[caption id="attachment_371691" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber Foto : Widianto Didiet (Kampret "][/caption]
Seperti biasanya, Lek Welas malam itu sedang sibuk ngejogi barang dagangannya. Tangannya begitu terampil menyusun satu persatu tempe mendoan, tempe gembus, gedang goreng, telo goreng, dan bakwan dalam nampan-nampan plastik di atas gerobag angkringannya. Di tangan Lek Welas, semua makanan yang selama ini menjadi sumber penghasilannya setiap hari itu, tampak rapi dan tentunya dalam kondisi fresh from the wajan. Anget tur mampu membuat pelanggannya selalu pengin nambah dan nambah lagi untuk menyantapnya.
Beberapa dagangan yang dijual di angkringan itu memang murni hasil racikan Lek Welas. Soal rasa? Tak usah diragukan! Andaikata ada kompetisi masak mendoan ala Master Chef di tv swasta itu, yang dikhususkan buat pedagang angkringan, mungkin Lek Welaslah juaranya. Tempe mendoannya itu lho! Benar-benar maknyus kalau kata Pak Bondan yang ahli masak dan wajahnya sering nongol di tv. Begitu pun dengan gorengan lainnya. Telo goreng buatan Lek Welas terkenal empuk tur kemepyur. Orang bilang telo gorengnya Lek Welas crispy, saking empuk dan garingnya. Itulah kenapa, angkringan Lek Welas selalu ramai pembeli setiap harinya.
Begitu pun hari ini, sejak sore hari ketika Lek Karjo masih pasang tendo terpal birunya saja, sudah ada pembeli yang ngampiri angkringannya. Umumnya mereka adalah wisatawan luar kota yang memang sedang berwisata ke kota gudeg ini. Tak heran jika malam ini yang bisa dibilang masih lumayan surup, Lek Welas sudah mulai ngejogi dagangannya. Tak lupa sego kucing yang mulai menyusut tumpukannya ia jogi lagi sampai benar-benar munjung. Begitu pun dengan sate usus dan juga sate endog gemak yang menjadi pelengkap sego kucing.
“Uedan tenan koq, suwe-suwe negarane rusak iki!” Tiba-tiba Pak Panut, salah satu pelanggan tetap di angkringan Lek Welas muncul. Tak seperti biasanya, kali ini Pak Panut datang sendirian tanpa dua orang anggota Three Must Kenthir lainnya, yakni Lek Badrun dan Parjono. Dengan tergopoh-gopoh ia menarik dingklik dan masang bokong diatasnya. Kemudian secepat kilat tangan kanannya menyambar sepotong tempe mendoan anget di hadapannya dan langsung memasukkan ke mulutnya sambil nyeplus sebiji lombok rawit.
“Ada apa tho Pak, datang-datang koq mesti mangkel begitu?” Rupanya Lek Welas sudah hapal dengan kebiasaan pelanggan setianya satu ini, yang kebetulan masih tetangganya.
“Gimana ndak mangkel aku Lek? Bensin naik, beras naik, listrik naik, gas naik! Kabeh-kabeh naik!” Meski tampak kepedasan, Pak Panut tetap saja mengunyah tempe dan lombok di tangannya. Satu potong tempe mendoan sukses masuk ke perutnya. Sekarang di tangannya sudah ada sepotong lagi tempe mendoan dan juga lombok rawit yang siap jadi kloter kedua untuk mengisi perutnya. Tak dipedulikan lagi tatapan heran beberapa pembeli yang juga sedang ngangkring di sana.
“Oalah … tak kira apa?” Lek Welas pun kembali melanjutkan menggoreng sedikit sisa jladren bakwan di baskom.
Sementara itu, melihat tetangganya itu makin kepedasan, tanpa disuruh Lek Karjo langsung membuatkan kopi panas kegemaran Pak Panut. Tak sampai dua menit, kopi nasgitel sudah tersedia di hadapan Pak Panut. Pensiunan pegawai kelurahan itu langsung nyruput kopi panas di depannya, seteguk demi seteguk. Kemudian ia melanjutkan mengunyah sisa tempe di tangannya.
“Coba Lek saiki dipikir! Kalau semua harga-harga naik, terus kita ini mau bayar pakai apa?” ucap Pak Panut sambil berdiri. Tangannya ngapurancang dan matanya sedikit melotot. Lagaknya persis orang ngajak gelut. Orang macam Pak Panut, yang jelas-jelas tergolong “kasta”nya lebih tinggi daripada Lek Welas dan Lek Karjo, saja juga mengeluh soal kenaikan harga-harga barang belakangan ini.
“Ya pakai duit no, mosok godong!” Lek Karjo pun nyrengenges. Lek Welas yang sedang mbolak-mbalik bakwan agar tak gosong ikutan ketawa mendengar jawaban suaminya.
“Sampeyan aja ngeluh, lha njur saya kudu piye?” lanjutnya.
“Lha yo melu ngeluh no!” jawabnya enteng. Kali ini tangan Pak Panut nyambar sebungkus sego kucing. Ia kembali duduk. Dibukanya bungkus sego kucing itu. “Welhadalah!Koq mung sak umik Lek?”Pak Panut agak kaget melihat porsi nasi yang baru dibukanya.
“Lha mau gimana lagi Pak? Ini juga gara-gara kenaikan beras lho!” Daripada menaikkan harga, Lek Welas lebih memilih untuk mengurangi porsi sego kucing buatannya. Nanti kalau harga beras turun, ia tinggal menambah lagi porsi nasinya. Mudah dan lebih manusiawi menurutnya.
“Ning yo jangan sak umik gini tho, mana wareg Lek?” Pak Panut mulai protes, meskipun tetap juga melahap sego kucing itu.
“Ya kalau ndak wareg, tinggal nambah lagi tho Pak!”
“Weh… budget yang dianggarkan oleh Bu Panut buat saya bersosialita seperti ini sehari cuman lima belas ribu. Kalau saya nambah-nambah terus, ya ndak cukup Lek!” Pak Panut mulai sok intelek, meskipun kurang pas dan kedengaran wagu.
“Sekarang sampeyan milih porsi tetap seperti biasa, tapi harga saya naikkan. Atau harga tetap, tapi porsinya saya kurangi? Pilih mana Pak?”
“Ya milih porsi tetap, harganya juga tetap!” Pak Panut mulai ngeyel.
“Wooo…ya mana ada Pak! Dimana-mana ya begitu. Harga bahan dasar naik, harga penjualan ikutan naik. Lha kalau harganya tetap, biasanya porsinya yang dikurangi. Itu sudah umum. Sudah rumuse bakul.” Lek Welas pun tak mau kalah. Jawaban Lek Welas itu rupanya sukses membungkam mulut Pak Panut ya jago ngeyel, walaupun untuk sesaat. Ia pun kembali melanjutkan santap malamnya.
“Tapi tenan koq, kita harus protes Lek. Sak enak wudelnya sendiri mereka menaikkan harga. Semua yang dinaikkan itu kan barang kebutuhan pokok. Beras, bensin, gas, listrik. Sudah pasti itu ngefek ke semua. Apa ndak mikir itu mereka?” Belum juga semenit diam, mulut Pak Panut kembali nyerocos.
“Protes sama siapa Pak?” Kali ini Lek Karjo yang menyahut. Di banding istrinya, Lek Karjo memang lebih kalem pembawaannya. Termasuk dalam menghadapi orang semacam Pak Panut ini.
“Ya sama pemerintah no! Bila perlu demo. Mosok Lek Karjo ndak punya asosiasi. Biasanya kan ada asosiasinya. Misalnya asosiasi pedagang kaki lima, asosiasi guru atau paguyupan apa gitu, mosok ndak punya? Bayangkan! Sak Jogja ini ada berapa pedagang angkringan? Kalau mereka semua dikumpulkan di balaikota atau di gedung dewan sana, terus ramai-ramai demo bawa spanduk dan poster gede-gede kan pasti diliput tivi, masuk koran. Mosok yang begitu pemerintah ndak melihat?” Pak Panut mulai mengompori.
“Walah Pak, eman waktunya. Mendingan waktunya tak buat belanja ke pasar, terus masak daripada panas-panasan demo. Kalau semua bakul angkringan itu pada demo. Njur siapa yang bakalan masak sego kucing sama mendoan ini? Bisa prei dodolan saya Pak. Bukannya untung malah buntung, wong ndak ada pemasukan. Nek malah cilaka tho?”
“Lho sampeyan itu piye tho Lek? Itu semua kan demi harkat dan martabat kita. Jer basuki mawa bea. Setiap perjuangan ya mesti ada pengorbanannya. Kalau mau berhasil, ya harus berkorban. Meskipun hanya wong cilik, ya jangan mau diinjak-injak. Mereka seenak wudelnya memainkan harga. Dulu katanya tak mau menaikkan harga, lha sekarang semua-semua dinaikkan. Ya kita harus protes tho! Kita gunakan hak kita biar mereka mau memenuhi kewajibannya. Janji-janjinya itu lho, harus mereka penuhi.”
“Lho saya kan juga sudah menggunakan hak saya Pak. Sampeyan pengin saya demo. Kalau saya ndak mau, ya itu kan sudah hak saya. Yang mau demo ya monggo, saya tak dodolan wae,” balas Lek Welas santai. Terbayang sudah di kepala Lek Welas, demo-demo yang biasa dilihatnya di televisi. Buruh-buruh pada demo menuntut kenaikan upah. Panas-panasan tak peduli lagi kalau mereka lagi menggendong bayi. Kalau dirinya ikutan demo berpanas-panas ria sambil membawa Bagus, anak ragilnya yang baru 5 tahun itu, apa tidak malah kasihan anaknya. Lek Karjo pun manggut-manggut, tanda setuju dengan omongan istrinya.
“Ya, namanya itu sampeyan ndak solider dengan yang lainnya.”
“Ndak solidernya dimana tho Pak?” Lek Welas nampak bingung.
“Ya ndak solider karena yang lain mau demo, sampeyan ndak mau sendiri.”
“Welha… sampeyan sendiri dari tadi nyuruh saya demo. Ngomong-ngomong sampeyan sendiri sudah demo belum?”
“Eh… ngggg… nganu… ya belum.” Pak Panut agak gelagapan. Hampir saja ia tersedak, tapi buru-buru ia minum kopi nasgitelnyayang sekarang sudah mulai dingin. “Saya kan pensiunan, sudah tua. Biar yang muda-muda saja yang demo, yang masih pada dinas itu,” lanjutnya.
“Walah, tak kira nek sampeyan sendiri sudah demo. Jebule ming mau jadi penonton tho?” Kali ini omongan Lek Welas terdengar sengak di kuping Pak Panut.
***
Bontang, 6 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H