Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Infotainment, dari Hoak Jadi Hoek!

5 September 2011   10:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:13 1720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignleft" width="256" caption="http://t2.gstatic.com/images"][/caption] Saya jarang melihat tayangan infotainment. Selain karena kurang suka, ya karena saya lebih tertarik tayangan musik daripada sekedar gosip. Namanya juga gosip, digosok makin sip. Itu sudah bukan hal yang baru lagi bagi infotainment. Semakin sering digosok, pasti akan semakin heboh beritanya. Dan ujung-ujungnya ya kembali ke masalah rating. Siapa saja dan apa saja bisa diberitakan dan menjadi bahan berita oleh si infotainment ini. Baik itu artis penyanyi, bintang iklan, bintang film, bintang sinetron, presenter, pejabat, atlit, paranormal atau bahkan ustad sekalipun dapat menjadi sumber berita. Tidak peduli itu artis papan atas maupun artis karbitan yang mungkin baru saja menjadi “artis” setelah ikut ajang pencarian bakat atau tidak sengaja menjadi “artis” gara-gara iseng mengunggah video-nya seperti Sinta dan Jojo di youtube. Tidak peduli pejabat sekaliber menteri ataupun anak pejabat pun tidak luput dari incaran si infotainment. Pokoknya selama itu masih dianggap “layak” untuk dipublikasikan, pasti akan diburu sekalipun harus menongkrongi seharian rumah si nara sumber. Bahkan suatu kejadian, baik itu berupa kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, bencana ataupun fenomena alampun menjadi layak untuk dipublikasikan oleh si infotainment. Berkaitan dengan konten atau isi dari tayangan infotament itu sendiri, baru saja saya melihat (tanpa sengaja karena saya langsung ketemu channel yang menayangkan acara infotainment) dalam suatu tayangan tentang berbagai kemungkinan penyebab kecelakaan yang menimpa artis Saiful Jamil yang mengakibatkan meninggalnya sang istri penyanyi dangdut itu. Di tayangan itu disebutkan beberapa kemungkinan itu diantaranya karena faktor pengemudi yang ngantuk, karena kendaraan yang tak laik pakai, atau juga kemungkinan karena kelebihan penumpang. Tapi yang justru membuat saya geleng-geleng kepala adalah ketika si infotainment ini memberitakan adanya kemungkinan lain dari penyebab kecelakaan itu, yaitu karena suatu hal-hal yang sifatnya mistis. Walah, koq ya bisa-bisanya si infotainment ini menghubungkannya dengan faktor mistis. Ada-ada aja, orang sedang kesusahan koq malah diberitakan hal-hal yang kurang mengenakkan begitu. Dimanakah rasa simpati dan empati dari infotainment kepada yang sedang kesusahan, dalam hal ini artis Saiful Jamil? Saya sendiri berpendapat bahwa memang benar bahwa peran media massa, dalam hal ini infotainment adalah berfungsi untuk menghadirkan realitas ke hadapan publik. Tapi realitas yang bagaimana dan seperti apa dulu yang pantas untuk dihadirkan ke muka publik? Jika ini berkaitan dengan rating, apakah memang perlu menampilkan hoak semacam itu? Kalau memang tujuannya demikian, maka tidak salah kiranya kalau saya beranggapan bahwa tayangan infotainment memang mampu menghadirkan atau memproduksi “realitas”, walaupun secara subjektif. Bahkan untuk suatu berita kecelakaan yang menimpa artis pun sampai dibuat "serealitas" seperti itu. Benar-benar sudah kebablasan menurut saya. Namanya saja infotainment, informasi dan hiburan, dimana menghiburnya kalau sudah seperti ini? Saya masih ingat betul tentang suatu tayangan infotainment yang saking hebohnya ingin menayangkan "realitas" tentang korban letusan gunung Merapi di Yogyakarta beberapa waktu lalu, sampai akhirnya malah sempat berhenti tayang (walaupun sekarang sudah tayang lagi sih). Saking inginnya membuat tontonan yang menghibur, maka korban gunung merapi pun "disulap" menjadi tontonan yang "mengasyikkan". Bahkan yang lebih parah lagi, bencana meletusnya gunung Merapi direkayasa sedemikian rupa atau dimanipulasi dengan dibumbui ramalan-ramalan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan ekspresi yang sangat meyakinkan waktu itu, host infotainment itu menyebutkan bahwa akan terjadi letusan paling dahsyat pada tanggal tertentu. Ini seolah-olah ini menjadi tontonan televisi yang mengasikkan sekaligus menegangkan. Belum lagi munculnya stigma dari infotainment itu bahwa Yogyakarta dikatakan sebagai kota malapetaka. Stigma Yogyakarta sebagai kota malapetaka terasa menyakitkan bagi warga Yogyakarta dan mengusik sendi-sendi kehidupan sebagai kota budaya, kota wisata, dan kota pendidikan. Hanya karena sedang tertimpa musibah gunung meletus yang seharusnya mendapat empati secara luas, tapi mengapa divonis sebagai kota malapetaka? Ketika Yogyakarta dikatakan sebagai kota malapetaka yang akan rata dengan tanah maka predikat sebagai kota pendidikan yang nyaman pun runtuh. Tentu saja hal ini akhirnya justru berakibat fatal bagi si infotainment tadi. Masyarakat, khususnya masyarakat Yogyakarta waktu itu banyak yang marah, tidak terima dan mencaci maki tayangan infotainment kala itu. Pada akhirnya infotainment itu "terpaksa" berhenti tayang waktu itu. Mengapa infotainment bisa sampai segegabah waktu itu? Hal ini bisa terjadi karena adanya kemampuan dari infotainment itu dalam memproduksi realitas yang didukung oleh kemampuan pendanaan yang bersifat kapitalistik. Dari perspektif logika pasar saja sudah jelas bahwa tontonan yang bisa "membius" pemirsa dan memiliki rating tinggi adalah bagus karena bisa mendatangkan aliran dana melalui iklan. Akan tetapi dari perspektif humanisme, tayangan infotainment yang menyuguhkan berita musibah entah itu becana ataupun kecelakaan seperti yang menimpa artis Saiful Jamil itu, yang dibumbui dengan berita hoak semacam itu sungguh tidak manusiawi. Tidak memiliki empati terhadap penderitaan korban kecelakaan. Sebagai orang awan, saya malah memperkirakan nantinya infotainment bisa "gulung tikar" kalau keseringan menayangkan berita yang sifatnya hoak seperti itu. Pemersa bukannya jadi terhibur, tapi malah enek alias pengin muntah setiap kali melihat tayangan infotainment. Semua bisa terjadi karena berita yang hoak, makanya pemirsa jadi hoek-hoek hehehe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun