Menurut Mark Twain bahwa kita harus berhati-hati untuk hanya mengambil hikmah dari pengalaman dan berhenti disana tanpa adanya melakukan refleksi dan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan keputusan yang holistik.Â
Lantas pertanyaan menarik yang perlu di ekplorasi lebih dalam lagi adalah apakah hati nurani dapat diatas peraturan yang melahirkan defenisi kebijaksanaan? Kalau begitu banyak peraturan yang mengandung interpretasi sesuai dengan beragamnya hati nurani, apakah hal tersebut malah membuat kacau sistem yang sudah direncanakan, diaplikasikan?
Tiba akhir dari forum tersebut yang memutuskan nasib 2 anak tersebut. Akhirnya dengan pertimbangan pendapat kepala sekolah memutuskan agar tetap naik kelas terhadap 2 anak tersebut dengan syarat ketika pengambilan raport mereka secara khusus bersama orangtua menandatangi perjanjian bermaterai bahwa jika masih mengulang maka di jenjang berikutnya dinyatakan tidak akan naik kelas.
Kenaikan Kelas Perspektif Kurikulum Merdeka
Apakah ada kasus serupa seperti situasi diatas? Lantas bagaimana pendapat pembaca mengenai topik kenaikan kelas ini?Â
Kenaikan kelas di era kurikulum merdeka memberi keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk menentukan kriteria kenaikan kelas namun dengan penuh kehatian-hatian. Dikutip dari buku panduan Kemdikbudistek terkait Panduan Pembelajaran dan Asesmen dikatakan bahwa;
- Peserta didik mempunyai tujuan pembelajaran yang belum tuntas (ada tujuan-tujuan pembelajaran yang hasilnya belum memenuhi pencapaian minimum). Maka solusinya adalah Peserta didik dapat dipertimbangkan naik di kelas berikutnya dengan pendampingan tambahan untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran yang belum tercapai/tuntas.Â
- Peserta didik mempunyai masalah absen/ketidakhadiran yang banyak (Banyaknya jumlah ketidakhadiran disepakati oleh satuan pendidikan). Maka solusinya adalah Dapat dipertimbangkan dengan mengetahui alasan ketidakhadiran. Jika peserta didik tidak hadir karena kondisi keluarga (siswa yang membantu orang tua bekerja karena alasan ekonomi) atau masalah kesehatan peserta didik, maka dapat dipertimbangkan naik dengan catatan khusus. Jika alasan ketidakhadiran karena "malas", meskipun kecil kemungkinan untuk naik kelas; peserta didik tetap dapat dipertimbangkan naik dengan catatan di rapor bagian sikap yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya. Misalnya, permasalahan ketidakhadiran harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun dengan cara konseling atau behavior treatment lain.
- Keterlambatan psikologis, perkembangan, dan/atau kognitif. Maka solusinya adalah Peserta didik bisa dipertimbangkan untuk naik kelas dengan catatan peserta didik perlu mendapat bimbingan dalam memahami pelajaran dan/ atau mendapatkan layanan konseling.
Peningkatan Kompetensi Guru
Penulis tadi membaca artikel Headline dari Hamdani Anton berjudul Stagnasi Kompetensi Guru. Sungguh menarik artikel yang dipaparkan beliau. Silahkan dibaca di sini
Hal ini jadi perhatian penulis dengan hubungannya kenaikan kelas. Dalam rapat kenaikan kelas yang penulis temui sungguh jarang ditemukan evaluasi dari guru terkait kompetensinya. Apakah jangan-jangan selama ini ternyata kitanya lah yang memang belum bisa mendidik dan mengajar dengan benar. Apakah selama ini mungkin kita belum bisa memberikan teladan yang sesungguhnya?Â
Melihat dari hasil UKG (Uji Kompetensi Guru) tahun 2015 kita berada di angka 50,64 poin. Pada tahun 2019 UKG dijenjang SMA sebesar 62,70 sedangkan menurut neraca pendidikan Kalimantan Selatan pada angka dibawah 60,00 poin. Jika melihat angka ini nyaris kita sebagai guru pun dikategorikan tidak naik kelas. Dan ini tentunya berdampak dari kita mengambil keputusan
Oleh karena itu hemat penulis pemerintah khususnya orang yang memegang kendali politik harus sungguh-sungguh dalam hal pendidikan bukan hanya slogan semata. Karena budaya pendidikan itu sendiri tidak terlepas dari peran politikus terutama ketua umum dan ketua di setiap daerahnya. Guru hanyalah pejalan peraturan yang terkadang dalam posisi tidak berdaya bahkan jika terlalu kritis maka tekanannya sangat banyak.
Dan untuk internal guru mulailah untuk mengupragde apa sisi kelemahan kita dalam hal pembelajaran. Terutama seorang guru harus selalu berusaha untuk menjadi lebih baik karena disadari atau tidak, mau atau tidak kita adalah garda terdepan yang menjadi teladan.Â
Kalau gurunya banyak menampilkan aspek-aspek negatif bagaimana muridnya. Bukankah hidden kurikum tersembunyi itu lebih langsung dirasakan daripada kurikulum itu sendiri. Jadi jangan berhenti belajar dan terlena dengan banyak uang yang menghampiri hingga lupa dengan jati diri profesi sebagai guru.