DUA peristiwa terkait kedaulatan RI menyita perhatian publik. Kontroversi pertama soal wanita Jerman yang bertandang ke markas FPI. Kemudian drone asing yang ditemukan di perairan Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Wanita Jerman yang menemui Sekjen FPI Munarman ternyata menimbulkan kontroversi. Tidak hanya terkait apa urusannya bule itu menemui Munarman tetapi juga adanya besa penjelasan antara pemerintah dan DPR. Pemerintah menyebutkan warga asing tersebut adalah staf diplomatik. Ia telah ditarik ke Jerman sehari setelah menyambangi sekretariat ormas yang kini terlarang itu.
Beda dengan DPR yang disampaikan politikus Nasdem Muhammad Farhan. Ia menyebutkan sosok perempuan yang diantar mobil berpelat nomor diplomat Kedubes Jerman bukanlah seorang diplomat tetapi intelijen Jerman dengan nama Suzanne Hol. Ia pegawai Badan Intelijen Jerman, BND (Bundesnachrichtendienst).
Dua versi ini masih menyisakan misteri. Pemerintah Indonesia cukup puas dengan jawaban bahwa stafnya yang belum sempat mendapat status persona non grata itu hanya mau bertanya soal demo di Istana yang kebetulan mau lewat Kedubes Jerman.
Bagi Farhan tentu mengherankan. Intel Jerman yang telah melakukan pelanggaran diplomatik kategori berat itu seolah hanya bisa dimaklumi. Tentu sangat mengherankan jika intel Jerman bisa menjalin kontak dengan lembaga seperti FPI. Jelas bahwa Jerman melakukan intervensi dalam urusan domestik. Ia melakukan kegiatan mata-mata di Indonesia.
Belum tuntas kasus intervensi telik sandi negara asing itu. Kembali dihebohkan dengan mata-mata asing dalam bentuk drone laut. Masuknya alat pengintai asing itu menunjukkan betapa lemahnya Indonesia. Barang yang dikendalikan bangsa asing itu jelas-jelas melanggar kedaulatan RI.
Drone laut/UUV (Unmanned underwater vehicle) berlabel Shenyang Institute of Automation Chinese Academic of Sciences. Bahkan peristiwa temuan drone bawah laut bukan untuk yang pertama. Sudah tiga kali kejadian. Tahun 2019 di Pulau dekat Laut Cina Selatan. Kemudian Januari 2020 di Jawa Timur.
Pengamat militer menyebutkan bahwa alat drone tersebut untuk merekam semua kapal-kapal yang beroperasi di perairan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Memang, UUV tersebut ditemukan dalam kondisi ada kendala teknis dalam sistemnya tetapi bukan karena sudah tidak terpakai.
Kondisi tersebut jelas mirip bule Jerman yang masuk markas FPI. Drone bawah laut tersebut juga mematai-matai perairan Indonesia. Pemerintah melalui TNI AL dan Kementerian Pertahanan, serta Menlu harus memberi penegasan. Apa yang sedang terjadi dan memberikan tindakan tegas kepada negara pemilik drone tersebut.
Drone mirip rudal tersebut memiliki panjang 2,25 meter dan berat 175 kilogram. Nelayan yang menemukannya. Temuan tersebut sempat dibiarkan di rumah seminggu hingga akhirnya diserahkan ke Koramil Pasimarannu. Kini sudah diamankan di Pangkalan Utama TNI AL VI Makassar.
Kejadian temuan Drone bawah laut yang diduga diluncurkan pada 2017 tersebut tidak bisa diremehkan. Pemerintah melalui Kemhan, TNI, dan Mabes Polri harus melakukan tindakan nyata. Kewaspadaan perlu ditingkatkan terutama di wilayah Laut Cina Selatan yang bisa berpotensi pecah konflik antara Tiongkok/China dan Amerika Serikat.