SETIAP Idul Fitri saya banyak sekali menerima ucapan Selamat Hari Raya dari teman. Dan di era ponsel sekarang ini, mengirim ucapan selamat macam itu sama sekali tak ribet dan relatif tak mahal. Asal mau saja. Padahal dulu, saat jaman kartu ucapan, duh betapa makan waktu dan biaya; memilih jenis dan warna kartu yang pas, misalnya warna apa untuk siapa. Belum lagi menuliskan kata-kata di lembaran itu. Menempeli prangko kemudian membawanya ke kotak pos. (Belum lagi kalau kita merasa tulisan tangan kita jelek dan untuk itu kita memakai jasa orang lain untuk menuliskannya dengan imbalan, tentu saja.) dan kartu itu memakan sekian waktu untuk sampai ke orang yang dituju.
Sekarang, detik ini dikirim, detik ini pula sampai. Nyaris sama sekali tak ada jeda.
Kembali ke ucapan Selamat Idul Fitri yang saya terima; ia datang tak sekadar dari teman sesama muslim, tetapi tak sedikit pula dari yang non-muslim. Kartu ucapan lewat SMS itu memang sekadar ucapan, tetapi secara makna tentu ia lebih dari itu. Ungkapan 'minal aidin wal faizin' sampai yang hanya 'skor kita sekarang 0 – 0, ya?' adalah bentuk pendek dan sederhana dari ungkapan hati yang sesungguhnya. Dan urusan hati, Anda tahu, hanya si punya hati itu dan Tuhan saja yang tahu. Tapi penjelasannya tentu bisa panjang. Misalnya, orang yang hatinya sungguh baik, tidak akan mungkin melakukan hal yang tidak baik.
Pendek kata, walau tak selalu, perkara toleransi (beragama) lebih kepada urusan hati, bukan sekadar casing semata. Setiap akhir Desember, ramai bertebaran 'fatwa' haram bagi muslim mengucapkan selamat Natal kepada teman-teman Nasrani. Benar, urusan akidah adalah hal yang sangat prinsip. Bahwa kemudian ada pihak/tokoh muslim yang dengan ringan bilang mengucapkan selamat Natal itu tidak apa-apa, inilah yang malah bikin saya --yang tidak dalam-dalam amat ilmu agamannya ini-- menjadi bertanya dalam hati; ikut pendapat yang mana?
Dalam berhubungan, kita memang tak melulu secara vertikal antara makhluk dan Sang Pencipta. Yang secara horizontal, dengan teman dan relasi dari berbagai agama, adalah sebuah hubungan yang niscaya. Dan dalam hubungan sosial itu diperlukan komunikasi yang semestinya; yang saling menghargai, saling mengerti.
Antara saya dan Tuhan tak perlulah ditawar apa yang mesti saya lakukan sebagai makhluk dan Pencipta, tetapi kepada sesama itu, yang selama ini berhubungan sangat baik walau beda agama itu, kadang yang bikin hati ini tidak nyaman. Tidak mengucapkan Selamat Natal tidak enak, mengucapkan Selamat Natal tidak boleh.
Tetapi, sekali lagi, urusan toleransi itu perkara hati. Tentang 'larangan' yang harus saya patuhi itu sepertinya semua teman saya yang Kristiani tentulah mengerti. Dan mengerti adalah inti dari toleransi. Maka, ketika antar hati sudah saling mengerti, adakah ucapan yang perlu mewakili? *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H