PILPRES masih tiga tahun lagi. Namun, wacana calon presiden dan wakil presiden sudah santer mengemuka. Perang elektabilitas menjadi komoditas banyak lembaga survei. Ramuan simulai pasangan capres-cawapres jadi berbincangan.
Salah satunya, diluncurkan lembaga survei Polmatrix. Â Lembaga ini menawarkan kombinasi duet antara lain Prabowo Subianto-Puan Maharani, kemudian Jusuf Kalla-Anies Bawedan, Ganjar Pranowo-Khofifah Indar Parawansa, Ridwan Kamil-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), hingga Gatot Nurmantyo yang dipasangkan dengan Rizieq Shihab.
Hasilnya, Prabowo-Puan diminati paling banyak yaitu 19 persen dari jajak pendapat terhadap 2.000 responden mewakili 34 provinsi yang dilakukan pada 20-25 Maret 2021.
Duet JK-Anies ternyata menyodok di peringkat kedua dengan tingkal elektabilitas mencapai 16,4 persen. Disusul Ganjar-Khofifah (15,6 persen), RK-AHY (12,3 persen), Airlangga Hartarto-Sandiaga Uno (4.7), Erick Thohir-Tito Karnavian (3,2), hingga Gatot-Rizieq (1,3). Survei ini menyisakan 27,3 persen responden yang masih enggan membuat pilihan.
Menarik bahwa sosok Jusuf Kalla yang pernah menjabat dua kali sebagai wakil presiden dan pernah mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2009 ternyata masih menjadi pilihan responden. Perolehan angka cukup tinggi hanya terpaut 2,6 persen dibanding duet Prabowo-Puan.
JK bisa jadi ikut terangkat dengan sosok Anies Baswedan. Bagaimanapun elektabilitas Anies dalam banyak survei selalu berada di peringkat tiga besar, ia bersaing ketat dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meski tetap di bawah Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Duet JK-Anies bisa menjadi antitesis dari dominasi Presiden Joko Widodo dalam pemerintah dua periodenya. Ia bisa menjadi simbol perlawanan terhadap status quo yang hadir melalui koalisi mayoritas pemerintah saat ini. Pasangan ini bisa menjadi magnet kubu oposisi atau pihak yang kecewa pemerintah.
Inisiasi simulasi duet JK-Anies bisa menjadi bola liar yang kemungkinan akan terus membesar dalam perjalanan waktu tiga tahun ke depan. Tampaknya, pasangan ini akan menjadi duet terkuat dalam memberi tantangan melawan koalisi Gerindra-PDIP.
Namun, JK-Anies tidak mempunyai perahu partai politik untuk berlayar menuju Pemilu 2024. JK memang masih mengorbit dalam kapasitasnya sebagai Ketua Umum PMI dan Ketua umum pengurus pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) periode 2012-2022. Meski, kedua organisasi itu memiliki jaringan di seluruh Tanah Air tetapi tetap bukan parpol.
Tentu saja, kapitalisasi dukungan bisa dilakukan JK. Latar bisnis keluarga yang menggurita merupakan modal awal. Ketokohan mantan Ketua Umum Partai Golkar ini masih disegani di partai warisan Orde Baru itu. Bisa jadi jejak kaki di partai beringin masih dimiliki JK hingga saat ini.
Andaikan JK bisa kembali berhasil merangkul Golkar tentu menjadi pijakan kuat untuk merajut syarat presidential threshold. Kemudian Anies Baswedan bisa memenangi konvensi Partai Nasdem.Â
Dengan sedikit lobi ke PKS, pasangan JK-Anies dipastikan akan mendapat dukungan dari partai dakwah itu. Namun gabungan Golkar-Nasdem sebenarnya  sudah menjadi modal dasar yang cukup untuk  lolos sebagai calon kandidat Pilpres 2024.
Tentu jalan mulus itu bisa dilakukan karena Partai Golkar adalah partai pragmatis. Meski saat ini getol mensosialisasikan Ketua Umum Airlangga Hartarto sebagai capres tetapi partai beringin akan kembali realistis ketika berbicara elektabilitas.
Dengan bekal bahwa JK adalah tokoh senior Golkar maka akan gampang diterima di seluruh jajaran kader. Kubu penolak kemungkinan mudah luluh jika melihat sejarah partai yang selalu menggantung pada penguasa itu.
Menghadirkan duet JK-Anies juga memberikan nilai tawar dari wawasan keterwakilan. JK mewakili sosok dari luar Jawa sedangkan Anies meski berdarah Arab tetap harus bisa di representasi Jawa. Meski soal Jawa tentu akan kalah pamor bila dibanding Prabowo atau Puan.
Pasangan JK-Anies bila mau digarap dari sisi generasi pun bisa dijadikan komoditas kampanye. JK yang berpengalaman di pemerintahan hingga dua kali wapres di usia sangat matang yaitu 78 tahun tentu memberi nilai tambah. Sebaliknya Anies dengan pengalaman sebagai gubernur berusia 51 tahun bisa mewakili generasi produktif meski juga bukan muda lagi.
Mau tidak mau jika duet ini berhasil menyusun kekuatan hingga menjadi pasangan kandidat calon maka nuansa politik identitas akan kembali mengental. Latar JK sebagai pemimpin DMI tak bisa dihindarkan. Demikian pula pendukung Anies saat menjadi gubernur DKI tak bisa ditutupi. Identitas di sini lebih pada benturan antara ideologi agama dan nasionalis. Â
Namun, lebih dari itu. JK pernah menyampaikan tidak ingin berkecimpung dalam pemerintahan. Tokoh Bugis yang dipanggil Daeng Ucu ini pernah menyatakan keinginannya untuk fokus di bidang keagamaan dan sosial. Bahkan, kesakralannya sebagai juru damai akan lebih menjadi fokus perhatiannya.
Kita hanya bisa melihat ke depan apakah JK kokoh dalam pendirian untuk tidak kembali ke panggung politik. Ataukah karena merasa terpanggil, kemudian ingin kembali mengepak sayap sebagai orang nomor satu di negeri ini. Satu hal yang belum diraih dalam karir politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H