[caption id="" align="aligncenter" width="328" caption="gambar dari google.com"][/caption]
Setahun, dua tahun, tanpa terasa lima tahun sudah pernikahan Pratiwi dan Faruq berlangsung. Seiring berjalannya waktu, karier Faruq pun semakin menanjak. Namun, bukan kehidupan yang makin harmonis yang tampak pada keluarga Pratiwi dan Faruq. Pada lima tahun pernikahan inilah, kerikil-kerikil tajam mulai mewarnai pernikahan mereka. Pertengkaran-pertengkaran kecil mulai sering terjadi. Dari yang urusan sepele saja bisa menimbulkan keributan. Masalah setrikaan baju yang dinilai kurang rapi bagi Faruq atau sepatu yang kurang mengkilap semirannya saja dapat memancing keributan dalam keluarga kecil ini.
Pratiwi yang tidak ingin memperuncing keadaan lebih banyak diam. Dia juga pasrah ketika Faruq mulai sering memaki-maki dirinya, menganggap sebagai perempuan yang tidak becus lagi mengurus suami. Diam dan hanya diam, itulah sikap yang ditunjukkan oleh Pratiwi jika suaminya itu mulai “berulah”. Begitupun ketika Faruq mulai berlaku kasar, Pratiwi hanya bisa nrimo. Bi Surti yang melihat itu semua hanya bisa menasehati.
“Tidak seharusnya Ibu diam terus ketika Pak Faruq mulai main tangan begitu, Bu. Apa pun masalahnya tidak harus selalu diselesaikan dengan kekerasan. Itu tidak baik, Bu!” nasihat Bi Surti suatu hari.
Tapi Pratiwi tetap tidak mampu berontak. Setiap kali ia ingin melakukan perlawanan, yang terbayang di benaknya justru wajah ibunya. Masih teringat jelas waktu itu ibu kandungnya berpesan pada dirinya “Nduk, sebagai istri itu tidak seharusnya berani sama suami, apa pun yang terjadi ia adalah imam bagi keluargamu. Setiap pertengkaran dalam keluarga itu wajar, dan semua pasti ada jalan keluarnya.”
Kata-kata ibunya itulah yang terekam kuat dalam ingatan Pratiwi. Tapi Pratiwi lupa bahwa tidak selamanya dia harus berdiam diri begitu saja, apalagi perangai kasar Faruq sudah terlampau batas. Dia orangnya ternyata sangat kasar dan pemarah. Dibentak, ditampar, dijambak, dan dipukul mulai sering dilakukan Faruq jika ada sesuatu yang salah dalam diri istrinya. Di mata Pratiwi, Faruq telah berubah 180 derajat. Faruq yang dulunya penyayang telah berubah menjadi orang yang sangat pemarah. Dan Pratiwi masih tetap saja diam.
Suatu ketika, ada tetangganya yang memberitahu Pratiwi bahwa telah melihat Faruq berjalan-jalan di suatu mall dengan seorang perempuan. Mereka tidak sekedar berjalan-jalan katanya, tetapi nampak seperti sedang berpacaran, mesra sekali. Begitu tetangganya pernah memberitahu Pratiwi tentang kelakuan suaminya. Namun, Pratiwi tidak mau mempercayainya begitu saja. Ia malah mencoba bertanya baik-baik kepada suaminya begitu suaminya pulang.
“Mas tadi ke mall ya? Ngapain mas, bukankah itu saatnya jam kerja?” Pratiwi mulai menyelidik. Mendengar pertanyaan istrinya, bukan jawaban yang diperolehnya, tetapi justru kata-kata kasar dari yang keluar dari mulut Faruq.
“Ngapain kamu mau tahu urusan laki-laki, aku seharian kerja di kantor, tahu!” bentak suaminya. Matanya merah, nampak sekali kalau Faruq marah diinterogasi begitu oleh istrinya.
“Siapa yang telah melapor kepadamu? Dasar! Mau ikut campur urusan orang aja!” makinya masih dengan nada kasar dan ketus.
Merasa belangnya mulai ketahuan istrinya, Faruq pun kembali mengeluarkan mobilnya dan pergi entah kemana. Pergi meninggalkan Pratiwi yang masih terheran-heran dengan sikap suaminya barusan. Faruq baru pulang kembali ke rumah menjelang subuh. Itu pun dengan kondisi yang tidak karuan, baju dan rambutnya acak-acakan, bau rokok di sekujur tubuhnya dan ada sedikit aroma lain yang keluar dari mulut. Alkohol. Ya, Faruq rupanya mulai minum-minuman keras. Melihat itu semua, Pratiwi masih diam. Ia tidak mau memancing keributan. Apalagi saat itu jam istirahat, malu kalau sampai tetangga mendengar keributan mereka.
Begitulah, akhirnya hampir tiap hari Faruq pulang malam. Kadang kalau istrinya bertanya, selalu saja dijawab dengan kata-kata yang sama. Meeting, itulah senjata andalan Faruq. Padahal, jelas sekali ada aroma rokok dan alkohol dalam tubuh Faruq. Mana ada orang meeting dengan suguhan alkohol, hingga mabok pula, begitu batin Pratiwi. Tapi itulah Pratiwi, dia hanya mampu diam dan pasrah atas kelakuan suaminya.
Hingga suatu ketika, Pratiwi dengan mata kepalanya sendiri, melihat kendaraan suaminya diparkir di suatu pertokoan. Di dalam kendaraan itu terlihat suaminya tengah berduaan dengan seorang wanita. Mereka tampak mesra sekali, bak sejoli yang tengah dimabuk cinta. Berpelukan, berciuman, di dalam mobil, di depan umum pula. Menjijikkan, begitu batin Pratiwi kala itu. Kelakuan menjijikkan Faruq itu tidak hanya disaksikannya sendiri, melainkan anaknya Anisa dan juga Bi Surti yang kala itu tengah menemaninya berbelanja. Ah…Anisa, mengapa kamu mesti melihat ayahmu bertindak sepertu itu, batin Pratiwi. Buru-buru Pratiwi mengajak Anisa dan Bi Surti menyingkir dari tempat itu.
Sore harinya, ketika suaminya pulang ke rumah, Pratiwi mencoba bertanya tentang apa yang baru dilihatnya tadi siang. “Mas ngapain tadi diparkiran begitu? Nggak ada tempat lain apa? Malu mas, itu tempat umum!” kata Pratiwi, kali ini dengan nada agak ketus.
“O…jadi kamu sekarang mulai memata-mataiku ya? Pengin jadi detektif, ya?” jawab Faruq penuh emosi.
Matanya sedikit melotot dan alisnya bertaut, giginya pun bergemeretek, nampak sekali kemarahan di wajahnya. Dan tiba-tiba… Plakk… “Dasar kampungan!” bentaknya kasar sekali sambil menampar pipi Pratiwi. Secepat kilat dia menyambar kembali kunci mobil yang tadi diletakkannya di atas meja dan kemudian menyalakan mesin mobilnya.
“Bremm…brem…” Faruq pun pergi entah kemana.
Tinggallah Pratiwi menangis menahan sakit di pipinya. Perih sekali bekas tamparan suaminya. Sakit hatinya. Dengan terisak-isak, Pratiwi berlari ke kamarnya sembari memegang pipinya yang mulai nampak memerah. Di dalam kamarnya ia tumpahkan semua tangisnya. Melihat Pratiwi yang menangis tersedu-sedu, Bi Surti yang tengah menyuapi Anisa di dapur bergegas menuju kamar majikannya. Dielusnya kepala dan pundak Pratiwi yang kala itu tengah tertelungkup di ranjang.
“Sabar, Bu…sabar…ya,” bisik Bi Surti pelan.
Melihat ibunya menangis, Anisa pun ikut menangis. Dipeluknya ibunya erat, seakan-akan ikut merasakan kesedihan ibunya. Pratiwi pun mendekap erat anaknya, seraya berkata “Anisa, kenapa kamu nak? Ibu tidak apa-apa, kok,” kata Pratiwi mencoba menenangkan anaknya.
Diusapnya airmatanya, seolah ingin menunjukkan kepada Anisa bahwa dirinya tidak kenapa-kenapa. Pratiwi tidak mau anaknya turut bersedih melihat penderitaannya. Tapi mata Pratiwi tidak bisa berbohong. Matanya tampak bengkak dan sembab. Pipinya pun mulai tampak merah dan bengkak. Melihat itu semua, Anisa tetap menangis. Kemudian Pratiwi berpaling ke arah Bi Surti yang duduk tak jauh darinya.
“Aku sudah nggak tahan, Bi, ” masih dengan sesenggukan Pratiwi berkata, “aku ingin bercerai saja!”
“Eh, Bu, hati-hati kalau ngomong, nggak baik. Ini persoalan rumit, Ibu jangan gegabah!” kata Bi Surti bijak.
“Kalo Ibu benar-benar sudah nggak tahan dengan perlakuan Pak Faruq, bercerai mungkin jalan yang terbaik. Tapi, sebaiknya hal itu ibu bicarakan dulu dengan keluarga besar Ibu!” nasehat Bi Surti.
“Saya malu Bi dengan ibu saya, apa kata beliau nanti bila tahu yang sebenarnya. Dulu sayalah yang memohon kepada ibu saya untuk menikah dengan Mas Faruq. Tapi apa jadinya sekarang? Saya nggak sanggup Bi, menceritakan ini semua kepada ibu saya.”
Dan tangis Pratiwi pun pecah kembali di pelukan Bi Surti. Bi Surti yang melihat kejadian itu semua, tidak mampu pula menahan tangisnya. Mereka bertiga pun saling berpelukan dan menangis bersama-sama.
***
Seperti biasa, Faruq baru pulang menjelang subuh. Dan seperti biasanya pula, penampilannya acak-acakan. Jalannya sempoyongan. Mengetahui suami pulang dalam kondisi seperti itu, Pratiwi hanya diam tak beranjak dari tempat tidurnya. Dia malah tambah erat memeluk anaknya yang tengah tertidur lelap di sampingnya. Dia keloni anaknya seakan tidak ingin dia lepaskan. Tapi begitu Faruq mulai rebah di sampingnya, Pratiwi pun akhirnya bereaksi.
“Dari mana saja kau, Mas, jam segini baru pulang? Tidak capek apa mabuk-mabukan terus setiap hari?” kata Pratiwi agak lantang.
Kali ini Pratiwi tampak begitu marah. Bau rokok dan alkohol tercium jelas di hidungnya. Dilihatnya baju suaminya acak-acakan dan ohh….ada beberapa noda lipstik di baju suaminya. Begitupun di leher dan pipi suaminya.
“Apa urusannmu, perempuan desa hahaha…!” Sambil sempoyongan Faruq mencoba bangkit dan berkata, “Yang penting kamu kukasih makan bukan hehehe…”
Tapi saking mabuk dan capeknya, Faruq pun kembali roboh di ranjang, tidur telentang di sisi Anisa yang tadi dikeloni Pratiwi di ranjangnya.
“Keterlaluan kau, Mas!” pekik Pratiwi.
Kali ini Pratiwi benar-benar marah. Ia tidak terima diperlakukan begitu oleh suaminya. Selama ini pengabdiannya kepada suaminya dianggap sia-sia. Terbayang lagi bagaimana perlakuan kasar suaminya tadi sore. Tamparan di pipinya yang baru tadi diterimanya masih terasa perih hingga sekarang. Terbayang pula bagaimana suaminya bermesra-mesraan di dalam mobilnya tempo hari. Belum lagi hinaan dan cacian yang berulang kali dilakukan suaminya kepadanya. Semua perlakuan suaminya terlintas jelas di matanya. Semua datang silih berganti.
Dan kini ada beberapa noda lipstik di baju dan wajah suaminya. Semua itu sudah cukup membuktikan bahwa suaminya telah menduakannya. Tanpa perlu bertanya pun Pratiwi sudah yakin suaminya telah berbagi cinta dengan wanita lain. Oh…begitu menjijikkan, muak dia dengan kelakuan suaminya. Harga dirinya kini terasa diinjak-injak. Amarahnya seperti memuncak. Tangannya mengepal dan giginya saling bertaut kuat. Matanya liar menahan amarah. Pratiwi mulai gelap mata. Tiba-tiba saja matanya tertuju ke mandau, senjata khas daerah di mana ia tinggal sekarang, yang tertempel di dinding kamarnya. Dan…
“Crattt..cratt…crattt…” secepat kilat ia hujamkan senjata itu ke tubuh suaminya yang tengah tidur terlentang. Darah segar pun muncrat dari tubuh Faruq, melebar ke sekitar ranjang tempatnya tidur. Sebagian malah ada yang memercik ke muka Pratiwi. Pratiwi tidak sadar lagi berapa kali dia menghujamkan senjata itu ke tubuh suaminya, dia seperti kesetanan. Ia bantai habis-habisan suaminya. Faruq sempat kejang-kejang untuk beberapa saat hingga akhirnya diam tak bergerak, mandi bersimbah darah.
Melihat kejadian itu, Anisa terbangun dan menangis menjerit-jerit. Jeritan Anisa itu membangunkan Bi Surti yang tengah terlelap di kamarnya. Tergopoh-gopoh ia lari menuju kamar manjikannya. Dan alangkah kagetnya Bi Surti melihat majikan laki-lakinya bersimbah darah. Sementara majikan perempuannya masih menghunus mandau di tangannya. Sontak Bi Surti berteriak..
“Ya Allah Buuu…eling Buuu…istighfar Buu…,” teriak Bi Surti ketakutan. Secepat kilat ia ambil Anisa yang juga tengah menangis menjerit-jerit. Dibopongnya Anisa keluar rumah sambil berteriak-teriak …
“Tolong…tolong…!” teriak Bi Surti sambil membopong Anisa menuju rumah tetangga terdekat.
Teriakan Bi Surti yang melolong-lolong di pagi buta itu sontan membangunkan para tetangganya. Mereka berhamburan keluar hendak tahu apa yang telah terjadi. Terbata-bata ia ceritakan kepada para tetangganya tentang peristiwa yang dia lihat dirumah majikannya. Mereka pun berduyung-duyung menuju rumah Pratiwi. Sebagian lagi ada yang melapor ke polisi.
Sementara itu di kamarnya, Pratiwi termangu menatap tubuh suaminya yang terbujur kaku bersimbah darah. Kepalanya seketika terasa berat dan matanya pun berkunang-kunang. Pratiwi pun akhirnya roboh tak sadarkan diri, masih dengan memegang mandau yang berlumuran darah segar, darah suaminya sendiri.
***
Senyap. Didapatinya dirinya masih berada di ruang hening yang menggema, namun tak dapat menyuarakan isi hatinya.
(TAMAT)
Penulis : Dian + Edi Kusumawati (Nomer Peserta : 59)
Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H