Mohon tunggu...
Edi Kusumawati
Edi Kusumawati Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Ibu dari dua orang putra yang bangga dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga. Tulisan yang lain dapat disimak di http://edikusumawati.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(The Untold Story of MPK) Saat Yang Tepat

14 Juni 2011   19:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari google.com

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="gambar dari google.com"][/caption] Hari telah larut ketika Langit mulai keluar dari sebuah desa di pinggiran kota.  Jarum jam di pergelangan tangannya telah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Hujan rintik-rintik pun mulai mengguyur desa itu sejak kedatangan Langit beberapa jam yang lalu. Untungnya dia tadi memutuskan membawa Baleno hitam metaliknya itu mengingat cuaca sudah tampak mendung. Hari ini Langit kembali melanjutkan penelitian untuk skripsinya di desa itu. Berhubung kalau siang banyak informannya yang susah ditemui, maka mau tak mau Langit  harus mengunjungi mereka pada sore hari selepas mereka bekerja. Sambil diiringi lagu-lagu Ada Band kesukaannya, Langit pun mulai ikut bersenandung sekedar memecah kesunyian didalam mobil kesayangannya itu. Ternyata pada malam hari, desa yang ia kunjungi ini relatif sepi. Padahal jaraknya tidak terlalu jauh dari kota, hanya sekitar 15 kilo meter saja. Tapi jangan ditanya kalau siang hari, desa ini lumayan ramai. Mesin-mesin pabrik berbunyi cukup riuh di beberapa tempat. Ya, desa ini merupakan sentra industri kecil pengecoran logam. Karena itulah, bunyi dentingan logam yang saling beradu sudah menjadi hal yang lumrah di desa itu pada siang hari. Tidak mengherankan jika pada malam hari penghuni desa ini baru benar-benar bisa terlelap setelah seharian bekerja. Sekitar setengah jam kemudian, Langit sudah mulai memasuki kota. Meskipun hujan, suasana ramai mulai nampak disana. Baliho-baliho besar yang terpampang di beberapa tempat juga tampak bersinar terang. Warung-warung kecil di pinggir jalan juga masih nampak ada yang buka, melayani para pembeli. Sementara itu jalanan aspal nan licin karena guyuran hujan yang mulai deras, terpaksa membuat Langit memperlambat laju kendaraannya. "Ah...bakalan nyampe rumah jam berapa nih?'" batin Langit seraya melirik jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Nggak papalah, yang penting sudah masuk kota, nggak gelap seperti tadi" lanjutnya mencoba menenangkan dirinya sendiri. Dari tape kendaaraannya, lagu-lagu Ada Band masih mengalun lirih..."Inikah surga cinta yang banyak orang pertanyakan...nananana..." Langit pun mulai mengikuti irama lagu itu. Belum juga lagu itu usai, tiba-tiba saja Langit merasakan ada sesatu yang aneh dengan mobil. Mendadak mobil itu mulai tersendat-sendat jalannya dan akhirnya mati. "Mampus..." pekik Langit. Dicobanya menstater kembali, tapi tetap saja mobil itu tidak mau nyala. Berulang kali sampai akhirnya Langit pun nyerah. Ia mulai tampak panik. Segeralah diambil handphone yang tergeletak di jok mobilnya. "Halo...halo...ayah, piye ki, mobilku mogok?" tanyanya kepada seseorang yang tak lain adalah ayahnya. "Lho kamu lagi dimana, tho nduk? Ayah lagi meeting nih, yo wis nanti  ayah kirim nomer hapenya Om Rudi yo, kamu minta tolong aja sama dia!" balas ayahnya. "tuts...tuts..." tiba-tiba saja suara dari seberang sana terputus. "Halo...halo...ayah...?" Langit masih mencoba menghubungi, tapi tetap tidak ada sahutan. Ayahnya memang begitu, kalau sedang meeting di luar negeri susah diganggu. Langit pun mulai tampak cemas. Inilah yang selalu ditakutkannya jika membawa mobil kemana-mana. Selama ini ia buta sama sekali tentang mesin mobil, ia hanya ngertinya nyetir saja. Dan kalau sudah mogok begini, bisanya ya cuman panik saja. Tak berapa lama handphone ditangannya berbunyi. Ada sms masuk dari ayahnya. Segeralah dihubungi nomer handphone Om Rudi yang dikirimkan ayahnya barusan. Om Rudi adalah orang bengkel langganan ayahnya. "Halo...Om Rudi ya? Ini Langit Om, bisa bantu nggak ya? Mobilku mogok di jalan nih?" "Waduh mbak Langit, saya lagi di Semarang, gimana ya?" balas suara di seberang sana. "Walah...njur piye iki?" Langit bertambah cemas, keringat dingin pun mulai membasahi tubuhya. "Ya sudah, gini aja mbak! Coba mbak buka kap mobilnya, coba lihat di akinya bla..bla..bla..." suara di seberang sana pun mulai menjelaskan panjang lebar. "Wah..aku nggak ngerti Om, pokoke nanti kalo nggak bisa tak tinggal aja ya! Aku tak naik taxi aja, besok Om Rudi aja yangbetulin!" Langit mulai pasrah. Langit pun segera meraih payung di jok belakang. Dibukanya kap mobil dan diutak-atiknya bagian aki sesuai petunjuk Om Rudi. Kemudian dicobanya menstater mobil itu, tapi tetap tidak ada reaksi. Kembali ia utak-atik isi kap mobil itu, dicoba menstater lagi dan gagal lagi. Langit pun tambah stres. Diusapnya keringat yang mengucur di dahinya. Keringat itu sekarang telah bercampur air hujan yang menetes dari ujung jari-jari payung yang dipegangnya. Di lihatnya ke sekeliling, siapa tahu ada bengkel yang masih buka. Tapi rupanya tak satu pun bengkel yang buka di sekitar situ, apalagi ini memang sudah lewat dari jam buka bengkel. Hanya ada kios rokok yang masih buka di dekat situ dengan beberapa orang pemuda yang tengah nongkrong-nongkrong sambil gitaran di depannya. Ah..sudah jam 22.15 rupanya, dan itu artinya mau nggak mau aku harus segera menghubungi taxi, batinnya lemas. Diambilnya handphone yang tadi sengaja dikantongi di saku celana jeansnya. Belum selesai Langit memencet nomer yang dituju, tiba-tiba saja dari arah belakangnya muncul suara seseorang. "Maaf mbak, mogok ya? Ada yang bisa saya bantu?" seorang laki-laki muda berpayung menyapanya ramah. "Ehh...eh..iya nih mas, gak tau kenapa tiba-tiba saja mogok gitu" balas Langit tergagap-gagap. Ditatapnya laki-laki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Lumayan sih, sayang kurang rapi" batin Langit. "Coba saya lihat dulu ya!" Laki-laki itu dengan cekatan membuka kap mobil Langit, dilihatnya sebentar kemudian "Wah ini akinya tekor mbak" lanjutnya sambil menatap ke arah Langit. Degg...kali ini laki-laki itu tampak terkejut. Ah...mata itu seperti mata.... Buru-buru laki-laki tersebut mengalihkan pandangannya dari mata Langit dan berkata "Mbak tunggu sini sebentar ya, siapa tahu saya bisa bantu" kata laki-laki itu kemudian dan meninggalkan Langit sendiri dalam kebingungan. Laki-laki itu berjalan menuju satu gang yang terletak di samping kios rokok itu. Tak sampai 5 menit, laki-laki itu sudah kembali sambil membawa botol berisi cairan aki dan beberapa peralatan lainnya. Tanpa basa-basi lagi, laki-laki itu langsung mengisi aki mobil itu dengan cairan yang ia bawa. Utak-atik sebentar dan kemudian "Coba mbak stater mobilnya!" perintah laki-laki itu, kali ini tidak berani menatap mata Langit. Langit yang sejak tadi berdiri diam di samping laki-laki itu segera melakukan apa yang diperintah laki-laki itu. "Greng...greng..." akhirnya mobil itu nyala kembali. "Makasih ya mas, tapi nanti kalo mogok lagi gimana?" tanya Langit masih belum hilang kecemasannya. "Mmm..rumah mbak dimana sih, masih jauh ya?" sambil menutup kap mobil, laki-laki itu bertanya. "Lumayan sih mas, di Taman Siswa" jawab Langit memelas sambil menggigit ujung bibirnya, satu kebiasaan Langit jika sedang cemas. "Okey...kalo gitu mbak tunggu sebentar, saya tak ambil kendaraan saya" laki-laki itu pun kembali pergi ke arah gang di samping kios rokok itu. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hardtop keluar dari gang itu dan berhenti di depan kios rokok itu. Seorang laki-laki muda yang tak lain adalah orang yang menolong Langit tadi, keluar dari mobil itu seraya melemparkan kunci mobilnya kearah seorang temannya. Sekilas tampak mereka sedang memperbincangkan sesuatu, tapi Langit kurang bisa menangkap omongan mereka. Kemudian laki-laki itu segera menuju ke mobil Langit sambil berlari-lari kecil. Kali ini dia tidak menggunakan payung lagi dan sebagai gantinya dia pakai jaketnya untuk menutupi kepalanya dari guyuran hujan. "Gimana mas?" tanya Langit kemudian, kali ini bibirnya sedikit gemetar karena menahan dinginnya hujan. "Biar saya saja yang bawa mobil mbak, mbak tinggal menunjukkan arah rumah mbak. Nanti teman saya akan mengikuti dari belakang, kalo-kalo terjadi masalah dengan mobil mbak." Langit pun tampak lega, segera saja disodorkan kunci mobilnya ke laki-laki itu. Dia sama sekali tidak berpikiran kalau nanti laki-laki itu bakal berbuat sesuatu yang jahat kepadaanya. Baginya pertolongan laki-laki itu sudah cukup membuktikan bahwa ia laki-laki baik. Laki-laki itu menerima kunci yang disodorkan Langit dan akhirnya mobil itu pun meluncur membelah jalanan yang basah diguyur hujan. "Kamu tampak kedinginan, kaosmu juga basah, pakai nih jaketku!" sambil menyodorkan jaket yang tadi dipakainya untuk menutup kepalanya. Kali ini laki-laki itu sudah mulai menyebut Langit dengan kamu. Langit pun menerima jaket itu. Hmmm...bau parfum yang segar, maskulin sekali, batin Langit. "Maaf kita dari tadi belum kenalan, namaku Langit, kamu?" kata Langit kemudian. "Bumi" jawab laki-laki itu singkat. "Kamu penggemar Ada Band ya?" tanya Bumi. "Koq tau?" jawab Langit heran. "Tuh.." balas laki-laki sambil memajukan dagunya menunjuk ke atas dashboard. Kali ini kembali tanpa sengaja Bumi menatap mata Langit. Deggg...mata itu, mata itu mirip punya Tari. Ya, Tari mantan kekasihnya yang telah menghianati cintanya dengan menikahi orang lain. Tarilah yang akhirnya membuat hidup Bumi berantakan. Kuliahnya jadi terbengkalai. Karena itulah ia sangat membenci Tari dan disampingnya sekarang sedang duduk seorang wanita yang mempunyai tatapan mata setajam Tari.  Sekali lagi Bumi mencoba menatap Langit, kali ini berusaha mencari tahu kesamaan yang lain dari Langit dengan mantannya itu. Di tatap begitu, Langit jadi salah tingkah. Untuk menetralisir suasana hatinya, segera diambil cd kesayangan dan beberapa detik kemudian mengalun kembali lagu "Pemujamu" dari band kesayangannya itu. Kedua insan itu pun terlarut dalam pikiran masing-masing. Sekitar setengah jam kemudian, sampailah mereka di rumah Langit. Suasana rumah tampak sepi. Bumi pun memasukkan mobil Langit sampai ke garasi. "Nih kuncinya!" diserahkannya kunci mobil itu ke Langit kembali. "Makasih ya. Jadi berapa nih aku harus bayar kamu?" tanyanya kemudian. "Ndak usah, anggap aja sebagai hadiah perkenalan kita hehehe.." Bumi pun terkekeh. "Aku pulang ya!" lanjutnya sambil menghampiri mobilnya yang tadi dikendarai oleh temannya. "Okey...ini jaketnya gimana?" kali ini Langit agak berteriak. "Besok aja!" Bumi pun langsung membalikkan arah mobilnya, pulang. *** Tiga minggu telah berlalu. Langit tengah asyik di perpustakaan kampus. Dia tengah menyelesaikan skripsinya yang tadi baru dia konsultasikan ke dosen pembimbingnya. Dibukanya laptop dan mulailah ia mengetik. Belum juga dapat satu halaman ketikan, Langit dikejutkan oleh tepukan pelan dipundaknya. "Hai..Langit, dapat salam dari Bumi" kata Andre, teman seangkatannya. "Bumi? Bumi siapa?" jawab Langit sambil memicingkan mata, mengingat sesuatu. "Bumi... anak Sospol, dia khan vokalis di bandku." "Oh, ya?" ucap Langit heran. Aku tadi nyariin dia kemana-mana, di rumah gak ada, di markas gak ada, tak taunya dia sudah minggat semingguan dari rumahnya, sekarang nginap di rumah Leo." Andre menjelaskan panjang lebar. Rupanya sudah seminggu ini Bumi pergi dari rumah gara-gara ketahuan ayahnya tengah mengkonsumsi narkoba di kamarnya. Ayahnya marah besar, sementara ibunya nggak bisa berbuat apa-apa. Padahal dia anak bungsu kesayangan ibunya. "Ya, begitulah. Sejak ditinggal Tari nikah, Bumi jadi hancur. Kuliahnya berantakan dan sekarang ternyata telah lari ke narkoba pula. Padahal dulu dia rajin" lanjut Andre sedih. Langit pun hanya terbengong-bengong, bingung mau ngomong apa. "Okey...Langit, aku kuliah dulu. Ntar lain waktu ngobrolnya kita lanjutkan lagi, ya" kata Andre kemudian. "Okey" dengan tersenyum manis, Langit membalas  singkat. Tinggallah Langit termenung sendiri, memikirkan kata-kata Andre barusan. Separah itukah Bumi? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab Langit karena perkenalan dengan Bumi juga belum lama. Ah...aku lupa, bukankah jaket Bumi masih ada sama aku, batinnya kemudian. Segera ia kemasi semua kertas-kertas yang berserakan di depannya. Ia save apa yang dia ketik di laptopnya barusan dan akhirnya... shutdown. *** Hari masih pagi, sekitar jam sembilanan, ketika Langit sampai di rumah Bumi. Tidak terlalu sulit mencari rumah Bumi. Hanya dengan bertanya pada pemilik kios rokok di gang depan tadi, Langit sekarang sudah sampai di depan gerbang rumah. Baru saja menginjakkan kakinya memasuki gerbang yang kebetulan terbuka, Langit mendengar semacam keributan dari dalam rumah. "Bumi! Kamu mau kemana, nak?" teriak seorang perempuan setengah baya, sambil menarik-narik lengan baju seorang laki-laki muda yang sedang menenteng sebuah tas ransel. "Sudahlah...bu, biarkan Bumi pergi. Ibu tenang saja, aku nggak akan kenapa-kenapa." kata Bumi seraya mengibaskan tangan ibunya. Tampak sekali mukanya dekil tak terawat. Bajunya juga lusuh dan beberapa menit kemudian..."Greng...greng..." Bumi pun memacu mobilnya, meninggalkan ibunya yang menangis sesenggukan. Sekilas tadi dilihatnya Langit di pintu gerbang, terheran-heran. "Maaf, anak mencari siapa ya?" tanya ibu Bumi kemudian, sembari menyeka air matanya. "Ehh... saya Langit, bu. Temannya Bumi" jawab Langit tergagap-gagap. "Oh...silakan masuk!" balas ibu Bumi ramah. Langit pun masuk ke ruang tamu, mengikuti ibu Bumi. Di ruang tamu itulah ibu Bumi menumpahkan semuanya. Diceritakanlah semua tentang Bumi kepada Langit. Tadi dia kebetulan pulang untuk mengambil baju ganti. Langit pun juga menceritakan awal mula perkenalannya dengan Bumi. Dia juga mengutarakan maksud kedatangannya untuk mengembalikan jaket Bumi yang waktu itu dipinjamkannya kepadanya. "Kalo ibu boleh minta bantuan, tolong ya nak, ajak Bumi pulang!" ucap ibu Bumi memohon. "Saya akan usahakan, bu!" balas Langit sambil tersenyum. *** Siang hari, di markas bandnya Bumi. Langit melihat Bumi sedang latihan dengan grup bandnya. Tampak pula Andre disana. Melihat kedatangan Langit, Bumi tampak tidak senang. Didatangilah Langit kemudian. "Ngapain kamu kesini?" tanya Bumi, agak ketus. "Nggak..aku cuman mau menyampaikan pesan ibumu. Kamu disuruh pulang!" balas Langit nggak kalah ketus. "Kasihan ibumu. Ngapain sih pake minggat-minggat segala, kurang kerjaan aja. Lagian lari ke narkoba bukan menyelesaikan masalah, bung!" lanjutnya. "Ngapain juga kamu mau ikut campur urusanku, heh?" Bumi pun ngeloyor kembali ke teman bandnya. Tak dipedulikan lagi Langit yang mukanya memerah kala itu. "Aku ndak ada urusan sama kamu! Aku cuman peduli sama ibumu!" ucapnya sambil teriak dan pergi berlalu dari tempat itu. Semua teman-teman band Bumi hanya bisa diam menatap pertengkaran mereka berdua. Didalam mobilnya, Langit hanya bisa terisak-isak. Dia tidak terima diperlakukan seperti itu oleh Bumi. Dia memang tidak ada urusan sama Bumi. Dia melakukan itu semua semata-mata demi ibu Bumi, tak lebih. Dalam hatinya, Langit menyesal teramat sangat. Ia begitu terpukul. Ah..ngapain aku ikut campur urusan orang lain. Pacar juga bukan, saudara apalagi. Mendingan waktuku kugunakan untuk menyelesaikan skripsiku, batinnya. "Maafkan saya bu, saya tidak bisa membawa pulang anak ibu," ucapnya dalam hati manakala teringat wajah ibunya Bumi. Begitulah, Langit sekarang tidak peduli lagi sama Bumi. Baginya peristiwa dimaki Bumi di depan teman-temannya sudah sangat menyakitkan hati. Sekarang dia hanya ingin konsentrasi dengan skripsinya. Dia ingin semester ini selesai, dan segera ikut wisuda. Sementara di sisi yang lain, Bumi merasa menyesal telah memperlakukan Langit seperti itu. Langit tidak tau apa-apa. Dia tak berhak menerima tumpahan kekesalannya selama ini. Yang ada di dalam pikiran Bumi sekarang adalah meminta maaf ke Langit. Pertama-tama yang dia lakukan adalah mengirim sms permintan maaf. Tetapi ternyata sms itu tak pernah berbalas. Berulang kali dicoba, tak juga dapat balasan. Di cobanya datang ke rumah Langit, jawaban dari orang rumah sama, nggak bisa diganggu.  Ah...ternyata Langit tidak bisa memaafkanku, batinnya lirih. *** Hari demi hari, sebulanpun berlalu. Langit benar-benar sibuk. Minggu ini ia akan maju ujian skripsi. Sementara Bumi juga sibuk latihan ngeband, minggu ini akan tampil pada suatu acara di kampus. Bumi sudah mulai berubah. Dia sudah kembali ke rumah, sudah tidak memakai narkoba lagi. Dan yang pasti penampilannya pun berubah, rambutnya sudah dicukur rapi. Tampak bersih seperti Bumi yang dulu. Semester depan dia juga bermaksud masuk kuliah lagi. Semua itu tak lain sebenarnya berkat Langit. Sabtu pagi, Langit berkemas menuju kampus. Dengan baju atasan putih dan rok hitam, dia siap bertempur pagi ini. Dengan diiringi doa dari keluarganya, Langit siap menghadapi berbagai pertanyan dari dosen pengujinya. Menjelang siang, ujian skripsi Langit selesai dengan nilai A, sangat memuaskan. Hatinya riang, tinggal revisi sedikit, selesai deh! Jadi semester ini aku bisa ikut wisuda, pekiknya riang. Sambil mengemasi berkas-berkas skripsinya, Langit menyalakan handphone yang tadi sengaja dimatikan saat ujian berlangsung. Ada beberapa sms masuk. Isinya rata-rata sama, ucapan dari beberapa temannya semoga dia sukses ujian. Ada satu sms yang berbeda, dari Bumi ternyata. "Aku tahu, kamu belum bisa memafkan aku. Nggak papa, tapi aku ingin mengucapkan selamat, semoga sukses ujianmu." Itu bunyi sms dari Bumi. Ada lagi satu sms yang bunyinya "Jika kamu berkenan, datanglah di aula sospol jam 8, aku ngeband di sana malam ini."Langit seakan tidak peduli dengan sms itu, entahlah sepertinya masih ada yang mengganjal di hatinya tentang Bumi. Malam hari selepas isya, Langit bimbang di dalam kamarnya. Ini malam minggu, harusnya dia bisa refreshing setelah tadi pagi bertempur di ruang sidang skripsi. Enaknya kalau punya pacar, dia bisa merayakan sambil makan-makan dengan pacar. Tapi kenyataanya, Langit sudah menjomblo sejak dua tahun lalu. Hmm...lumayan lama juga ternyata. Diambilnya handphone yang tergeletak di meja belajarnya. Sekejap dia jadi teringat sms dari Bumi tadi. Berangkat? Enggak? Berangkat? Enggak? Akhirnya Langit memutuskan untuk berangkat ke aula sospol. Dilihatnya jarum jam di tangannya, 20.15. Segera dia ganti baju, berdandan ala kadarnya, menyambar kunci mobilnya diatas meja, dan pergi. Sampai diparkiran kampus, didengarnya sayup-sayup suara band, ah itu pasti bandnya Bumi, batinnya. Segera dia bergegas menuju ke aula. Sesampai di aula, suasana lumayan sesak. Sudah tidak ada tempat duduk tersisa. Langit pun merangsek di depan agak ke pinggir. "Sebagai penutup, "Pemujamu" dari Ada Band. Lagu ini khusus saya persembahkan bagi seseorang, tetapi sepertinya dia tidak hadir malam ini. Saya cuman ingin bilang, jujur saya begitu memujanya." ucap Bumi lirih. Penonton pun bertepuk tangan, sebagian lagi bersuit-suit mendengar opening lagu itu. Langit sempat tertegun. Ternyata suara Bumi bagus juga ya, batinnya. Tak kalah dengan vokalis band ibukota. Dan tampangnya itu lho...ahai, ada yang baru rupanya. Bumi tampak tampan sekali malam ini dengan rambut barunya. Selesai nyanyi, Bumi langsung turun panggung, sementara Langit segera bergegas pergi. Sekilas Bumi melihat sosok Langit. Bumi pun mengejar Langit yang berlari kecil ke arah parkiran. "Langit...tunggu!" teriaknya dengan langkah yang dipercepat. Langit tetap saja meneruskan langkahnya. Akhirnya Bumi pun berhasil menggapai tangan Langit, kemudian ditariknya tangan itu. "Auww...sakit!" pekik Langit menahan sakit. "Sorry.." dilepaskannya tangan Langit. "Maafkan aku, Langit. Kamu masih marah sama aku! Aku seharusnya tidak melibatkan kamu dalam permasalahanku." Bumi memegang kedua bahu Langit. Keduanya pun kini dalam posisi berhadap-hadapan. "Tidak perlu ada yang dimaafkan" balas Langit pelan. Selintas terngiang kembali kata-kata kasar Bumi waktu itu, sakit rasanya. Langit pun terisak. Segeralah Bumi merengkuh tubuh kecil itu. Langit pun tak kuasa menolaknya. "Aku membutuhkanmu Langit, berkat kamu aku bisa berubah. Tidakkah kau sadar itu?" ucap Bumi kemudian. Langit pun makin sesenggukan. "Sekarang tatap mataku, apakah aku tampak berbohong?" Keduanya pun saling bertatapan. Tampak kejujuran dimata Bumi. "Aku sayang kamu, Langit. Aku mau mengisi hari-harimu, aku mau menjadi kekasihmu. Maukah kau menerimaku?"Akhirnya keluar juga ucapan itu dari bibir Bumi. Diusapnya airmata Langit yang masih menetes di pipinya. Langit seakan tidak percaya. Bumi menyatakan cintanya di saat yang tepat. Disaat ia memang membutuhkan seseorang untuk berbagi suka dan duka. Dua tahun sudah cukup baginya untuk menyendiri. Dan sekarang mungkin waktu yang tepat untuk memulainya. "Jadi, kamu mau terima cintaku atau tidak?" tanya Bumi penasaran, ketika dilihatnya Langit masih terdiam. Kembali ditatapnya mata Bumi hingga akhirnya ia pun mengangguk malu-malu. [caption id="" align="alignnone" width="251" caption="gambar dari google.com"][/caption] "Yes!" Bumi terlonjak girang. Tanpa sadar diangkatnya tubuh Langit. "Turunkan...turunkan!" teriak Langit berusaha melepaskan diri dari Bumi. "Malu, tau!" ucapnya kemudian. "Biarin...biar semua tahu kalo aku punya pacar baru hehehe.." Bumi tertawa terkekeh. Pipi Langit pun bersemu merah. "Ehh...kata Andre tadi skripsimu dapat A, ya?" tanya Bumi sambil menurunkan Langit. "Hmm..begitulah" ucap Langit sambil tersenyum. "Selamat ya! Kalo gitu kita rayakan aja kelulusanmu sekalian merayakan hari jadian kita, makan-makan di cafe atau apa gitu, gimana?" "Boleh, tapi teman-temanmu gimana?" "Alaah...mereka sih gampang. Ntar kalo kita sudah puas berduaan, baru kita sms mereka." Tampak sekali kegembiraan diwajah Bumi. "Dasar, gila!" ucap Langit sambil menonjok bahu Bumi. Mereka pun akhirnya masuk ke mobil, pergi ke suatu tempat dengan hati yang berbunga-bunga.

(TAMAT)

Sekilas info : Sebelumnya prosa ini akan saya ikut sertakan pada even MPK (Malam Prosa Kolaborasi) beberapa hari lalu, tapi karena alurnya terlalu melenceng dengan beberapa teman kolaborasi saya yang berdelapan orang itu, maka akhirnya saya baru posting sekarang. Lagipula saya sudah berjanji pada seseorang untuk memposting prosa ini pada lain waktu. Sementara janji adalah hutang, maka dengan ini hutang saya sudah lunas hehehe...

Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun