Tidak perlu diulang lagi berpuluh-puluh atau beratus-ratus contoh mengenai bagaimana teknologi telah mendisrupsi bisnis dan kehidupan kita. Sebut saja, setelah telepon rumah terdisrupsi telepon genggam, setelah taksi konvensional terdisrupsi taksi online, setelah toko fisik terdisrupsi e-commerce, yang paling hangat sekarang adalah ancaman disrupsi yang melanda perbankan.
Dalam dunia perbankan, fungsi transaksi over the counter sudah sejak lama terdisrupsi oleh ATM.  Sejak itu, bank-bank mengurangi meja-meja kasir dan mengarahkan nasabahnya untuk bertransaksi di ATM. Pada era sekarang sebagian fungsi ATM mulai terdisrupsi oleh internet banking, mobile banking dan online banking. Yang paling mutakhir tentunya, fungsi-fungsi transaksi itu sekarang sudah kehilangan batas-batasnya dengan hadirnya teknologi keuangan atau fintech.
Ambil contoh GoPay, sebuah platform yang awalnya berasal dari bisnis transportasi online sekarang terintegrasi dalam gaya hidup dan keseharian penggunaanya, kemudian berkembang tidak hanya untuk transaksi di dalam ekosistem transportasi online, melainkan juga di hampir semua kebutuhan belanja online, mulai dari pembelian pulsa dan tiket nonton sampai transfer uang layaknya layanan perbankan penuh saja.Â
Begitu pula, fungsi penyaluran pinjaman oleh perbankan, hari-hari ini sedang terdisrupsi oleh platform fintech yang disebut peer to peer (P2P) lending. Pemilik uang dan peminjam dipertemukan langsung dalam satu platform. Pemilik platform tidak perlu mempunyai uang untuk disalurkan. Dia juga hanya perlu mengutip sejumlah fee untuk pelayanan, tidak perlu mengambil resiko gagal bayar dan tidak perlu mencadangkan ini-itu. Sesederhana itu.
Melihat semua contoh disrupsi di atas, pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apa yang salah dengan bisnis yang telah puluhan tahun bercokol, mendadak seperti ditelan bumi?Â
Ada jawaban rumit, ada jawaban sederhana. Jawaban rumitnya: Terus terang, saya belum sepenuhnya tahu. Jawaban sederhananya: Karena di dalam bisnis yang ada sekarang terlalu banyak inefisiensi yang pada akhirnya, ada pihak yang harus membayar inefisiensi ini.
Untuk memahami inefisiensi, kita mulai dengan beberapa pertanyaan berikut:
- Pada bisnis taksi konvesional, siapa yang pada akhirnya membayar gaji tetap sopir taksi, karyawan perusahaan, biaya pengecatan kendaraan yang seragam itu, biaya marketing, iklan dan sebagainya?
- Pada bisnis toko di mal, siapa yang pada akhirnya membayar biaya sewa mal, biaya marketing, biaya event untuk mendatangkan crowd?
- Pada bisnis pinjam meminjam, siapa yang pada akhirnya harus membayar biaya akibat ada nasabah yang tidak patuh, siapa yang membayar gajo account officer, manajer cabang, sewa gedung dan sebagainya?
Jawabannya adalah: PELANGGAN! Nah, sampai di sini saya akan berhenti dulu. Kita akan coba berbelok dulu pada apa yang terjadi dalam bisnis asuransi.
Asuransi, pada konsep yang paling mendasar (dan ini yang kemudian dipertahankan menjadi konsep asuransi syariah berdasarkan prinsip ta'awun), adalah kesepakatan di antara sekelompok orang untuk saling membantu, yaitu memberikan santunan kepada siapa pun anggota kelompok itu yang mengalami musibah. Dalam kesepakatan itu, ditetapkan pula besarnya uang santunan, besarnya iuran serta kapan santunan dibayar dan kapan iuran dikumpulkan.
Tahukah Anda? Setelah bisnis asuransi berevolusi ratusan tahun, menghasilkan bisnis trilyunan dollar, memberangkatkan jutaan agen untuk plesir ke seluruh dunia, saat ini ada sebuah perusahaan asuransi kecil di New York yang bernama Lemonade yang justru kembali pada prinsip asuransi paling "primitif" tadi? Lemonade menyelenggarakan platform yang memungkinkan orang-orang bersepakat mengasuransikan dirinya.Â
Dana yang dikumpulkan orang-orang itu tetap milik mereka sebagai anggota. Iuran itu murni premi asuransi, tidak ada embel-embel investasi. Jadi sangat murah. Dari iuran itu, Lemonade hanya mengutip 20% sebagai biaya layanan.Â