Mohon tunggu...
Edi Purwanto
Edi Purwanto Mohon Tunggu... Administrasi - Laskar Manggar

Aku ingin melihat binar bahagia di matamu, wahai Saudaraku

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Atasi Defisit Anggaran dengan Menaikkan Tarif Pajak Secara Diskriminatif

20 Oktober 2014   16:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:24 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diskursus upaya mengurangai defisit anggaran, merupakan tema yang hangat akhir-akhir ini. Berbagai solusi alternatif pun diusulkan, mulai mengurangi subsidi BBM dengan cara menaikkan harga, menjual pesawat, menaikan cukai rokok, memangkas subsidi, menaikan harga BBM, dan lain sebagainya.

Menurut Penulis, upaya mengurangi defisit anggaran harus dilakukan dengan tiga cara, yaitu efisiensi dari sisi belanja, peningkatan penerimaan negara dan mencegah kebocoran baik di sisi pengeluaran maupun penerimaan APBN.

Terkait dengan peningkatan penerimaan negara, Penulis mengusulkan sebuah langkah alternatif, yakni menaikkan tarif pajak, khususnya PPN secara berbeda atau diskriminatif berdasarkan lokasi (location tariff). Maksudnya adalah, tarif PPN dinaikkan menjadi, misalnya 15%, tetapi tidak bersifat nasional, hanya daerah atau kota tertentu. Sehingga akan ada dua tarif, yaitu 10% dan 15%. Secara umum, tarif PPN adalah 10%, namun untuk daerah-daerah tertentu, misalnya DKI Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) tarif PPN-nya adalah 15%.

Adapun daerah atau kota tertentu ditentukan berdasarkan kajian yang mendalam, terkait potensi, dan kemajuan pembangunan ekonominya. Adapun polanya dapat Pulau Jawa (15%) dan bukan Pulau Jawa (10%), atau Jabodetabek dan kota besar lainnya (15%) dan bukan Jabodetabek dan kota besar lainnya (10%).

Pada dasarnya pemberlakuan tarif pajak berbeda, selama ini pernah dilakukan, yaitu dalam rangka penghitungan penghasilan neto bedasarkan norma. Oleh karena itu, perbedaan tarif bukanlah suatu yang asing dalam penghitungan pajak terutang.

Minimal terdapat tiga alasan, yang melatarbelakangi usulan penulis, antara lain:

1.Adanya perbedaan harga atas barang yang sama, menyebabkan perbedaan besarnya PPN.

Selama ini tarif PPN adalah tunggal, yakni 10% atas semua Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak. Ketentuan tarif tunggal ini menyebabkan PPN yang dibayar masyarakat atas konsumsi barang yang sama berbeda. Perbedaan besarnya PPN disebabkan karena adanya diskriminasi harga (price discrimination).

Bukan rahasia lagi, bahwa harga barang cenderung berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Sebagai contoh, harga sepeda motor di Jakarta, Semarang, dan Makasar berbeda. Berdasarkan harga resmi yang dikeluarkan oleh Astra Motor (www.astramotor.co.id), sepeda motor honda merek Absolute Revo Fit on the road, di Jakarta harganya Rp12.695.000,- sementara di Semarang sebesar Rp13.225.000, dan di Makasar sebesar Rp13.610.000.

Dari sisi mekanisme pasar, perbedaan harga tersebut wajar, mengingat adanya perbedaan ongkos produksi, ongkos angkut atau transportasi, dan asuransi, bahkan karena faktor kelangkaan supply sekalipun. Namun, mengingat perbedaan itu menyebabkan perbedaan jumlah PPN yang harus ditanggung oleh konsumen akhir, apakah perbedaan tersebut sebagai suatu yang wajar ?

Bahwa salah satu fungsi pajak adalah anggaran (budgetair), yakni pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, dan berdasarkan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007, Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara. Oleh karena itu, PPN yang dibayar oleh masyarakat merupakan konstribusi warga negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.

Semakin besar PPN yang dibayar, maka semakin besar sumbangan ke negara. Dengan kata lain, untuk mengkonsumsi Barang Kena Pajak / Jasa Kena Pajak yang sama, dalam hal ini Sepeda Motor merk Absolute Revo Fit, pembeli di Makassar harus menyumbang untuk pengeluaran negara lebih besar dari pada pembeli di Semarang dan Jakarta. Hal tersebut tampak ironis, mengingat berdasarkan data Statistik per Agustus 2013, pengeluaran rata-rata per kapita sebulan menurut provinsi tahun 2011 untuk propinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp599.462,-, sedangkan untuk propinsi DKI Jakarta sebesar Rp1.528.429,- dan Jawa Tengah sebesar Rp559.713,-. Dari sisi Upah Minimum Provinsi (UMP) pada tahun 2013 pun tampak timpang, untuk Propinsi Sulawesi Selatan sebesar Rp440.000,- jauh lebih kecil dari pada DKI Jakarta sebesar Rp2.200.000,- dan Jawa Tengah sebesar Rp830.000,-.

2.Tarif tunggal PPN menyebabkan pajak yang dibayar tidak proporsional dengan fasilitas negara yang dinikmati

Dilihat dari ketersediaan fasilitas pemerintah kepada warganya diantara ketiga kota, Jakarta lebih banyak dibandingkan dengan Semarang dan Makassar. Dengan demikian, wajar jika masyarakat Jakarta membayar PPN lebih banyak pada saat mengkonsumsi Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak (JKP) dari pada masyarakat di Semarang dan Makassar. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, masyarakat Jakarta yang lebih banyak menikmati fasilitas publik, justru pada saat mengkonsumsi BKP/JKP sumbangan pajaknya (PPN) lebih sedikit dari pada masyarakat Semarang, dan Masakasar.

Pepatah Jawa mengatakan, rega nggawa rupa, artinya harga mencerminkan mutu barang atau produk. Dalam teori harga (price), harga mencerminkan nilai (value) suatu barang (product). Semakin tinggi harga, semakin tinggi nilai produk dimaksud. Dalam hal ini konsumen akan rela membayar produk dengan harga mahal, jika nilai produk memuaskan.

Apabila konsep ini diterapkan untuk pajak, seharusnya besarnya pajak yang dibayar berbanding lurus dengan besarnya fasilitas yang dinikmati warga, sungguhpun dalam pengertian pajak tidak dikenal imbalan langsung, namun pada dasarnya masyarakat tetap mendapatkan manfaat dari pajak yang disetor walaupun tidak langsung, berupa layanan pemerintah, fasilitas umum, fasilitas pendidikan, rumah sakit, dan fasilitas lainnya. Dengan kata lain, warga akan mau membayar pajak lebih mahal jika faslitias negara juga memuaskan.

3.Fasilitas dan tarif tunggal PPN menyebabkan konsentrasi proses produksi dan konsumsi terpusat di kota besar.

Dampak lain, dari tarif tunggal PPN adalah proses produksi dan konsumsi cenderung terpusat di Jakarta dan kota besar, karena mereka bisa mendapatkan berbagai macam kemudahan dan harga yang murah, serta PPN rendah. Dampak ini tidak sesuai dengan fungsi pajak sebagai alat pemerataan pembangunan. Para disributor dan orang yang punya uang, cenderung membeli di Jakarta atau kota besar lainnya, karena harga yang cenderung murah, sehingga PPNnya rendah. Dampaknya pembangunan terpusat di Jakarta, pulau jawa atau kota-kota besar.

Apabila tarif PPN dinaikkan berdasarkan lokasi, bagi produsen atau konsumen yang sensitif dengan kenaikan tarif, mereka akan menggeser proses produksi dan konsumsinya ke daerah yang tarifnya lebih rendah. Pergeseran ini, bukan suatu yang merugikan, justru akan menjadi katalisator bagi pemerataan pembangunan secara alami bagi daerah yang belum maju, mengingat proses produksi dan konsumsi akan mampu meningkatkan pendapatan warga di daerah tersebut.

Kenaikan tarif PPN secara diskriminatif di Jabodetabek dan kota besar lainnya, akan ada potensi penerimaan pajak sebesar 5% atau separuh dari penerimaan PPN di daerah yang dinaikkan tarifnya. Jika daerah dimaksud adalah Jabodetabek, dan kota besar lainnya, maka potensi penerimaan pajaknya mencapai 200 Trilyun rupiah. Keuntungan lainnya juga adalah, proses menaikkan tarif PPN dan PPnBM tidak perlu repot menunggu persetujuan DPR, tapi cukup dengan Peraturan Presiden, sebagaimana mandat dari Pasal 7 dan 8 UU PPN.

Satu-satunya masalah yang dihadapi adalah potensi inflasi, namun penulis yakin hal ini bisa diatasi dengan memilih saat yang tepat untuk menaikkan tarif PPN. Kenaikan tarif yang tidak berpotensi menimbulkan gejolak barangkali adalah kenaikan untuk PPnBM dan pajak untuk orang kaya, atau menaikkan tarif PPh di latipan tertinggi.

Demikian usulan penulis semoga bermanfaat. Tulisan ini murni ide penulis selaku akademisi, tidak mencermintan ide dan gagasan institusi tempat penulis bekerja. (Edi Purwanto, PNS Kanwil DJP Jakarta Khusus dan Dosen di PTS).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun