Sehat merupakan hak bagi masyarakat, namun mencegah terjadinya sakit adalah kewajiban yang harus dilakukan sebagai anggota masyarakat. Berbagi pengalaman saya saat berkutat dengan jaminan kesehatan diawali saat anak saya terkena penyakit yang cukup berat. Pada tahun 2012, bulan Febuari, tanggal 7, anak saya divonis terkena Leukemia, dari hasil pemeriksaan sampel darahnya dokter menduga anak saya terkena Hyper Lekosit. Gejalanya cukup umum yaitu panas, seperti mau pilek, atau demam berdarah. Muka lesu, tidak bergairah, yang biasanya lincah mendadak kuyu, dan tidak mau beraktifitas. Saat itu anak saya berusia 9 tahun.
Dokter langsung mencecar tentang jaminan kesehatan apa yang saya punyai, karena penyakit ini tergolong katastropis, atau penyakit yang akan menghabiskan biaya cukup banyak. Di tengah kebingungan, tentang jaminan kesehatan, saya teringat bahwa anak saya diikutkan KK (Kartu Keluarga) bersama mertua saya di kota Yogyakarta, saat itu saya tinggal di wilayah Bantul. Saat itu semua warga yang berada di wilayah kota Yogyakarta, dijamin oleh jaminan kesehatan masyarakat, sebelum ada BPJS saat itu. Masyarakat kota Yogyakarta, dijamin oleh pemerintah kota untuk perawatan rumah sakit kelas 3. Di saat itulah saya menyadari betapa pentingnya jaminan kesehatan saat terjadi musibah kesehatan menimpa keluarga saya. Memang cukup ribet karena harus mengikuti beberapa aturan validasi yang memang harus dipertanggungjawabkan ke negara. Singkat cerita, anak saya tanggal 1 Maret 2012 tidak dapat tertolong karena setelah kemoterapi beberapa waktu, Tuhan berkehendak lain untuk segera memanggilnya. Sedih luar biasa bagi kami satu keluarga, karena begitu peliknya saat melakukan perawatan anak saya di bangsal kanker anak di RS. Sardjito waktu itu, ternyata tidak berhasil menyelamatkan jiwanya. Jaminan kesehatan masyarakat waktu itu segera beralih ke BPJS, sehingga kami saat itu bimbang dan ragu mengingat pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Kota Yogyakarta saat itu sudah terstruktur rapi. Semua biaya perawatan anak saya saat di RS. Sardjito, di-cover semua oleh Jamkesmas.
Dengan berat hati akhirnya kami berpindah ke layanan BPJS Mandiri, di mana kita haru membayar iuran perbulannya waktu itu. Kami masih nyaman dengan pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat Kota Yogyakarta yang sudah terbukti membantu kami. Saya secara pribadi menyadari betul bahwa penyakit dapat sewaktu-waktu mampir di tubuh kami sekeluarga, sehingga secara sadar setiap bulan kami selalu membayar iuran BPJS sebagai ganti Jaminan Kesehatan Masyarakat yang telah melebur di sini.
Dugaan saya benar adanya, karena kesedihan yang mendalam, akhirnya istri saya divonis oleh dokter terkena kanker payudara, setelah 1 tahun kami ditinggal anak saya tercinta. Saat itu dokter kembali menanyakan apakah saya ikut jaminan kesehatan atau tidak, karena penyakit kanker payudara adalah penyakit yang cukup lama penanganannya dan tergolong juga katastropis (menghabiskan biaya banyak). Waktu itu, BPJS masih di awal-awal aktivitas setelah semua layanan jaminan kesehatan di daerah melebur ke layanan ini. Hal ini membuat dokter juga masih bingung tentang seberapa besar Coverage dukungan dana dari BPJS. Dokter segera melakukan pembedahan untuk mengambil jaringan kanker istri saya, dan terbukti benar bahwa kanker istri saya termasuk stadium yang cukup berbahaya. Dokter cukup cepat menangani pembedahan, dan penanganan kanker diserahkan ke team dokter yang terdiri dari beberapa spesialis keahlian. Kami merasakan pelayanan BPJS cukup baik bisa menggantikan Jamkesmas yang selama ini kami nikmati. Walaupun demikian, kita sebagai keluarga pasien memang harus jeli dan selalu update untuk pelayanan BPJS yang masih tahap awal waktu itu. Dokter memutuskan untuk melakukan beberapa terapi antara lain terapi sinar, dan kemoterapi yang cukup panjang prosesnya. Sekali lagi, cobaan bagi keluarga kami cukup berat mengingat kami baru saja kehilangan anak kami, dan saat ini harus tertimpa musibah kesehatan kembali yang sangat berat.
Penanganan yang paling krusial adalah saat kemoterapi, karena obat kemoterapi kanker payudara sangat mahal sekali berkisar 20 Juta satu kali kemoterapi. Padahal kami harus melakukan kemoterapi 24 kali, bisa dibayangkan betaba beratnya kondisi keuangan kami saat itu. Dengan daya upaya yang luarbiasa, kami akhirnya mendapatkan jaminan bantuan kemoterapi dari BPJS sebanyak 8 kali, dan produsen obat juga memberi bantuan 4 kali kemoterapi kalau tidak salah. Intinya bantuan ini luarbiasa membantu kami, walaupun dokter selalu mengatakan bahwa kemoterapi ini bukan menjadi obat yang mujarab bagi kanker yang diderita istri saya. Hal ini mengingat kanker setiap penderita mempunya sifat yang unik, berbeda satu dengan yang lain.
Bagi kami, jaminan kesehatan harus mutlak ada, saling bergotong royong bagi yang sehat membantu yang sakit. Karena kemungkinan sakit bisa terjadi pada semua anggota keluarga. Jika BPJS tidak didukung masyarakat, dan ditegaskan oleh negara supaya masyarakat taat saling membantu dalam menjaga kesehatan, bukan mustahil layanan kesehatan penyakit katastropis tidak akan dapat dilakukan. Layanan BPJS menurut kami semakin baik, dan hal ini kami rasakan manfaatnya saat berkali-kali kami harus melakukan uji laboratorium yang cukup mahal saat menjalani perawatan jalan.
Ini sekadar pengalaman yang luar biasa kami jalani, saat ini istri saya masih kontrol dokter kanker per 6 bulan, semoga semua kembali sehat seperti sedia kala. Doa sederhana ini yang selalu kami gaungkan setiap hari saat memulai hari yang semakin tidak menentu ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H