[caption id="" align="aligncenter" width="259" caption="gambar dari google.com"][/caption] Sabtu petang, selepas Maghrib. Bima tengah santai di kamarnya, ketika tiba-tiba saja handphone di meja belajarnya berbunyi. Sinta! Buru-buru saja ia angkat handphone jadulnya yang waktu itu juga pemberian Sinta di hari ulang tahunnya beberapa tahun lalu. "Halo...ya Sin," sapa Bima kemudian. "Jalan yuk, malam minggu nih! Masak di kamar aja sih?" ajak suara di seberang sana. "Emmm...gimana ya?" Belum selesai Bima menjawab pertanyaan Sinta, tiba-tiba pintu kamar Bima ada yang ngetuk. Begitu pintu dibuka... "Taa..raa..." Sinta tiba-tiba saja sudah berdiri dimuka pintu itu dengan senyum cerianya. Rupanya dia sudah beberapa menit berdiri disitu dan sengaja ingin mengerjai Bima, laki-laki yang belakangan ini tambah akrab dengannya. "Uhh..kirain siapa!" Bima menjawab dengan ekspresi pura-pura kesal. Dia memang terlalu sering dikerjai macam begitu oleh Sinta. Makanya dia pura-pura kesal aja melihat kelakuan Sinta yang dari dulu nggak pernah berubah. Usil dan jahil, begitulah Sinta dimata Bima. "Ganti baju sana, kita makan atau nonton gitu. Cepetan ya, lima menit nggak pake lama! Aku tungu di depan" kata Sinta kemudian sambil ngeloyor ke ruang tamu. Seperti biasanya, Bima pun paling nggak bisa menolak ajakan atau lebih tepatnya "perintah" dari "tuan putrinya" itu. Bagaimana mau nolak, orang tua Sinta sudah sangat percaya sama Bima. Bahkan mereka telah "menitipkan" Sinta kepada Bima selama tinggal di kota ini. Kasarnya, orang tua Sinta sudah setuju jika Bima menjadi pacar Sinta. Apalagi sejak kecil mereka sudah saling mengenal. Walaupun status sosial mereka berdua berbeda, tetapi orang tua Sinta tidak terlalu mempersoalkannya. Sinta yang anak seorang juragan kaya raya, sementara Bima yang hanya anak seorang buruh di desanya. Bagi mereka Bima orang yang baik, pintar pula. Tentu Bima akan bisa membimbing Sinta selama di kota ini. Bimbingan Bima sendiri sudah nampak sejak mereka masih sama-sama tinggal di desa. Bima suka memberikan les bahasa Inggris gratis pada Sinta yang memang agak kesulitan dalam pelajaran bahasa Inggris. Sementara keluarga Sinta suka membantu kesulitan keuangan keluarga Bima. Simbiosis mutualisme, itulah kira-kira ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan Sinta dan Bima selama ini. Sama-sama membutuhkan. Klop sudah! Tak sampai 5 menit, Bima pun sudah muncul di ruang tamu asrama tempat Sinta menunggunya tadi. Malam ini Bima tampil dengan dandanan yang keren. Jeans biru dengan kaos bergaris biru-biru pula, tampak serasi sekali dengan Sinta yang malam ini juga mengenakan jeans warna biru dan tshirt biru muda. Sinta yang tengah asyik memainkan handphone tersenyum riang menyambut kedatangan arjunanya itu. "Hehehe..." tawa Sinta sambil menyerahkan kunci mobilnya ke Bima. "Kenapa nyengir-nyengir gitu?" tanya Bima keheranan sambil menerima kunci yang disodorkan Sinta. Kedua alis matanya menaut tanda keheranan. "Ganteng juga masku ini hahaha..." jawab Sinta dengan mimik lucunya. Bima pun mau tak mau ikut senyum-senyum dipuji Sinta begitu rupa. Agak salah tingkah, tapi sudah terlalu sering dipuji begitu sama Sinta jadi terbiasalah Bima. "Mau kemana kita? Makan aja ya, males aku nonton," kata Bima tanpa bermaksud memaksa, sembari membukakan pintu mobil buat Sinta. "Up to you!" balas Sinta sambil asyik membalas sms dari temannya yang barusan masuk. Begitu Sinta masuk ke dalam mobil, Bima pun menuju kursi kemudi. Dan beberapa detik kemudian, meluncurlah mereka berdua menuju cafe tempat biasa mereka menghabiskan waktu di malam minggu. Bagi Bima memang lebih baik memilih makan daripada menghabiskan uang untuk nonton. Dan kali ini, Bima ingin dia yang mentraktir Sinta karena kebetulan tadi siang uang beasiswa yang biasa ia terima tiap bulannya dari suatu perusahaan telekomunikasi telah cair. Sampai di cafe langganannya, suasana lumayan rame. Banyak pasangan muda-mudi yang tengah mojok. Maklumlah ini malam minggu. Lagipula cafe ini sangat pas dan cocok dengan kantong anak kuliahan macam Bima dan Sinta ini. Makanya kalau malam minggu ini, cafe ini lumayan padat pengunjungnya. Walaupun sudah dibikin dua lantai, tetep aja susah nyari kursi kosong kalau pas malam minggu begini. Untunglah Bima dan Sinta sempat dapat kursi disisi kiri cafe itu, agak pojokan malahan. Begitu mereka duduk, tak berapa lama pelayan cafe datang sambil membawa daftar menu masakan yang akan mereka pesan. Sinta pun segera menuliskan menu masakan yang mereka pesan. Ayam penyet dan es jeruk, menu andalan mereka di cafe itu. Tak sampai setengah jam, pesanan mereka pun datang. Sambil menyantap makanan yang masih hangat, mereka pun terlibat obrolan yang lumayan seius. "Tadi pagi bapak telpon aku, nanyain kamu," kata Sinta memulai pembicaraan. "Trus?" jawab Bima sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. "Ya kujawab aja baik, trus nanya lagi gitu, kapan mau lulus. Kujawab aja sebentar lagi, paling 1 tahun juga kelar, gitu deh!" balas Sinta sambil menyruput es jeruknya. "Baguslah...memang aku maunya setahun lagi lulus, kasihan bapak ibu yang biayain." "Iya..tapi bapak juga bilang, kalau sudah lulus segera saja kamu suruh nglamar aku" kata Sinta nggak enak hati, takut kalau Bima tersinggung dengan ucapannya tadi. "Aku sih cuman njawab, ya semua terserah Mas Bima, gitu!" lanjutnya dengan ekspresi datar. Sinta memang nggak ingin ada kesan orang tuanya memaksakan kehendak kepada Bima. Mentang-mentang keluarga Bima sering ditolong keluarga Sinta, tapi Sinta tak ingin hal itu justru membebani keluarga Bima. Dia tak mau jika ada kesan seolah-olah keluarga Bima harus berbalas budi atas kebaikan keluarga Sinta. Kesan itulah yang ingin dia hindari. Memang keluarga mereka sudah saling setuju, tapi Sinta juga nggak mau kalau Bima terpaksa atas hubungannya selama ini dengannya. Bagaimana pun juga Bima berhak menentukan jalan hidupnya. "Lain kali kalo bapak telpon lagi, bilang aja calon mantunya ini siap segera melamar anak kesayangannya. Asalkan anak kesayangannya ini mau menerima ada adanya calon mantunya ini, mau tidur di gubuk reyot, makan sepiring berdua," jawab Bima santai. Sama sekali ia tidak menunjukkan ekspresi tersinggung seperti yang dikhawatirkan Sinta. "Mass...seriuslah!" kata Sinta mulai merajuk. Ia lucu sekali kalo merajuk begitu. Kayak anak kecil, menggemaskan. "Ini sudah serius tuan putri..." jawab Bima sambil mencubit pipi Sinta. Sinta yang dicubit begitu jadi kegirangan. Ah...ternyata Bima betul-betul sayang padaku, batinnya. "Ya, tapi asalkan kamu siap hidup menderita sama aku nggak masalah. Aku siap koq nikahin kamu, sekarang juga bisa. Nikah khan cuman butuh uang berapa ratus ribu ke KUA, dari uang beasiswaku juga cukup," Bima mencoba menjelaskan. Kali ini makanan dan minuman yang mereka santap sudah habis. "Tapi habis itu kita tinggal dimana?" ucap Bima sambil menggenggam lembut jari-jemari tangan Sinta. "Udah yuk, kita pulang!" ajak Bima kemudian. Sembari berdiri, dipandunya tangan Sinta untuk berdiri dari tempat duduknya. Kemudian mereka beriringan menuju ke kasir di cafe itu. Sepanjang perjalanan antara cafe menuju asramanya Bima, Sinta lebih banyak diam. Entahlah, Sinta mendadak jadi makhluk pendiam malam ini. Nggak seperti biasanya, bawelnya minta ampun. "Ada yang dipikirkan, nona manis?" tanya Bima memecah kesunyian di dalam mobil itu. "Enggak, cuman ngkhayal aja" balas Sinta singkat. Ia nampak seperti orang yang tengah memikirkan sesuatu. Sesekali kadang malah senyum-senyum sendiri. Aneh! Batin Bima keheranan. "Ngkhayalin apa sih, pake senyum-senyum gitu?" Keingintahuan Bima pun akhirnya muncul. "Asyik kali ya kalo nikah muda, punya anak tapi usia kita juga masih muda." "Ya elah, jadi masih berlanjut tho ini critanya yang ngomongin nikah tadi, heh?" Bima pun ikut tersenyum. "Iya...asyik khan kalo kita nikah muda, jadi berarti omongan bapak itu kita amini aja, gimana?" tanya Sinta seolah minta persetujuan Bima. "Lah khan tadi sudah kubilang, aku khan nggak masalah mau nikah kapan aja. Yang penting kamu sanggup nggak hidup menderita? Kamu khan biasa hidup mewah gini?" ucap Bima meyakinkan. "Asal sama kamu, aku siap koq. Lagian kalo kita mau, kita khan bisa pulang ke desa selesai wisuda nanti. Kamu khan bisa bantu nerusin usaha bapakku." "Ya nggak segitunya kali, aku khan punya harga diri." Nampak sekali kalau Bima nggak suka dengan ucapan Sinta barusan. "Lah apa salahnya?" balas Sinta dengan nada sedikit naik satu oktaf. "Udah ah, udah nyampe nih! Kamu langsung pulang ya, udah malam." Tanpa terasa mereka sudah sampai di asramanya Bima. "Masih males," jawab Sinta lemah. "Lagian ibu kosku lagi keluar kota, jadi gerbang nggak ditutup seperti biasanya, bisa pulang jam berapa aja." "Lho terus mau ngapain kalo nggak pulang, mau nginep sini? Hehehe..enak aja!" Bima pun terkekeh. " Ya enggaklah, jalan lagi yuk! Ke pantai atau kemana kek. Lagian ini masih jam 9, sejam dua jam lagilah aku pulang," rayu Sinta. "Ya udah, ke pantai aja ya, yang deketan dari sini!" Seperti biasanya Bima paling nggak bisa mengecewakan hati ceweknya ini. Akhirnya Bima pun kembali menstater mobil Sinta ke arah pantai. Sinta pun tampak ceria kembali. Setengah jam kemudian sampailah mereka berdua di tepi pantai. Suasana tampak tidak terlalu ramai. Bima pun memarkir mobil yang dikendarainya di dekat batang pohon yang roboh. Malam itu langit tampak cerah, bulan dan bintang pun bersinar dengan indahnya. Di sebuah batang yang roboh, tampak dua anak manusia lawan jenis tengah duduk berdampingan. Keduanya terdiam dengan pikirannya masing-masing. Hanya genggaman tangan mereka yang tetap menyatukan keduanya. "Koq diam, ngomong dong!" Bima memecah kesunyian sambil melirik Sinta yang duduk disebelahnya. "Kenapa sih mas nggak suka kerja ditempat bapak? Khan nggak ada salahnya?" Sinta menjawab dengan setengah sewot. "Haduh...masih juga berlanjut tho urusan yang tadi?" ucap Bima santai. "Ya sudah ntar aku kerja deh ditempat bapakmu, puas ?" Bima berusaha menyenangkan hati Sinta. "Tapi, aku akan tetap nyari kerja dulu sesuai ijazah kita. Nah, ntar kalo masalah di tempat bapakmu khan bisa disambi." "Bener ya kita nikah muda, bener ya kita nanti kembali ke desa? Mas nggak terpaksa khan?" berondong Sinta mulai ceria. "Iya..iya.." balas Bima sambil mengucel-ucelnya rambut Sinta dengan gemas. Sinta...Sinta... siapa sih yang terpaksa menikah sama kamu. Kamu cantik, baik hati, manja, lucu, suka usil, dan yang pasti kamu tidak pernah bosan menyinari hatiku. Seperti bulan diatas sana yang tak pernah bosan menyinari bumi ini, batin Bima. Kedua anak beranak itu mulai merapatkan duduknya. Sinta memeluk pinggang dan merobohkan kepalanya di pundak Bima. Bima pun merangkulkan tangannya di bahu Sinta, seolah tidak ingin melepaskannya. Keduanya pun tersenyum bahagia menatap indahnya rembulan di atas sana.
(TAMAT)
Penulis : Valentino + Dian + Afandi Sido + Edi Kusumawati (Nomer Peserta : 117) Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini :Â Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H