Mohon tunggu...
Yoga Prasetyo
Yoga Prasetyo Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar menjadi penulis pembelajar

Mahasiswa Pascasarjana, SB-IPB University. Praktisi industri keuangan, khususnya keuangan mikro, asuransi mikro, ekuiti mikro dan asuransi syariah. Memiliki minat yang luas pada berbagai topik diskusi. Berkesempatan berbicara pada beberapa seminar dan forum di dalam dan luar negeri.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjajal Frugal

9 Juli 2022   19:53 Diperbarui: 11 Juli 2022   20:06 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak susah mencari padanan kata yang pas untuk menerjemahkan "frugal" ke dalam bahasa Indonesia. Satu kata yang mirip adalah hemat. Tapi frugal sebetulnya bukanlah berhemat dan berperih-perih padahal bisa memilih yang lebih.

Dalam bahasa aslinya, istilah frugal mempunyai beberapa makna: practising economy; living without waste; thrifty; not costly; meagre. Gampangnya, frugal itu mengarah pada gaya hidup untuk menggunakan sumber daya secukup yang dibutuhkan, tidak banyak menyisakan sampah atau sesuatu yang sebenarnya tidak diperlukan. Gaya hidup frugal juga tidak berarti kikir dalam bederma atau membantu orang lain.

Frugal bukan barang baru karena ternyata Ibu saya mengajarkannya dari dulu. Saya ingat ketika disuruh menggulung ujung kemasan pasta gigi --yang waktu itu menggunakan logam-- agar tidak banyak tersisa pada saat isinya sudah mulai habis.

Contoh lain adalah ketika sabun mandi sudah hampir habis, ukurannya mengecil jadi susah dipegang. Kecenderungannya, potongan kecil dan tipis sabun mandi itu bisa dengan mudah hanyut atau kita buang begitu saja. Trik penghematannya adalah dengan menempelkan potongan sisa sabun itu ke sabun yang baru dibuka dari kemasan, kemudian menekannya hingga menyatu dengan sabun baru. Jadi masih bisa dipakai sampai habis.

Frugal adalah tentang mengutamakan fungsi di atas gengsi. Kontras dari hal ini, banyak kita temui dalam kehidupan masa kini.

Demi gengsi, kadang orang bisa menghabiskan belasan sampai puluhan juta rupiah untuk membeli tas, sepatu, ikat pinggang atau barang-barang pendongkrak penampilan. Bagi mereka, tentu tindakan itu ada alasannya. Mungkin karena tuntutan pekerjaan atau mungkin karena mereka tidak ada masalah dengan uang. Semua itu tentu sah-sah saja.

Yang menjadi tidak masuk akal apabila orang memaksakan diri membeli barang-barang mahal itu untuk tujuan yang secara prinsip tidak meng-generate income, atau lebih parah lagi ketika harga barang-barang itu TIDAK PROPORSIONAL DENGAN PENGHASILAN, sehingga harus membelinya secara HUTANG. Hutang untuk barang konsumtif, hutang untuk membayar pelesiran, hutang untuk mentraktir makan teman-teman. Nikmat di depan, sengsara kemudian.

Menjajal frugal itu selain lucu, ternyata sehat dan membahagiakan. Contohnya adalah kejadian belakangan ini ketika saya bingung mau memilih moda transportasi apa untuk pulang kampung. Pilihannya adalah membawa kendaraan sendiri, menggunakan pesawat, menggunakan kereta api, atau menggunakan bis super executive dan saya harus ke Jakarta dulu. Akhirnya saya memilih yang paling simpel. Bis executive yang titik keberangkatannya hanya berjarak 2 km dari rumah saya di Tangerang dan titik turunnya hanya berjarak 3 menit jalan kaki ke rumah orang tua saya di Wonsobo. Tadinya, saya sempat berpikir, bagaimana nanti kalau di kampung perlu kendaraan untuk wara-wiri.

Ternyata, dengan tarif perjalanan yang hanya 140 ribu rupiah, saya sampai di kota kelahiran dengan selamat sehat wal afiat.  Malah bisa tidur pulas dalam perjalanan. Selama di kampung, untuk keperluan wara-wiri, kalau jaraknya masih 2-3 kilometer, saya memilih jalan kaki. Sehat dan hemat.

Masih berkaitan dengan pulang kampung ini, ternyata saya lupa memasukkan ikat pinggang ke dalam tas. Hari ini saya mencari ikat pinggang dan akhirnya menemukannya di salah satu toko. Pada saat membayar, saya kaget dengan harganya yang hanya 20 ribuan rupiah saja. Sebuah angka yang bahkan untuk membeli segelas kopi ukuran tall di Jakarta, tidak cukup. Dan yang mengejutkan, menurut saya built quality-nya cukup bagus. Setidaknya, memenuhi fungsi dasar sebuah ikat pinggang: mencegah celana saya dari melorot. Bandingkan dengan ikat pinggang bermerek lain, yang saya iseng browing di Google, ternyata ada ya yang harganya sampai 9.2 juta rupiah.

Saya juga membaca artikel dan menonton YouTube, beberapa orang yang mempraktekkan gaya hidup frugal ini. Salah satunya ada yang memilih untuk membeli beberapa kaos warna hitam dengan model yang sama, beberapa celana dengan model yang mirip dan beberapa sneakers yang nyaman. Perubahan yang dia rasakan, hidup menjadi jauh lebih simpel. Dia membandingkan ketika sebelumnya dia harus meluangkan waktu 15-30 menit untuk sekedar memilih outfit yang cocok untuk hari itu, sekarang dia hanya perlu waktu tidak sampai 5 menit. PENGHEMATAN WAKTU DAN ALOKASI OTAK untuk memikirkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu, ternyata lebih berharga ketimbang reward berupa penghematan uang. Hidup jadi begitu ringkas dan simpel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun