Mohon tunggu...
Edi Soer
Edi Soer Mohon Tunggu... Wiraswasta - TUKANG KAOS

hidup di desa , penggemar Basiyo

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Obrolan Angkring: Suara Kami Ada Harganya, Wani Piro?

6 Mei 2014   01:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_334838" align="aligncenter" width="614" caption="angkringan (dok.pri)"][/caption]

Teh jahenya nambah lik, yang panas nggak pake lama.”

Aku sorongkan gelas yang sudah tandas pada Lik Sastro, pemilik café di bawah pohon waru itu. Ya apalagi kalau bukan angkringan. Hujan masih belum reda, sesekali tempias air mampir juga ke bangku panjang tempatku duduk jigang. Untungnya gerobak angkringan selalu ada anglo dengan arang membara untuk tongkrongan tiga buah ceret. Selalu tiga buah, satu berisi air putih, satu teh dan satunya jahe. Aku rapatkan bangkuku lebih dekat ke gerobak, lumayan bisa menghangatkan.

“ Tolong bakar ini Lik,agak gosong dan seperti biasa…nggak pake lamaaa

Kali ini aku menyorongkan beberapa potong gorengan dan jadah. Imajinasiku rupanya tidak terkendali menyaksikan tumpukan gorengan dan arang yang membara. Kalau dua kubu itu berkoalisi, jadilah jadah bakar, singkong goreng bakar dan tempe goreng bakar. Panas, krispi dan gosong-gosong sexy.

‘Nggak usah kuatir mas, disini nggak pake lama. Kan lebih cepat lebih baik..’,katanya terkekeh

‘Hayah koyo semboyane capres aja’, sambil aku terima gelas teh jaheku kloter kedua. Uedan, panas tenan. Sepanas tahun politik kali ini.

‘Kemaren nyoblos opo Lik?’

‘Rahasia to mas, namanya juga golput, golongan penerima uang tunai hehehe..’

‘welah, sampeyan terima sogokan to Lik?’

‘Yo jelas mas, semua juga gitu. Suara kita kan ada harganya, wani piro. Siapapun yang jadi kan sama saja buat kita-kita ini..dilupakan’

Jadah dan gorengan yang kehitam-hitaman akhirnya terhidang didepanku. Benar kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya dan jangan menilai jadah bakar dari gosongnya.

Hujan masih gemericik, aku satu-satunya pelanggan yang tersisa. Mungkin orang malas keluar rumah dan memilih nonton hasil quick count di tv. Kunyalakan sebatang rokok menghisapnya dalam-dalam, sedikit mengusir dingin. Omongan lik Sastro agak mengganggu pikiranku. Wani piro…wani piro…suara kami ada harganya..wani piro?

………………………………………………………..

[caption id="attachment_334840" align="alignleft" width="505" caption="kampanye tolak politik uang (dokpri)"]

13992895621887281676
13992895621887281676
[/caption]



Pertengahan Januari lalu, adikku menelpon

“ Masih punya jaringan teman-teman di kampung?”

Rupanya salah seorang temannya menjadi caleg DPR RI di dapil sana. Sialnya dia bukan dari daerah itu dan selama ini tinggal di Jakarta. Jadilah aku didapuk jadi tim sukses -atau apalah namanya- dadakan. Tentu aku mau bukan tanpa alasan. Sedikit banyak aku kenal reputasinya, dia aktivis dan se-almamater. Dan yang penting dia orang baik dan layak seandainya jadi wakil rakyat.

‘Besok ketemuan di Solo ya, ngobrol-ngobrol sebentar’ kata Mas Caleg via telpon.

Singkat kata kami ketemuan, ngobrol ngalor ngidul.

‘Berani nyaleg emang sedia duit brapa?’ , aku menodong dengan pertanyaan tanpa basa-basi.

‘Ada sih, sedikit buat jalan. Tapi kalo untuk yang kamu maksud itu…nggak ada’

Rupanya dia sudah menebak arah pertanyaanku.

‘ Nggak mungkin!’ sergahku. ‘ Realitas dilapangan macam itu, orang nggak perduli siapa yang jadi anggota dpr toh janji mereka nggak bisa ditagih’

‘ Justru itu yang akan jadi bagian kampanyeku, tolak politik uang’ sahut Mas caleg mantab.

Yakin dapat dukungan?’

‘Kita harus memberi pembelajaran politik yang benar, hasilnya urusan nanti’

Hohoho.. menarik juga caleg satu ini. Rupanya Mas Caleg sudah mempersiapkan program-program kampanyenya.

‘Kita nggak bikin pengerahan massa, kita bikin pertemuan-pertemuan , lebih efektif’

Untuk yang ini aku nggak perlu banyak tanya, pengarahan massa kan butuh banyak duit.

Tibalah saatnya giliranku muter-muter menemui kawan lama, sodara, sodaranya sodara, kawannya kawan, kawannya sodara, sodaranya kawan, tokoh masyarakat, organisasi, caleg lokal separtai. Banyak pokoknya, pada sesi ini aku jadi mirip aktifis MLM nawarin dagangan. Pertanyaan pertama mereka rata-rata sama. ‘Ada duitnya nggak?’. Ketika aku jawab nggak ada, reaksinya macam-macam. Ada yang heran, sinis, nggak percaya.

‘Semua caleg bagi-bagi duit, berat peluangnya’ Kata seorang kawan yang aku temui hari itu.

‘Ada caleg DPRD yang bikin pertemuan minggu depan, kalo calegmu mo ngisi materinya biar dijadwal’, imbuhnya.

Akhirnya Mas Caleg kawanku banyak berkampanye dipertemuan-pertemuan yang dibikin caleg lokal sebagai pembicara tamu dan beberapa kali dipertemuan LSM. Yang mungkin beda dengan caleg lain, Mas Caleg ini nggak pernah ngomongin ‘pilihlah aku’, dia lebih banyak kampanye tentang pemilu yang bersih, kenapa harus tolak politik uang dan caleg macam apa yang layak dipilih.

Setelah pemilu berlangsung dan suara dihitung, apakah kawanku terpilih melenggang ke senayan?

…………………………….

Hujan belum juga berhenti, Lik Sastro terkantuk-kantuk malas di bangkunya, mungkin duit wani piro yang dia terima kemaren dah habis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun