Mohon tunggu...
Edi Winarno
Edi Winarno Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selain di kompasiana ini, saya juga mengelola blog di www.ediwinarno.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Presiden Kupu-kupu

24 Juni 2011   16:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:12 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ENAM tahun lebih menjadi ajudan presiden,belum pernah saya lihat presiden segirang Minggu pagi ini.Wajahnya terang benderang,lebih bersinar ketimbang saat menang dalam pemilihan untuk jabatan kedua tahun lalu.

“Lihatlah,”katanya.Mengajak saya melempar pandang kesegala penjuru taman sekeliling istana.”Si biru,si merah,si hijau dan segala warna telah mulai segar.Daun-daunnya lebat.Dan tunggulah,beberapa hari lagi mereka akan berbunga secara bersamaan.”

Berkali-kali saya lihat presiden geleng-geleng kepala kegirangan.Dan,diam-diam,saya selalu geleng-geleng kepala tak mengerti.Tapi saya ingat,presiden setelah sowan ke guru spiritualnya tiga bulan lalu,langsung menggelar rapat penting dengan menteri pertamanan.Hasilnya,dua hari setelah rapat itu,seluruh tanaman hias di istana dibabat habis.Semua diganti tanaman baru.Bunga-bunga dari jenis entah apa.

Tanaman bunga yang belum berbunga pun telah menggirangkan sang presiden.Terlihat indah memang.Taman istana yang luas itu terasa tampil beda.Pengelompokan jenis bunga yang apik,dan penataan yang eksotik;pastilah menteri pertamanan dan timnya telah bekerja sangat keras memenuhi permintaan sang presiden.Dan tanaman bunga itu,daunnya saja sudah memancarkan keindahan.Baru kali ini saya melihat tanaman bunga dengan daun beraneka warna.Biru,merah,hijau,kuning,ungu.Oh,pikiran saya jadi usil.Ya,usil.

Bukan hanya berpikir,tetapi saya iseng menghitung jumlah jenis tanaman bunga berdaun aneka warna.Jumlahnya empat puluh tujuh jenis.Berarti empat puluh tujuh warna daun.”Lhadalah,kok sama dengan jumlah partai di negeri ini....”batin saya bergumam.

Jum’at sore,ketika matahari mengurangi voltage pancarannya,selepas presiden mengantar pulang tamu kenegaraan di bandara kepresidenan,begitu tiba di istana langsung melihat-lihat tamannya.

“Menurut menteri pertamanan,dua hari lagi mereka akan serentak berbunga,”kata presiden entah kepada siapa.Tapi karena hanya saya yang didekatnya,mungkin saja kalimat itu memang diperdengarkan kepada saya.

“Sudah tak sabar rasanya menungu hari itu,”kata beliau lagi.

Saya diam.Tetap diam.

“Kamu mesti ikut,”presiden menoleh kearah saya.”Seluruh rakyat negeri ini mesti ikut.”

“Maaf,pak.Maksud bapak?”tanya saya.

“Ah,nantilah kamu pasti tahu maksudku.”

Minggu sore,ketika matahari perlahan-lahan mematikan sinarnya;presiden didampingi istri dan menteri pertamanan mengelilingi taman.

“Semua kita memang harus siap menghadapi perubahan.Kalau tidak ingin digilas perubahan itu sendiri.Makanya,sebelum mereka menggilas kita,kita harus lebih dulu berubah.”

“Apa rakyat kita sudah siap,pak?”tanyaibu negara.

“Makanya,sebelum mereka siap,kita dulu yang pertama.Kapan kira-kira kita bisa mulai,pak menteri?”

“Kalau menurut hitungan,seminggu setelah bunga pada mekar secara keseluruhan,proses selanjutnya segera menyusul.Lalu berikutnya,kita mulai bisa mengumpulkan ke gudang baru di selatan istana.Tiga puluh enam hari kemudian,kita mulai perubahan,”sungguh saya belum paham pada apa yang dijelaskan menteri pertamanan barusan.

