Di akhir 2016, saat Bank Indonesia (BI) merilis uang pecahan baru, sekelompok masyarakat melakukan protes keras. Bahkan, mereka akan menggugatnya secara hukum. Gara-garanya di uang baru itu dianggap ada gambar palu aritnya.
Gambar palu arit adalah dua benda yang sudah dianggap identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah partai yang dilarang sejak era pemerintahan Soeharto.
Pihak BI sudah memberikan penjelasan bahwa tudingan itu sama sekali tidak benar. Tanda yang dianggap sebagai palu arit itu adalah logo BI yang dipotong secara diagonal, sehingga membentuk ornamen yang tidak beraturan. Gambar tersebut merupakan gambar saling isi (rectoverso), yang merupakan bagian dari unsur pengaman uang rupiah (detikcom Selasa 10 Jan 2017, 11:15 WIB).
Benarkah di sejarah kita pernah ada palu arit di uang kita? Izinkan saya cerita sedikit pengalaman yang barangkali ada manfaatnya.
Saat riset tentang Djamhari (2014) dulu, saya bertemu salah seorang narasumber yang suka mengoleksi beberapa barang. Di antaranya mengoleksi uang-uang kuno. Dari dalam dan luar negeri.
Narasumber tersebut menunjukkan kepada saya uang pecahan Rp 1.000. Uang kertas terbitan 1964 itu berwarna merah. Satu sisi uang itu bergambar ilustrasi Soekarno. Sisi lainnya gambar ilustrasi seorang petani yang sedang membajak sawah dan dua orang lainnya sedang menanam.
Sekilas uang itu biasa saja. Maksudnya tidak ada bedanya dengan uang yang lain. Kepada saya, narasumber itu membisiki bahwa jika diterawang ada gambar palu arit di uang itu. Saya buru-buru keluar rumah untuk mempraktikannya.
Apakah benar? Sepenglihatan saya memang ada gambar palu aritnya di pojok-pojok uang itu.
Jika memang itu gambar palu arit, bagaimana mungkin lambang palu arit ada di uang itu? Secara pasti saya belum tahu jawabannya.
Namun, sebagaimana diketahui, dalam sejarah perpolitikan Indonesia, pada 1964, PKI masih menjadi salah satu partai sah di Indonesia. Pengikutnya puluhan juta. Partai ini mempunyai hubungan relatif dekat dengan Soekarno dan beberapa kadernya duduk di pemerintahan.
Kembali ke uang kuno tadi, narasumber saya berikutnya menunjukkan uang-uang kunonya lagi. Bagaimana dengan uang yang lain? Apakah juga ada palu aritnya. Sayang sekali saat itu saya tidak menerawangnya.