Di antara yang menyambut kedatanganku adalah seorang general manager program, Gary Ward bertubuh sangat jangkung dan kuperkirakan tinggi badannya lebih dari 2 meter. Ia juga tampak sangat melayani dan sekaligus tidak segan menaiki mobil carteran bandara untuk mengantar rombongan langsung ke hotel tempat kami menginap di Wellington.
Gary dan sopir carteran yang tampak berusia diatas 50 tahun tersebut terus bercerita dengan penuh semangat disepanjang perjalanan. Diantara kisah mereka adalah tentang sekilas legenda sejarah kota Wellington.Â
Perjalanan selama 30 menit ke pusat kota tidak terasa karena disuguhi pemandangan lansekap kota ditepian teluk dengan bangunan fisik kota  dominan berwarna putih  berjejer rapi dilereng bukit yang tampak menghijau dan cantik itu.
Di hotel kami langsung disambut oleh petugas resepsionis yang tampak cekatan melakukan tugasnya. Sambil menunggu diberikan kunci kamar dibagikan, kami pun diajak mengobrol ringan oleh seorang anak muda petugas hotel di ruangan lobi yang tidak terlalu luas namun tetap tampak bersih dan rapi. Ia menjelaskan dengan antusias situasi hotel secara umum, serta tempat escape sekadar mencari tempat makan dan minum, kehidupan malam ataupun sekedar hang out di pusat keramaian kota Wellington.
Sampai pada suatu waktu tertentu aku menyadari bahwa sifat terbuka, kesetaraan dan bersahabat penduduk Wellington sepertinya menjadi bagian kultur keseharian mereka.Â
Tidak jarang mereka mengatakan sapaan terlebih dulu dengan kata: hello, good morning atau good night yang disertai senyuman dan tatapan bersahabat yang membuat kita merasa diterima ditengah lingkungan yang baru. Hal yang sulit kita temui dikota-kota besar di negeri kita yang terkadang sudah terasa sangat individualis.
Gaya komunikasi yang tidak straight forward terkadang membuat kita harus fokus dengan inti pembicaraan yang akan disampaikan. Pembuka komunikasi yang membuat nyaman lawan bicara dan lebih memperhatikan etika dan berusaha tidak menyinggung lawan bicara. Budaya masyarakat yang egaliter yang tidak membedakan dan saling menghormati sepertinya menjadi ciri khas berkomunikasi masyarakat Wellington.
Kemudian aku juga merasa  lebih dekat dengan Wellington setelah melihat penduduk suku asli Maori yang perawakan tubuh dan pelafalan hurufnya persis sama dengan bahasa Indonesia. Dikelas kami diberikan pengenalan bahasa Maori yang sepertinya lebih mudah difahami dan dilafalkan. Bahkan beberapa kata bahasa Maori ditemukan ada yang sama dan mirip dengan bahasa Indonesia seperti: Taringa – Telinga; Tangi – Tangis; Rua – Dua; Rima – Lima; Rangi – Langit; Mata – Mata; Ika – Ikan; Ia – Dia; Hua – Buah dan Aha – Apa.Â
Budaya suku asli penduduk Maori juga tidak lepas dari keseharian penduduk Selendia baru. Pada acara formal akan selalu dimulai dengan pembacaan doa dan menyanyikan lagu berbahasa Maori. Penghormatan tinggi kepada budaya lokal sehingga menjadi identitas dan kebanggaan sebuah bangsa yang cukup maju tersebut.