di daerah tersebut) atau pekerja profesional? Perdebatan ini mau tunjukan pada kita bahwa tidak semua daerah siap untuk demokrasi ala barat.Sekali lagi kita butuh refleksi. Kita perlu mendistribusikan perhatian masalah demokrasi secara adil. Tidak melulu soal parpol dan korupsi. Jacques Ranciere, filsuf Prancis kelahiran Aljazair, secara terang-terangan pernah mengkritik pelaku demokrasi: “mereka ingin menunjukan bahwa mereka ‘lebih sama’ daripada sesamanya, dan dengan itu hendak menegaskan bahwa kompetensi pengetahuan mereka memberikan hak kepada mereka untuk menjadi gembala yang mengarahkan kawanan rakyat.” (ditulis Sindhunata dalam Basis, 09-10, 2012) Politisi rasanya punya cukup waktu untuk berefleksi soal ini. Mungkin kita masing-masing. Pengalaman saya mengatakan bahwa refleksi, tentang apapun itu, tak pernah menjadi sia-sia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun