TUJUH BELAS hari setelah tanggal tujuh belas. Delapan bulan setelah bulan delapan. Seperti tujuh belas hari yang lalu, delapan bulan yang lalu. Pohon sono kembang itu hapal betul bagian mana dari tubuhnya yang akan diikat tampar kecil. Ditarik membentang sampai pohon sono kembang lain di sisi timur, di atas trotoar .Sebuah pelanggaran. Ya bapak tua penjual bendera itu melanggar aturan; menggelar dagangannya di trotoar. Memajang dagangannya dalam bentangan tampar kecil antar pohon sono kembang. Semua merah putih saja. Kali ini ia tak menjual warna lain.
Angin yang kering di kemarau ini menerbangkan bendera aneka ukuran, berkibar-kibar. Turut mengibarkan pula harapan, agar ia, bendera dan umbul-umbul itu, hari ini laku. Barang satu.
Bapak tua itu sungguh setia. Sesetia ia pada tempatnya berdagang. Sesetia pohon sono kembang menyetiainya. Sebuah hubungan diam-diam yang saling melengkapi. Tak ingin ia pindah tempat jualan. Tempat ini sungguh strategis, menurutnya. Jalan yang selalu ramai. Karena di timur itu, sekitar seratus meter dari tempat ia menggelar dagangannya, adalah sebuah mal yang ramai. Selalu ramai. Mal itu identik dengan ponsel dan aneka saudaranya. Juga, belakangan, ia melengkapi diri sekaligus mengokohkan diri sebagai mal khusus barang-barang IT.
Mana peduli bapak penjual bendera itu pada semua itu. Ia hanya pedagang bendera. Dan itu dilakoninya nyaris dalam sepanjang sisa umurnya.
“Kok agak siang, Pak?”
Penjual bendera itu tersenyum mendengar tukang tambal ban, satu-satunya tetangganya di trotoar ini, bertanya. Tetapi ia, tukang tambal itu, yang tak pernah pakai baju dan seolah malah bangga dengan kulitnya yang sehitam ban itu, tidak mangkal di trotoar. Ia membangun gubuk kecil; tempat kerjanya sekaligus 'rumahnya' di tanah kosong yang entah milik siapa. Yang di tanah itu menancap sebuah papan peringatan; Dilarang Buang Sampah Disini. Sebuah penegasan bahwa tanah ini berpemilik. Tetapi tukang tambal ban itu tak peduli. Sekalipun ia sadar, ia mungkin saja termasuk sampah. Itu pernah diungkapkannya kepada bapak penjual bendera itu suatu ketika. Dan peringatan, baginya, adalah peringatan. Ia selalu ingat itu. Selebihnya ia berpendapat, ini tanah Tuhan. ”Dan aku adalah makhluk Tuhan juga. Berhak pula kan aku menempatinya.”
Bapak tua itu terus saja menata dagangannya. Hapal betul tangannya bendera ukuran berapa ditempatkan dimana. Sungguh seperti bendera –bendera itu yang menuntunnya ke arah mana ia menggantung di seutas tampar itu.
“Semoga hari ini ada yang laku.”
Sekali lagi bapak tua penjual bendera itu menyenyumi saja kata-kata si tukang tambal ban. Senyum sebagai pengaminan atas doanya. Yang saban hari diucapkannya. Ya, setiap pagi, setiap bapak tua itu mulai menggelar dagangannya. Kata-kata itu, yang semacam doa itu, selalu saja menyapanya. Juga ucapan ‘Kok agak siang, Pak' itu.
Bapak tua penjual bendera itu menjadi curiga dibuatnya. Dinilainya, tukang tambal ban itu sebagai pengarang yang buruk, yang hanya bisa mengawali sebuah cerita dengan hanya dua kalimat yang itu-itu saja. Itu pertama. Hal kedua, menurutnya, tukang tambal ban itu begitu banyak dosanya. Buktinya, setiap doanya, yang ikutan berharap dagangannya laku, selalu saja tak dikabulkan Tuhan. Lama sudah tak ia temui orang-orang membeli bendera dagangannya.Ya, sejak tanggal tujuh belas bulan delapan yang lalu.
Tetapi hari ini, tujuh belas hari setelah tanggal tujuh belas, delapan bulan setelah bulan delapan, ia tetap setia menggelar dagangannya. Mula-mula banyak orang heran. Untuk apa berjualan bendera selain di bulan Agustus? Bapak tua penjual bendera itu tak peduli atas segala keheranan orang-orang. Bukankah hukum alam juga yang menghapus segala keheranan menjadi sesuatu yang biasa saja bila hal yang mengherankan itu terus saja terjadi. Ini, menurutnya, berlaku atas segala hal.