Entah bahasa yang bersumber dari mana yang sedang merasuki jiwa, di akhir tahun itu tumpukan lelah mulai tertambat pada gunung harapan semu tentang keseimbangan waktu yang terasa menghunjam jauh diantara kita. Jiwa ini semakin dalam ditindih sepi setelah sekian lama tertahan tanpa terasa.Â
Bom kepedihan itu kembali membuat jiwa merintih, perihnya menganga seperti air jeruk nipis sedang mengucuri luka segar yang baru saja tersayat. Ah...nyeri memang, hingga detik ini pun harus berlalu degup jantung ini dalam kosongnya sunyi, melebur ingatan  dalam balutan hangat innaalillaahiwainnaailaihiraaji'un, laailahaillallaah, laahaulawalaaquwwataillaabillaah.
Pada saatnya semua akan dipanggil untuk kembali, tidak hanya hal yang bersifat ragawi, tetapi juga anugerah yang bersifat ruhani. Secara fisik kehidupan ragawi akan mati kembali ke bumi, begitu pula anugerah mencintai dan dicintai, sebagai karunia Ilahi yang hakiki, berkah yang dilimpahkan dalam hati manusia yang fitri.Â
Selalu ada dua sisi dimana kita berdiri untuk memotret, melihat kejadian sebagai jalan kedatangan hikmah, dan sisi lain sebagai luka yang membawa perih. Â Dalam bingkai apapun jiwa harus terus melangkah sembari ditempa, diajari agar tidak terus-menerus menjadi egois, agar rasa kemanusiaan yang sedang melemah dan tak berfungsi, tidak keburu roboh dan hancur, karenanya harus dibenahi dan dibangun kembali.Â
Bukankah yang nampak saling mencintai tidak harus selalu bersama sebagai kekasih?, tetapi saling mencintai sebagai sahabat, saudara, dan masih begitu banyak kerangka indahnya cinta yang mampu membingkai anugerah kehidupan ini. Yang berlalu hanya perlu diletakkan dalam cahaya ketulusan hati, ia tak pernah hilang, ia telah menjadi kenangan. Â Â
Edina Karamy
20 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H