Mohon tunggu...
edi wijaya rochman
edi wijaya rochman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mencoba untuk menjadi yang lebih baik lagi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Terima Kasih, Ayah!

17 Juni 2010   06:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:29 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Terima kasih, Ayah!

“Ayah, terima kasih” ucap Dina pagi itu.

Didi yang sedang merapikan kemeja dan memantaskan dasi terkejut mendengar suara anak tunggalnya. Raut mukanya kebingungan, Didi tidak mau mematahkan senyum kecil di wajah lucu Dina. Tapi tidak di pungkiri rasa ingin tahu ayah satu anak ini akan hal manis yang terucap dari bibir Dina lantas membuatnya bertanya.

“Untuk apa sayang???” tanya ayah dengan tenang.

Senyum simpul milik Dina masih saja mengembang, wajah dibalik pintu itu secepat kilat berubah menjadi tawa kecil hingga gigi-gigi mungil milik murid kelas dua sekolah dasar itu menyembul, segera di tutupinya tawa tadi dengan tangan kanannya. Kontan ekspresi manager sebuah perusahaan swasta itu bertambah heran. Mengingat-ingat ada apa dengan hari ini? Mana tahu dia melupakan hari bersejarah, tapi ini bulan April, ulang tahun Dina tiga bulan lagi, sedangkan Bunda ulang tahun tepat pada tanggal 31 Desember, maka ulang tahun Bunda tidak pernah terlewatkan, karena dirayakan diseluruh dunia. Atau ini ucapan terima kasih dari si bungsu untuk hadiah atas nilai semester kemarin yang berhasil merebut juara ketiga dikelas. Akh…tapi itu kan sudah lama sekali. Didi segera menghampiri dan membungkukan badannya, memegangi tubuh kecil Dina yang sudah siap dengan seragam merah putih, lengkap dengan dasi.

Sekolah anaknya lumayan jauh dari rumah, oleh karena itu Didi selalu berangkat lebih awal kekantor sekalian mengantar putri satu-satunya. Jam kerja dimulai pukul delapan pagi, tapi buat Didi, sampai dikantor jam setengah delapan pun tidak masalah. Demi anaknya, cibiran dari kawan-kawannya yang berkata dia cari muka atau kerajinan-lah sering dia dapati, tapi Didi diam saja, mereka tidak tahu hal yang sebenarnya. Jam sekolah Dina mulai pukul 6.30 pagi, peraturan baru pemerintah akan hal itu tidak merubah niat Didi untuk mengantar putri kesayangannya, baginya, peraturan yang dibuat pasti bertujuan untuk kebaikan. Lagi pula, bukannya kalau berangkat pagi udara jauh lebih segar? Dan jalanan jauh lebih lengang? Akh…ini hanya masalah kebiasaan saja. gumam Didi dalam hati.

“Tapi untuk apa sayang, kok gak dijawab??? Tanya Ayah lagi penuh rasa penasaran.
“Hayooo..ngaku??Kalau kamu ngaku nanti Ayah ceritakan pengalaman Ayah saat dikejar owa jawa sewaktu naik gunung dulu, pasti kamu penasaran??” bujuknya.
Didi memang pandai merayu klien, tidak heran, dalam waktu setahun saja jabatan yang disandangnya melesat bak roket, manager marketing kini telah resmi gelar yang dipakainya. Tapi untuk urusan merayu anak, Didi kalah set dengan Nina—istrinya, sifat keras kepala Dina didapat dari bundanya. Didi yang baik dan tegas menikah dengan Nina yang keras kepala dan manja, kemudian lahirlah anak yang luar biasa. Nama Dina adalah penggabungan dari nama mereka. ‘Di’ dari nama Didi dan ‘Na’ adalah nama panggilan Nina. Mereka menikah karena dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Terdengar kolot memang, tapi Didi dan Nina yakin, pilihan orang tua tidak pernah salah.
Rumah tangga mereka baik-baik saja, rumah sederhana yang mereka sekarang mereka diami adalah tabungan bersama ketika masa berpacaran dulu. Saling mengerti, saling memahami, saling percaya, saling mencintai dan saling menyayangi, itulah mereka setiap hari. Pertengkaran kecil dan emosi yang tercetus, dimaklumi dan diselesaikan bersama sebagai proses pembelajaran diri. Mereka sangat harmonis, Dina merasakan kasih sayang yang tidak kurang sedikitpun. Orang tua mereka kompak, dan menyayanyi Dina sepenuh hati. Satu lagi, Dina anak yang pintar.

“Ayo dong sayang, jangan buat Ayah penasaran, atau Ayah panggil Bunda biar kamu mengaku. Ada apa dengan ucapan ‘Terima kasih’ tadi?? pinta Didi
Dina masih tertawa, Didi penasaran setengah mati. Kini gadis kecil berambut keriting itu mulai menarik nafas panjang, dadanya kembang kempis, mulut yang di tutupinya dengan kedua tangan kini mulai terlihat lagi. Raut mukanya kini berubah 180°. Masam sekali.
“Yah…Ayah curang, jangan panggil Bunda, ok…ok aku kasih tahu ya, tadi itu aku mau bilang terima kasih karena Ayah sudah mau mengantar aku ke sekolah setiap hari, aku tahu Ayah selalu datang lebih awal hanya untuk mengantarku sekolah, supaya aku tidak kesiangan, lalu aku bilang terima kasih untuk kasih sayang Ayah yang selama ini diberikan untukku, terima kasih untuk terus mencintai Bunda dan aku, terima kasih untuk sabar dan memberitahuku jangan nakal, terima kasih untuk selalu merawat kalau aku sakit…” jawab Dina…“Terus aku meminta kepada Tuhan supaya Ayah selalu sehat, diberikan rejeki yang banyak, tetap menyayangi aku dan Bunda, menyayangi Opa dan Oma, juga menyayangi teman-teman kantor Ayah.” Tutup Dina sambil mencium pipi kanan Ayahnya dan langsung berlari membawa senyum termanis.

Didi masih tertegun, ucapan-ucapan tadi seperti suara malaikat yang terus dihembuskan ditelinganya. Dadanya seperti diremas-remas, rasa haru dan bangga menghingapi diri hingga tidak terasa air matanya jatuh, membasahi wajah usia tiga puluh lima tahun. Didi masih terdiam, terbayang mata polos itu berkata seindah puisi pujangga-pujangga ternama. Ucapan jujur dan tidak mengada-ada yang keluar dari buah cinta pertamanya. Didi segera berdiri dan menghapus air matanya, sambil berkata ‘Amin’ didalam hatinya yang masih dilanda perasaan mengharu biru.


**owa jawa = nama spesies monyet, bertaring dan berbulu hitam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun