Mohon tunggu...
Edi Suliswanto
Edi Suliswanto Mohon Tunggu... -

bocah ndeso

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pagelaran Terakhir

29 November 2013   20:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:31 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adzan Isyak baru selesai

berkumandang dari mikrophone tua

masjid seberang jalan, sebentar lagi

kewajiban akan tertunaikan oleh

segelintir umat yang taat. Malam ini

rombongan Kethoprak kami

mendapatkan kesempatan menghibur

penonton di halaman Balai desa

seperti tahun-tahun kemarin. Tapi

pagelaran tahun ini ada sesuatu yang

mengganjal di hati kami, mulai dari

banyaknya protes yang tidak setuju jika

acara malam puncak seni di desa kami

di isi dengan pagelaran kethoprak

sampai kondisi kesehatan dari salah

satu pemain andalan kami yg kian

memburuk.

Bau asap rokok murahan hasil

sumbangan dari warga kami yang

kasihan, bercampur dengan aroma

bedak hasil patungan kami, mengiringi

alunan suara gamelan yang di tabuh

para niyogo kami membabar gendhing

srepeg mataram terasa mendayu

seperti menggambarkan suasana hati

kami yang resah.

“Aku kira kamu benar-benar tidak jadi

datang” sambutku membuka

percakapan.

“Tenang kawan suara gamelan ini yang

memaksaku datang lagipula di

pagelaran terakhir ini aku tidak ingin

mengecewakan penggemarku...”

katanya sambil menghisap rokokdalam-

dalam.

“Uhuk....uhuk....!” batuknya memaksa

untuk tidak melanjutkan kata-kata yang

belum selesai.

“Kamu benar tidak apa-apa?” tanyaku

sedikit khawatir, karena pesan singkat

dari istrinya yang masuk ke telephon

genggamku belum ku hapus

“Mas,,,,mohon maaf kondisi mas Didik

kurang sehat mas cari penggantinya

saja ya,,,,?” begitu bunyi pesan singkat

dari istrinya.

“Nggak apa-apa aku sudah minum

obat.....” katanya berusaha

menyembunyikan sakit.

“Aku jadi apa malam ini...?” tanya

nya.

“Biasalah...., jadi

musuhku....hahahahaha....” kataku

sambil menepuk pundak nya.

“Dari dulu kita musuhan terus ya....?”

tanya nya sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa di panggung kita

selalu jadi musuh tapi di belakang

panggung kau adalah sahabat

terbaiku....” balasku.

‘’Aku rias dulu....masalahnya aku

keluar adegan pertama” kata nya

sambil ngeloyor ke sudut ruang ganti.

“Ya.....kostumu sudah di siapkan sama

teman-teman” jawabku.

Tari gambyong pari anom baru saja

selesai di suguhkan sebagai tarian

wajib untuk sebuah pagelaran

kethoprak karena merupakan tarian

pembuka yang berfungsi sebagai

ucapan selamat datang untuk para

penonton.

Adegan per adegan kami lakonkan

dengan sepenuh hati, saatnya tiba

adegan dimana aku dan dia beradu

akting aku memerankan tokoh

Ranggalawe dan dia memerankan

tokoh Nambi, penonton ikut tegang

ketika Ranggalawe tidak setuju dengan

keputusan Raden Wijaya yang

mengangkat Nambi sebagai Mahapatih

Mangku Bumi di Majapahit, mereka

seakan ikut hanyut terbawa alur cerita

dan seakan kembali kemasa ratusan

tahun silam.

Penonton yang tadi sore berjubel

memenuhi halaman balai desa kini

tinggal separuhnya, mungkin hanya

tinggal penonton yang benar-benar

pecinta kethoprak, hingga mereka

penasaran untuk mengikuti sampai

akhir cerita pertunjukan kami, atau bisa

jadi mereka adalah orang-orang

penderita insomnia, atau mungkin

mereka masih menunggu anak-anak

mereka yang belum mau di ajak

pulang.

Sepertiga malam telah berlalu.....

Pertunjukan kami akhirnya selesai,

suara gending ayak-ayak pamungkas

karya Ki Narto Sabdo mengalun malas,

semalas pesinden dan para niyogo

yang mulai diserang rasa kantuk, juga

membayangkan upah mereka yang

tidak sesuai untuk harga menahan

tidak tidur semalaman.

Penonton sudah sepi, kini tinggal para

pedagang kaki lima yang sibuk

mengemasi daganganya, wajah mereka

sedikit berbinar membayangkan rupiah

hasil untung dagangnya, aku ikut

tersenyum ada perasaan bangga

menyeruak dalam dada, “Ternyata

pementasan ini membawa berkah

tersendiri buat mereka” gumanku

dalam hati.

“Baju merah kumpulkan sama merah,

baju hitam kumpulkan sama hitam,

kain batik di lipat yang rapi....”

instruksiku kepada teman-teman,

karena aku tidak mau harus mengganti

rugi kepada pemilik baju-baju sewaan

ini, pengalaman tahun kemarin tidak

ingin kami ulang kembali, dimana kami

harus patungan untuk mengganti kain

batik yang hilang.

“Ini baju siapa......?!!” tanyaku dengan

nada tinggi bercampur jengkel, karena

di sudut ruang ganti ada tas plastik

berisi baju satu set tergeletak tanpa

ada identitasnya, peraturan yang kami

sepakati bersama sesudah selesai

pertunjukan baju yang sudah di pakai

harus di lipat, dimasukan tas pastik, di

beri identitas pemakainya.

“Nggak tau mas....”jawab Istiono

pemeran Lembu Sora.

“Besok kalau ada yang hilang aku

tidak mau ikut patungan” ancam

Effendi pemeran Raden Wijaya,

memang teman kami yang satu ini

sedikit tempramental tapi pada

dasarnya baik.

“Kayaknya itu kostum nya didik” sahut

Rustam pemeran kebo Anabrang,

mencoba mendinginkan suasana.

“Orangnya mana?!!!!! Wah gak

tanggung jawab!!!!” teriaku karena rasa

jengkel yang sudah memuncak.

“Sabar yah.........ayah jangan marah-

marah.....” istriku mencoba meredakan

kemmarahan ku.

Kulirik istriku, kulihat dia menggendong

anak kami yang sudah tertidur pulas,

memang setelah ku lihat nyenyaknya

tidur anak kami, rasa amarah kian

mereda atau mungkin aku tidak tega

membangunkan tidur anaku dengan

teriakan ku.

“Ya sudah tolong di rapikan dan di

data jangan sampai ada yang hilang

seperti tahun depan” instruksiku.

“Siap komandan!!!!!!” jawab Supat dan

Peno serempak sambil menghormat

kepadaku layaknya seorang tentara,

duo pemeran dagelan kami ini memang

dia paling bisa mencairkan suasana,

tidak sia-sia mereka selalu jadi ujung

tombak kami untuk mengocok perut

penonton.

“Tam.....tolong beritahu Didik besok

tak tunggu di rumah....” kata ku.

“ya....” jawab Rustam pendek,rupanya

pengaruh alkohol dari minuman khas

daerah kami mulai bekerja, mungkin

kepalanya sudah terasa pusing

sehingga ingin cepat-cepat tidur.

Malam beranjak pagi, kurebahkan

tubuhku di sela-sela teman-teman yang

sudah mendahului ku menggapai alam

mimpi.

Matahari mulai meninggi memaksa

mata ku untuk tidak terpejam lagi, ku

hapus mimpi dalam tidur yang tidak

lebih 3 jam tadi. Semalam aku jadi

seorang adipati tuban,

sekarang....kembali ke kehidupan

nyata yang penuh realita, demikian

juga teman-teman yang lain mereka

tinggalkan semua peran mereka tadi

malam.

Tergopoh-gopoh Rustam menemuiku,

“Lok......ada kabar buruk” katanya,

memang aku sering di panggil Mbolok

oleh teman-teman entah apa artinya

aku sendiri tidak tahu, dan aku juga

lebih nyaman di panggil seperti itu.

“Kabar buruk apa....?” kataku.

“Didik masuk rumah sakit” katanya.

“Masya Alloh.......rumah sakit

mana...?”tanyaku. Hilang sudah rasa

jengkel, sekarang hatiku di penuhi

dengan kekhawatiran.

“Bangilan...”jawabnya pendek.

“Tunggu apa lagi ayo kita ke sana....”

kataku.

“Ayo....”katanya.

Motor Karisma butut ku menderu-deru,

kupacu hingga kecepatan maksimal

yang tidak pernah sampai 60 km/jam.

Akhirnya kami sampai juga di Rumah

Sakit.

Tidak sulit untuk menemukan ruang

istirahat pasien di rumah sakit di kota

kecil ini, Aku langsung masuk menemui

nya.

“Aku menunggu di luar saja aku tidak

tega melihat orang sakit” kata Rustam

memang temanku yang satu ini walau

berbadan kekar tapi berhati lembut

dan paling tidak bisa menahan air

mata ketika melihat penderitaan orang

lain.

Di atas tempat tidur ber sprei putih,

kulihat dia tergeletak lemas, tatapan

matanya kosong, kedua tangan dan

kedua lobang hidung nya terpasang

selang yang aku tidak tahu apa

fungsinya. Disamping kakinya yang

kelihatan kurus duduk bersimpuh

istrinya sambil memijit-mijit,mata

istrinya sembab menandakan dia

belum berhenti menangis dari tadi

malam.

“Habis pulang pentas semalam, mas

Didik langsung begini mas.....” kata

istrinya. Ada sedikit penekanan suara

di kata “pentas semalam”, sepertinya

dia ingin meminta pertanggungjawaban

ku.

Kudekati dia, kuraba keningnya

dingin...benar benar dingin.... kucoba

rapal do’a sebisa ku mulai dari do’a

bahasa arab yang dulu diajarkan guru

ngaji ku sampai do’a bahasa jawa

kuno yang aku peroleh dari dukun di

kampung sebelah, semua kurapalkan,

aku berharap mudah-mudahan ada

salah satu do’aku yang manjur.

“Dik.......apa yang kamu rasakan....?”

tanyaku. Dia menatap ke arah ku

sambil tersenyum.

“Ronggolawe sing teko

iki”(“Ranggalawe yang datang ini......”)

jawabnya balik bertanya.

“Iya” jawabku.

“Nambi wis ora kuat....” (“Nambi

sudah tidak kuat”) katanya.

“ Sudah Dik......main kethoprak nya

nanti saja kalau kamu sudah

sembuh...” kataku.

“Tidak bisa....setiap tarikan nafasku,

setiap detak jantungku, suasana

panggung selalu ada dalam benaku,

ragaku boleh mati, jasadku boleh

termakan cacing tanah, tapi semua itu

tidak akan bisa melunturkan

kecintaanku pada kethoprak Lok.....”

katanya, aku diam belum sempat aku

bicara dia meneruskan kata-katanya.

“Lanjutkan perjuangan kita

Lok....masih banyak impian-impian

kita tentang kethoprak yang belum

tercapai, dulu kita merintis dari

nol....kita main dengan iringan kaset

tape yang kita edit, kita main dengan

kostum alakadarnya, kita main tanpa

geber, kita memimpikan bisa main

dengan iringan gamelan asli, kita main

dengan kostum kethoprak sebenarnya,

kita main dengan panggung kethoprak

sebenarnya, kita juga bermimpi ada

donatur yang mengabadikan

pementasan kita dengan syuting

video,kita bermimpi kethoprak ini ada

yang nanggap,kini semua sudah

menjadi kenyataan, kamu tinggal

melanjutkan Lok....ibarat jalan sudah

kita babat tinggal melewati saja.... Kita

punya impian agar bisa tampil di layar

televisi, kita akan geser sinetron-

sinetron tidak mendidik itu, kita

jadikan Kethoprak sebagai

penyambung lidah rakyat, kita jadikan

kethoprak sebagai corong syiar agama,

kita jadikan kethoprak sebagai benteng

masuknya kebudayaan barat yang

tidak sesuai dengan norma-norma

ketimuran...Lok...aku mau

nembang......”katanya lirih.

“Ya nembang lah mungkin bisa sedikit

mengurangi rasa sakitmu......kan

suaramu lebih merdu dari suaraku...”

sahutku.

Sayup-sayup terdengar syair tembang

pamit ciptaan almarhum Gesang.

“Lilanono pamit muleh.......”

Hening.....sunyi...kutunggu lanjutan

syair berikutnya, tapi tiada

terdengar..... malah jeritan histeris

istrinya sebagai lanjutan syair tembang

yang belum selesai di bawakanya.

Kulihat Rustam menangis di balik

jendela, sebelum sadar apa yang

terjadi, tiba-tiba duniaku gelap....gelap

dan tanpa terasa aku menangis.

Selamat jalan sobat.......

Cerpen ini saya dedikasikan untuk

seorang sahabat , senimansejati,

saudara kami, Didik Sugiarto

Almarhum, semoga kau tenang di sana,

walau ragamu kini tidak bersama kami,

tapi semangatmu dan kecintaanmu

terhadap kethoprak akan selalu jadi

inspirasi buat kami, sobat....kami

kehilanganmu......

Mbolok sitompul si pena tajam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun