SEBAGAI media pandang-dengar, televisi sungguh mempunyai kekuatan besar dalam hal memengaruhi. Apa pun itu. Ambil contoh, saat dulu Latifi menayang Smack Down, tontonan itu sanggup 'menginspirasi' anak-anak untuk meniru adegan banting-bantingan brutal itu. Torehan akibat dari itu sungguh mengerikan; patah tulang sampai nyawa melayang (?).
Kekuatan besar dari kotak ajaib (yang makin hari makin tidak bisa disebut kotak saja, karena makin tipis bentuknya) bernama televisi itu oleh banyak orang secara sadar dijadikan 'senjata'. Dari yang secara terang-terangan, sampai kepada bentuk yang lebih halus. Tak perlu sampai puyeng untuk menyebut satu-dua contoh dari bejibunnya kenyataan orang-orang yang menggunakan televisi sebagai 'kendaraan'. Tidak melulu untuk memperkaya diri meraup duit iklan (menjual tontonan yang jauh dari tuntunan). Mencerdaskan pemirsa menjadi tak terlalu penting dibanding rating. Termasuk juga (yang secara vulgar dapat dilihat) adalah dimanfaatkannya perangkat ini sebagai 'kendaraan politik'.
Hanya orang yang aneh yang menganggap MetroTV itu tidak NasDem banget, atau tvOne/antv tidak pro Golkar/ARB. Pasti dengan gampang dilihat MNC grup itu condong ke Hanura atau JTV grup yang pokoknya Dahlan. Dalam kampanye kemarin, di salah satu berita MetroTV, memang semua partai diberitakan, tetapi tetap secara porsi yang durasinya lebih lama adalah kampanye partai NasDem + orasi politik Surya Paloh sebagai Ketua Umum-nya. Begitu juga dengan tvOne yang menganakemaskan berita kampanye ARB/Golkar ketimbang yang lain. Begitu juga dengan RCTI dkk yang sungguh sering menyuguhkan duet bos mereka (baca: HT) dengan Wiranto ketimbang tokoh lain. Bagimana dengan Dahlan? Setali tiga uang. Jauh sebelum musim kampanye berlangsung. saat ia sering tampil sepanggung dengan SBY yang Ketum Demokrat di ajang kampanye belakngan ini, lelaki yang film tentang kisah hidup masa kecilnya akan serentak tayang di bioskop sehari setelah Pemilu Legislatif ini, punya program istimewa di jaringan televisi Jtv; Manufacturing Hope. Sebuah judul acara yang sebangun dengan kolomnya setiap Senin yang muncul di halaman depan pada jaringan media cetak JPNN miliknya.
Ketika kebijakan Presiden (yang kebetulan adalah juga Ketum Demokrat) dinilai salah lalu menjadi sorotan tajam dan bulan-bulanan media (utamanya televisi), beberapa orang dari partai Demokrat sempat curhat; “Beginilah kalau kita tidak punya (stasiun) televisi...”
Nah, secara frekuensi, sistem analog memang telah habis terpakai. Sekarang, ketika sistem digital mampu menampung lebih banyak lagi, peluang untuk hadirnya televisi baru masih terbuka. Apakah itu nantinya akan juga dimafaatkan oleh politisi dari partai tertentu untuk tujuan yang tentu juga berbau politis, ditunggu saja. Masalahnya adalah, apakah frekuensi yang sering didengungkan sebagai sesuatu mlik publik yang sifatnya terbatas dan harus dimanfaakan untuk kepentingan publik itu boleh secara begitu saja dipakai sebagai kendaraan politik?
Dalam sebuah wawancara khusus dengan KompasTV di program Aiman Dan..., Surya Paloh mempunyai jawaban cerdas. Saat Aiman Witjaksono bertanya tentang adanya tudingan yang mengatakan telah dimanfaatkannya MetroTV untuk kepentingan NasDem padahal frekuensi yang dimilikinya adalah milik publik, kurang lebih politisi brewok ini menjawab begini; “Iya, memang, Frekuensi memang milik publik. Dan saya juga bagian dari publik itu...”
Begitulah. Bukan politisi namanya kalau tidak piawai bersilat lidah. *****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI