Hendrikus Colijn, mantan Menteri Urusan Daerah Jajahan, sekitar tahun 1927 - 1928, pernah mengeluarkan pamflet yang menyebut : Kesatuan Indonesia sebagai suatu konsep kosong. Menurutnya, masing-masing pulau dan daerah Indonesia ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan jajahan ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah. Ini adalah pandangan sinisnya, ketika mengetahui adanya gerakan pemuda-pemuda dari berbagai suku berkumpul dan berbicara. Apalagi sejak tahun 1915 telah berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Islamieten bond (1924), Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun dan Pemuda Kaum Betawi. Dan jauh sebelumnya telah berdiri pula Boedi Utomo (1908). Apalagi dengan tertangkapnya laporan kongres yang berjudul Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongress (Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama) yang diterbitkan oleh panitia Kongres Pemuda. Hal ini diketahui oleh Tabrani ketika ia tengah bersiap meninggalkan Tanah Air untuk berangkat ke Jerman. Dan kelak pada tahun 1973 Tabrani menemukan dokumen kongres itu di Museum Pusat (kini bernama Museum Nasional) dalam kondisinya yang memprihatinkan. Siapakah Tabrani? Pemuda ini bernama lengkap Mohammad Tabrani Soerjowitjitro, lahir di Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904. Ketika itu ia berusia 21 tahun, saat memimpin Kongres Pemuda Indonesia pertama yang digelar di Jakarta pada 30 April 1926 hingga 2 Mei 1926. Keputusan yang menetapkan Tabrani menjadi ketua panitia adalah hasil dari pertemuan sebelumnya yang terjadi pada tanggal 15 November 1925 dengan lima organisasi pemuda dan beberapa peserta perorangan yang bertemu di gedung Lux Orientis, Jakarta. Organisasi itu adalah Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa, dan Sekar Roekoen. Dan Tabrani mewakili Jong Java. Pada hari terakhir Kongres Pemuda pertama ini, Muhammad Yamin (saat itu berusia 22 tahun) menyatakan hanya ada dua bahasa, Jawa dan Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan. Namun Yamin yakin bahasa Melayu yang akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. Dan peserta kongres saat itu hampir sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Namun Tabrani menentang : "Bukan saya tidak menyetujui pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa." Menurut Tabrani, kalau nusa itu bernama Indonesia, bangsa itu bernama Indonesia, "Maka bahasa itu harus disebut bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu, walaupun unsur-unsurnya Melayu." Pendapat ini diterima Yamin dan Djamaludin. Keputusan menetapkan bahasa persatuan itupun ditunda dan akan dikemukakan lagi dalam Kongres Pemuda Kedua. Dan dalam Konggres Pemuda kedua, 28 Oktober 1928, lahirlah Sumpah Pemuda, yang akhirnya menetapkan bahwa bahasa persatuan kita adalah bahasa Indonesia. Walau Tabrani dan Djamaludin tak dapat hadir karena sedang berada di luar negeri, tapi peserta rapat dengan rasa ke-Indonesiaan yang tinggi dan kebesaran hati mau menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Kelak bahasa ini lebih besar dari bahasa Melayu, karena mampu menyerap bahasa-bahasa daerah dan pengaruh kebudayaan di masyarakat. Mengapa Tabrani mengusulkan Bahasa Indonesia? Sebelum Kongres Pemuda pertama, Tabrani yang ketika itu adalah seorang wartawan dan Pemimpin Redaksi Hindia Baroe, banyak menulis tentang perlunya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Dalam rubrik 'Kepentingan' pada tanggal 11 Februari 1926 yang berjudul 'Bahasa Indonesia' menyatakan bahwa bahasa adalah satu-satu jalan untuk menguatkan persatuan Indonesia dan karena itu haruslah berikhtiar untuk memiliki satu bahasa "yang lambat laun akan dapat diberinya nama bahasa Indonesia." Lalu tambahnya, pergerakan yang tak begitu keras dan lekas antara lain karena "kita tak mempunyai bahasa yang gampang diketahui oleh sekalian bangsa kita Indonesia." Apakah bahasa Indonesia? "Lain tidak dari bahasa Indonesia yaitu bahasa yang oleh kita pada masa ini dianggapnya bahasa yang dipakai sebagai bahasa pergaulan oleh bangsa kita kebanyakan," tulisnya. Itulah bahasa yaang dipakai oleh perhimpunan Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia Merdeka di Negeri belanda, dan pers, tambahnya. Dia menyatakan, maksud gerakan menerbitkan bahasa Indonesia tidak lain agar persatuan anak negeri (Indonesia) akan bertambah keras dan cepat. "Jika menyebutnya bahasa itu bahasa Melayu salahlah kita. Karena sebutan semacam itu seolah-olah dan mesti mengandung sifat imperialisme dari bahasa Melayu terhadap kepada lain-lain bahasa bangsa kita di sini." Dia pun lalu menyerukan: Bangsa dan pembaca kita sekalian! Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu! Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu! Lalu pada Kongres Bahasa 1938, Tabrani pernah memberikan argumen bahwa bahasa Indonesia tidak beroposisi terhadap bahasa daerah, tapi merepresentasikan "Sumpah Kita." Sumpah kita para pemuda untuk tetap memelihara dan menjaga Indonesia dengan berbahasa Indonesia, bahasa persatuan. Rasa ke-Indonesiaan kita juga terletak pada kecakapan kita ber-bahasa Indonesia. Identitas yang harus dibanggakan. Begitu besar peran dan perhatian Tabrani untuk menyatukan negeri ini. Menyatukan suku bangsa dalam bahasa yang sama, yaitu bahasa Indonesia. Kalau tidak ada ia, mungkin kita saat ini tidak sedang berbahasa Indonesia, dan mungkin juga kita akan menjadi "bangsa yang bingung," berbangsa Indonesia namun bukan berbahasa Indonesia. Gejala yang sebenarnya kini juga sudah mulai kita rasakan. Berbangsa Indonesia, namun berbahasa "asing." Mari kita kembalikan semangat Tabrani, semangat menjaga bahasa Indonesia sebagai semangat menjaga persatuan negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H