Tetapi bapak presiden sunguh sangat terkesan.Sungguh.

Benar saja,sesuai hitungan pak menteri pertamanan,bunga-bunga mulai bermekaran.Indahnya tak terkatakan.Bapak presiden senangnya juga tak terkatakan.Dan memang sudah direncanakan,seluruh agenda presiden dikosongkan sampai tigapuluh enam hari kedepan.

Negara berjalan seperti biasa saja.Tak ada yang berubah.Setidaknya belum.Aktifitas istana juga berjalan;Wakil presiden yang jarang muncul,juru bicara yang selalu bicara,anggota dewan yang tetap begitu,petani tetap bertani,koruptor yang tetap suka korupsi,menteri keuangan yang selalu mencari pinjaman.Pokoknya berjalan,kehidupan tetap berjalan.Sekalipun mungkin ditempat.Kalau sudah begini,kadang saya berpikir,”Untuk apa ada presiden?”

Tanaman bunga yang aneh,pikir saya.Bunga berdaun biru bunganya merekah merah.Berdaun kuning berbunga hijau.Diantara keheranan saya itu,presiden malah bahagia setengah mati.Tiada henti dan tiada jemu mengelilingi taman sekehendak hati.Pagi,siang bahkan tengah malam.

“Lihatlah,”entah sudah berapa ratus kali beliau mengatakan kata yang sama.Sejak halaman istana ini ditanami bunga aneh bin nyata.Selalu.Selalu mengajak mata saya memandang hamparan bunga yang sangat tertata.”Besok.Pagi-pagi sekali akan terjadi,”sambung beliau.

Benarlah adanya.Pagi-pagi sekali,ketika saya hendak menemani beliau berolah raga berlari mengelilingi istana seperti biasa,ada yang tak biasa dimata saya.Dan karena yang tak biasa itu,beliau membatalkan acara olahraga paginya.

“Perubahan sudah mulai hari ini rupanya,”kata presiden sambil mendekati tanaman bunga satu persatu.Sampai semua.Sampai beliau bilang,”Ya,semua sudah datang.”

Siapa yang datang?

Saya heran,setiap beliau mendekati kuntum bunga,beliau riang luar biasa.Ada apa gerangan?Saya ikut mendekati bunga-bunga itu.Dan,oh!Ulat!Ribuan ulat kecil panjang sewarna daun bunga.Ulat kuning di bunga berdaun kuning,ulat hijau di daun hijau,ulat biru di biru,dsb,dst.

Oh,Tuhan.Keanehan apalagi ini?Tapi presiden tetap riang.Makin riang.Melihat ulat-ulat itu mulai melahap daun bagiannya.Ulat ungu memakan daun ungu,ulat hitam makan daun hitam,ulat kelabu makan kelabu.Otak saya menjadi buntu memikirkan tanaman bunga berdaun sewarna,lalu kembang yangseperti tukar posisi,lalu sekarang ulat.Duh.

Melihat ulat sedang makan,presiden malah lupa makan.Mengamati dengan seksama para ulat yang lahap menyantap daun-daun bunga.Ulat-ulat tetap tertib.Belum memakan daun yang tidak sewarna.Ulat yang tadi pagi kecil panjang,kini terlihat gemuk dan lamban. Tetapi tetap lahap.Makin lahap.Tiada merasa kenyang rupanya.Makin siang makin garang.Makin berani.Termasuk memakan yang sedari tadi seperti tabu untuk dilakukan.Ulat-ulat yang yang tadi tertib sekarang tak tahu aturan.Memakan bunga yang bukan sewarna bulunya.

Ulat hijau makan daun merah,ulat biru makan ungu dan seterusnya.Dan sebagainya.

Menjelang petang,ulat-ulat berhenti makan.Tepatnya tiada yang dimakan.Habis sudah daun,bunga dan batangnya sekalian.Taman istana terasa aneh kini.Tanpa bunga.Tanpa hiasan.Kecuali ribuan ulat yang gemuk seukuran lengan.Menjijikkan.Tetapi presiden tidak jijik.Beliau,dengan semangat,memungutinya satu persatu.Memindahkannya ke gudang yang telah disiapkan di selatan istana.Dan,walau merasa jijik,saya ikutan membantu.Ibu negara juga turut serta.Para menteri dan nyonyanya masing-masing juga ikut.Pasukan pengawal presiden juga.Memungutinya satu persatu. Memindahkannya ke gudang.

Tepat tengah malam,usai sudah semua.

“Kunci pintunya,”perintah presiden.

Dan dengan sigap,komandan pasukan penjaga mengunci pintu gudang.Para menteri,termasuk saya sebagai ajudan presiden,merasa puas.Kerja menjijikkan seharian selesai sudah.Tetapi,

“Presiden dan ibu mana?”tanya saya.

Para menteri saling pandang.Pasukan pengaman presiden juga saling pandang.

“Didalam gudang?!”

“Lho?!”

“Bagaimana ini?! Presiden kok dikunci dari luar?”

“Sudahlah,”kata menteri pertamanan.”Beliau menginginkan begitu.Jangan panik,pada saatnya nanti beliau akan keluar sendiri.”

Tanpa ada presiden semua masih berjalan.Seakan masih ada presiden.Tetapi saya,sebagai ajudan,menjadi tak ada kerjaan.Seharian hanya memandangi pintu gudang yang terkunci rapat.Tidak hanya dari luar,tetapi juga dari dalam.Sehari,dua hari,seminggu,tiga minggu dan....suatu pagi dihari ke tigapuluh enam;...

Ada suara aneh berasal dari dalam gudang.Suara dengung,ah bukan.Suara desis,juga bukan.Suara aneh pokoknya.Seperti desir angin.Tapi lembut.Lembut sekali.

Menteri pertamanan datang tergopoh-gopoh.”Sekarang waktunya.Ya,sekarang,"katanya langsung menuju pintu.Membuka kuncinya,lalu membuka pintunya,lalu....

“Ya,Tuhan..”gumam saya begitu pintu gudang terbuka.Dan mata saya langsung menangkap isi gudang.Ribuan,atau bahkan ratusan ribu mahkluk nan indah siap mengepakkan sayap untuk terbang.Kupu-kupu.Aneka rupa,aneka warna.,”Rupanya ini asal suara aneh tadi,”batin saya.

Mata saya lalu tanpa lelahmemandang kupu-kupu yang satu per satu terbang keluar gudang.Terbang mengitari istana.Ribuan,bahkan ratusan ribu.Terbang dengan aneka formasi.Indah,sangat indah.Tapi dimana presiden dan ibu negara?!Apa yang terjadi dengan beliau berdua selama tiga puluh enam hari didalam gudang?Dan...

Ketika hampir seluruh kupu-kupu keluar gudang,ada sepasang kupu-kupu besar mendekati pintu.Siap ikut terbang.Kupu-kupu yang besar.Kupu-kupu yang indah.Presiden dan ibu negarakah itu?

Dan,sayap mulai dikepakkan.Ringan.Sepasang kupu-kupu itu terbang sudah.Dan saya yakin.Itu presiden beserta ibu negara.Terbang.Turut mengitari angkasa diatas istana.Sebagai ajudan,saya harus ikut.Harusnya.Tetapi saya bukan kupu-kupu.Saya tentu tidak bisa terbang.Saya tidak punya sayap.Saya hanya punya sepasang tangan.”Tangan?!,”saya terkejut setengah mati melihat sepasang tangan saya.Benarkah ini tangan.Kenapa melebar?Kenapa menjadi tipis?Aha,ini sayap.Sayap yang indah.Sayap kupu-kupu.****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun