Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Wanita dan Ritual Penyapihan Anak

31 Mei 2012   14:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:33 2139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.anneahira.com

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="http://www.anneahira.com"][/caption]

Berbicara tentang wanita rasanya tak akan pernah ada habisnya. Wanita selalu saja menarik untuk kita kupas dari segi manapun. Dari penampilannya, gaya hidupnya juga kesehariannya selalu bisa kita jadikan topik pembicaraan. Saking menariknya dunia wanita ini, makanya tak jarang kita jumpai rubrik khusus yang membahas seputar wanita. Lihat saja di koran dan majalah, bahkan mungkin di acara radio dan televisi dapat dengan mudah kita temukan informasi seputar wanita.

Di era modern ini, wanita tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Banyak sekali profesi yang dulunya dominan dilakukan oleh pria, sekarang menjadi lazim dilakukan oleh seorang wanita. Tengoklah berapa banyak wanita yang menduduki jabatan direktur, manajer, atau bahkan arsitek. Jabatan-jabatan tersebut umumnya dulu diduduki oleh kaum pria. Tapi seiring dengan kemajuan jaman, hal itu memungkinkan dijabat oleh wanita. Untuk itulah sebagai sesama wanita, kondisi yang demikian menjadikan saya bangga akan terhadap kaum saya ini. Saya bangga jika melihat ada wanita menjadi tukang becak, sopir angkot atau malah mungkin tukang gali kubur. Sama halnya dengan kekaguman saya terhadap pria yang menjadi sekretaris, koki atau malah pramugara.

Menyalahi kodrat? Ah tidak juga. Di jaman globalisasi ini “bertukar peran” antara tugas kaum pria dengan wanita, atau sebaliknya bukanlah barang yang baru. Apalagi dengan isu kesetaraan gender, pria berprofesi di bidang yang mayoritas ditekuni wanita atau sebaliknya wanita berkutat di bidang pekerjaan kaum pria sudah jamak terjadi. Jadi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan permasalahan menyalahi kodrat.

Sebagai kasus misalnya seorang ibu rumah tangga yang semula hanya bekerja di lingkup domestik, masak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga pada umumnya, tiba-tiba harus bekerja di sektor publik menjadi sopir angkot dadakan gara-gara suaminya yang seharusnya melakukan itu terkena musibah kecelakaan. Apakah kondisi yang demikian bisa disamakan dengan istilah menyalahi kodrat? Saya lebih sepakat jika hal yang demikian lebih dikarenakan tuntutan hidup. Kalau bukan karena tuntutan dapur agar terus mengebul, tentunya ibu tadi tidak akan bertindak segegabah ibu menggantikan tugas suaminya mencari nafkah. Toh banyak pekerjaan lain yang lebih feminim daripada menjadi sopir angkot. Tapi itu pandangan dari kacamata awam, dari yang menjalankan sendiri mungkin hal itu bukanlah persoalan besar. Sepanjang hal itu bisa dijalani, tidaklah menjadi masalah.

Kembali ke masalah kodrat, tidak bisa dipungkiri jika seorang wanita yang sudah menikah itu bakalan melahirkan. Sudah kodratnya pula wanita untuk mengandung dan juga melahirkan. Sementara kaum pria kebagian “jatah” untuk membuahi. Perpaduan peran keduanya inilah yang akhirnya akan menghasilkan generasi baru yang disebut bayi. Ketika wanita mampu melewati fase melahirkan inilah sering diibaratkan sebagai wanita yang telah “sempurna” dalam kodratnya. Dan sudah menjadi kewajiban wanita dalam hal ini adalah ibu untuk menyusui bayinya setelah fase kelahiran itu dilewati.

Menyusui menjadi salah satu “ritual” yang menarik untuk saya soroti mengingat dalam fase ini ada hal yang tidak bisa disepelekan yaitu masalah penyapihan. Penyapihan adalah suatu proses penghentian kegiatan menyusui bayi pada ibunya karena sudah melewati masa yang seharusnya, yakni 2 tahun. Jadi setelah lewat 2 tahun sebaiknya bayi sudah tidak menyusu lagi atau tidak menerima ASI (Air Susu Ibu) lagi.

Dan kalau mau bicara tentang penyapihan, tentu saja yang paling enak diajak omong adalah ibu-ibu yang pernah atau sedang menyusui anaknya. Membicarakan masalah penyapihan bayi kepada kaum pria, apalagi jika dilakukan di warung atau terminal, saya berani jamin jika pembicaraan tentang ini hanya akan memicu munculnya lelucon seputar wanita dan (maaf) payudaranya.

Saya sendiri mempunyai 2 orang anak kandung yang awalnya juga menyusu pada saya. Tapi kalau boleh jujur, fase menyusui anak yang saya jalankan mungkin tidaklah "semulus" para ibu-ibu pada umumnya. Karena kedua anak saya itu hanya mampu menikmati ASI ibunya dalam waktu yang "sekejap" yaitu sekitar dua bulan saja. Bukan lantaran saya malas menyusui dan tidak ingin payudara kendor setelah proses menyusui itu. Tapi lebih pada faktor kebetulan belaka. Apalagi saya juga tahu bahwa dengan rutin memberikan ASI pada anak secara psikologis katanya justru akan merekatkan hubungan antara ibu dan anak. Begitu pula sebaliknya jika kita enggan memberikan air susu kita pada anak akibatnya dari segi kesehatan akan memicu timbulnya penyakit kanker payudara.

Kalau pada kasus saya, kebetulan di sekitar bulan kedua masa menyusui anak saya, air susu saya tampak sudah habis. Koq bisa? Saya sendiri kurang tahu. Sekitar dua bulan setelah melahirkan, payudara saya benar-benar tampak mengecil seperti saat saya tidak memiliki bayi. Segala cara sudah saya upayakan, misalnya dengan cara dipompa, makan sayur-sayuran segar dan juga minum berbagai obat-obatan tradisional pelancar ASI yang biasa di konsumsi oleh ibu-ibu menyusui. Bahkan konsultasi ke dokter hingga diberikan obat-obatan pun tetap hasilnya nihil. Akhirnya dokter pun sudah angkat tangan. Praktis setelah itu anak saya sudah tidak minum ASI lagi dan terpaksa mengkonsumsi susu formula. Ini terjadi pada anak pertama saya.

Pada anak kedua kasusnya hampir sama yaitu sama-sama sudah habis air susu saya di bulan yang kurang lebih juga sama. Tapi persoalannya lebih dipicu oleh kejadian infeksi pada jahitan operasi ceasar saya. Sekitar sebulan setelah melakukan operasi ceasar, ternyata terjadi infeksi di bekas jahitan di perut saya. Karena itulah selama hampir sebulanan saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk kontrol dan oleh dokter saya diberikan obat antibiotik yang dosisnya kalau tidak salah waktu itu lebih dari 1000 mg. Karena harus rutin meminum obat antibiotik itulah, maka ketika anak saya harus meminum ASI selalu saja muntah-muntah. Saya sempat juga konsultasi dengan dokter tentang hal ini dan oleh dokter disarankan untuk menghentikan pemberian ASI sementara hingga proses penyembuhan infeksi saya selesai. Dan ternyata begitu sembuh, ASI saya kembali habis seperti kejadian pada anak saya yang pertama. Kembali upaya saya lakukan seperti pada anak pertama dan ternyata hasilnya juga sama-sama nihil. Karena itulah kalau ditanya bagaimana pengalaman menyapih anak, saya sama sekali tidak kesulitan karena memang tidak ada proses penyapihan yang saya alami seperti ibu-ibu menyusui lainnya.

Terus sebegitu susahnyakah proses penyapihan itu sehingga kadang-kadang begitu banyak daya dan upaya yang harus dilakukan oleh ibu demi kesuksesan proses menyapih anak-anaknya? Saya malah pernah mendengar kalimat begini : "Salah satu keunggulan ASI adalah pada kemasannya yang memikat!" Tentu saja maksud kalimat diatas hanyalah untuk kelakar saja. Untuk itulah, tak perlu dibaca terlalu serius. Apalagi kita juga tahu keunggulan ASI atas produk susu-susu yang lain dapat diketahui dan dibaca di berbagai media. Oleh karena itu saya pun akan akan membahasnya disini.

Saya justru sering menjumpai kejadian-kejadian lucu yang dialami oleh teman-teman saya selama proses penyapihan anak-anak mereka. Ada yang cukup mudah dengan cara mengoleskan balsem atau minyak kayu putih ke puting sang ibu, sudah mampu membuat anak mereka berhenti nyusu. Ada yang dengan menorehkan betadin ke puting susu ibu sehingga si anak ketakutan melihat noda mirip darah di puting ibunya. Bahkan ada yang saking sulitnya sampai terpaksa mengungsikan anaknya ke rumah neneknya selama sekian hari agar bisa berhenti menyusu ibunya. Setidaknya hal itu juga dialami oleh ibu saya ketika harus menyapih saya dan ketiga adik-adik saya. Saking susahnya saya disapih dulu, maka terpaksa saya dititipkan sementara waktu ke rumah nenek saya yang berlainan kota. Tapi efek yang terjadi selanjutnya akibat "mengungsikan" anak inilah, katanya ibu saya sempat dibenci oleh anak-anaknya yang sedang disapih kala itu. Bahkan anak-anaknya seperti enggan dijemput ibunya sendiri setelah merasa sekian lama "diasingkan" di rumah nenek. Lucu juga kalau saya menyimak cerita-cerita lucu seputar ritual penyapihan anak ini.

Yang lebih lucu lagi ketika saya menceritakan proses penyapihan anak saya yang boleh dibilang "sangat mudah" itu.

"Gimana gak habis kalo air susu ibunya juga dihisap ayahnya. Jelaslah anaknya kalah gak kebagian. Ayah sama anak ternyata saudara sepersusuan ya."

Begitulah olok-olok yang sering saya terima ketika sudah ngumpul keluarga besar. Dan semua saya tanggapi santai-santai saja karena memang tak seperti itulah cerita sesungguhnya.

Terus apa yang membuat proses penyapihan itu begitu pentingnya, sampai-sampai Kitab Suci Al Qur'an juga mengaturnya? Wanita dianjurkan untuk menyempurnakan menyusui anaknya sampai 2 tahun dan selebihnya dilakukan penyapihan.

Tentu saja penyapihan ini sangat penting meskipun prosesnya tidak selalu mudah. Kadang-kadang dibutuhkan perjuangan yang tak mudah karena menyapih membutuh kekuatan mental dari para ibu yang melakukan penyapihan. Mereka harus bertarung antara cinta dan rasa iba pada anaknya. Karena cintanya, ibu diharuskan menyapih anaknya agar jiwa anaknya yang tumbuh nanti tidak cenderung liar akibat selalu menuntut pemuasan atas apa yang diinginkannya. Namun demikian para ibu pun tidak bisa dengan mudah menerapkan model cinta seperti ini karena mesti bertarung dengan perasaan iba dan kasihan kepada anaknya. Bayangkan ibu mana yang tak teriris hatinya kala mendengar anaknya menangis menjerit-jerit meminta disusui?

Selain itu ibu mesti pintar bernegosiasi dengan anaknya karena pada usia penyapihan ini, anak akan cenderung melakukan pembangkangan dan akan menggunakan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk "meneror" mental ibunya. Mungkin anda pernah melihat seorang anak yang merengek, menangis keras, tak mau lepas dari pelukan ibunya, atau kalau anak itu cukup cerdik, ia bahkan akan mampu mempengaruhi lingkungan agar mendukungnya untuk mendapatkan ASI dari ibunya. Bisa saja ia menangis keras di tempat ramai dan takkan berhenti sampai sang ibu menyusuinya. Akibat "pengaruhnya" pula sampai-sampai orang disekelilingnya bisa berkata "sudah kasih saja ASInya daripada nangis terus!" Kalau ibunya mampu bernegosiasi, maka anak bisa belajar banyak untuk mengendalikan kesabarannya agar keinginannya bisa terpenuhi.

Jadi kalau ditanya apa sih nikmatnya ASI itu, apakah "kemasannya" memang menarik sehingga seringkali terjadi kesulitan dalam proses penyapihan anak. Kalau kita ingin tahu jawabnya, tentunya kita butuh memahami bahasa bayi. Sayangnya bayi-bayi usia penyapihan pada umumnya masih kurang lancar berbicara. Kalaupun sudah lancar tentu juga tidak mudah untuk menggambarkannya. Seperti halnya saya yang dulu begitu susah disapih, kalaupun saya ditanya apa enaknya ASI, saya pun susah menjelaskannya. Bahkan sekarang pun juga lupa bagaimana rasanya ASI itu. Jadi kalau ditanya mengapa susah melakukan proses penyapihan itu pastilah jawabannya juga bukan lantaran "kemasan" ASI yang begitu memikat. Dan membayangkan proses penyapihan anak, mau tak mau bayangan tentang "kemasan" ASI yang memikat itu justru muncul di pikiran saya. Sambil tersenyum, saya membayangkan betapa kreatifnya Tuhan saat menciptakan kemasannya itu ya sampai-sampai bayi yang tak tahu apa-apa saja begitu susah untuk melepaskannya.

NB : tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh ibu dan calon ibu di seantero Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun