PUNYA tali rafia, Kang?" Mas Bendo mertamu   sambil membawa kain putih yang sudah ia  tulisi dengan cat hitam.
"Untuk apa?"
"Untuk pasang ini di pinggir jalan,"  dengan bangga Mas Bendo membentang kain putih itu di hadapan Kang Karib. Kain  putih dengan kalimat yang sering Kang Karib baca belakangan ini di sekujur tubuh  Surabaya. Yang berisi kecaman tertuju kepada PSSI (sering ditulis sebagai  P$$I)  dengan bumbu umpatan khas Surabaya.
"Kamu itu", ujar Kang Karib, "sudah  jalanan dibikin rapi dan ditata serta dijaga kebersihannya   kok malah semua jadi   gak nyaman dipandang gara-gara  spanduk dipasang pating crentel  dan penuh pisuhan".
"Ini perjuangan, Kang", sergah Mas Bendo.  "Jangan dipandang sebagai mengotori keindahan dan sejenisnya. Saya ini, sebagai  Bonek, sedang melawan."Â
"Tetapi melawan kan bisa dilakukan secara  elegan, nDo."
"Di saat PSSI melakukan tindakan  sedemikian jahat kepada Persebaya, mosok kita melawannya dengan lembek. Bisa-bisa kita malah  diremehkan dan tidak direken sama  sekali. Sekali lagi, saya ini bonek, Kang, dan ada darah Surabaya di tubuh saya.  Darah Surabaya adalah darah pejuang, darah pahlawan. Dan ingat, bangsa yang  besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan", oceh Mas Bendo melebar  tak karuan.
"Pahlawan? Bukankah pahlawan adalah  bertujuan luhur demi kemerdekaan, misalnya, dan untuk itu rela berkorban jiwa  raga?"
"Saya, sebagai bonek sejati juga rela  mati, Kang. Rela berjuang sampai titik darah penghabisan demi  Persebaya..."
"Sungguh, nih? Sungguh rela mati cuma demi   bal-balan?   Mbokya jangan segitulah, nDo.  Santai saja. Lagian apa sih yang  kamu dapat dari membela tim kesayanganmu itu?"
"Kebanggaan, Kang. Dan itu tidak dapat  dihitung nilainya", dalih Mas Bendo. "Sudah, Sampeyan ini punya tali  rafia apa tidak sih?"