Mohon tunggu...
Jan Bestari
Jan Bestari Mohon Tunggu... Lainnya - Merayakan setiap langkah perjalanan

Refleksi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Catatan Perjalanan Sang Kapten (18. Pulau Onrust)

27 Januari 2022   07:27 Diperbarui: 27 Januari 2022   07:33 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dibuat pribadi dengan pictsart app

Di ruang kapten kapal, jam pasir tepat menunjukkan pukul  06.00 pagi. Lonceng gereja juga akan berdenting sebanyak 6 kali, jika saat ini aku berada di Harmonie Batavia. Segera kemudian akan  terlihat rata-rata orang berkulit putih pergi menuju gereja terdekat untuk ibadah pagi.

Aku berdiri dianjungan kapal layar paling depan. Tampak matahari pagi masih bersembunyi di kaki langit sebelah timur, cahayanya masih berwarna lembayung kemerahan. Saat ini semangatku seperti terpompa untuk memulai perjalanan penting ke Borneo yang sangat berharga bagi karir militerku dikemudian hari.

"Tidak ada lagi yang tertinggal dibawah, Tuan" seru Arthur melaporkan, sambil nafasnya turun naik karena baru saja ia bolak balik diantara tangga-tangga dek kapal untuk mengecek keseluruhan kesiapan keberangkatan.

"Cek kembali semuanya sampai dua jam kedepan" balasku kepada Arthur yang terlihat sangat sibuk mengecek logistik serta kesiapan seluruh awak kapal yang berangkat. Meskipun beberapa hari sebelumnya telah mulai dilakukan berbagai persiapannya.

Matahari naik sepenggalah. Langit terlihat semakin cerah. Kain layar kapal Commando tampak berkibar gagah ditiup angin. Sepertinya sudah tidak sabar mendorong kami untuk segera bergerak maju.

Dari ruang kemudi, kembali kuperhatikan situasi kapal disetiap sudutnya dengan seksama. Dihaluan kulihat isyarat jari jempol kanan Arthur telah tegak berdiri, artinya jangkar telah terangkat sempurna dan tali pengikat kapal telah dilepas serta semua layar terkembang sempurna. Tidak ada lagi kata menunda atau mundur. Meskipun misi kali ini membuatku sedikit gentar karena cerita kegigihan awak kapal serta keberanian manuver-manuver berbahaya armada laut Sambas Darussalam seperti yang diceritakan Oliver Van Dijk dalam buku catatannya. Tetapi aku tetap ingin dikenang dalam sejarah, dimana Letnan Kolonel John Stewart dari Bristol Inggris sebagai seorang yang gagah berani dan penakluk ulung.

Sampai kepada bunyi peluit keberangkatan dibunyikan. Perlahan kapal mulai meninggalkan Batavia menuju keutara. Hembusan angin pagi yang tenang membuat kapal layar masih bergerak perlahan. Dianjungan kapal tampak sibuk bekerjasama mengatur tali temali dan kain layar sesuai dorongan arah angin dan tujuan yang diinginkan. Perjalanan dengan jarak 1000 kilometer ini diperkirakan akan ditempuh selama seminggu tanpa henti.

Kutinggalkan pelabuhan Batavia dan Mayang dengan perasaan tenang, karena Arthur bersamaku, seseorang yang telah menggelisahkanku akhir-akhir ini.

Matahari menanjak dengan pasti. Bau uap air laut tropis menguar menyerang indra penciumanku. Daerah tropis membuat aroma air laut tercium sangat kentara. Diatas langit tinggi sana melintas  sekawanan bangau putih dengan formasi segitiga. Sedangkan aktifitas disetiap dek kapal mulai terlihat kesibukannya.

Masih di anjungan kapal sana, terlihat wajah Arthur pagi ini sangat tenang meski rambutnya mulai berantakan karena angin mulai bertiup kencang. Saat ini dia tampak seperti seorang calon perwira laut yang sangat gagah. Perintah-perintahnya jelas dan tegas. Seragam yang dipakainya  berwarna hitam dengan ornamen tali-tali kecil berwarna emas keperakan dibagian kerahnya. Dilengan bajunya  juga terdapat ornamen garis-garis berwarna senada dengan yang dibagian krah baju. Kemudian diperindah sehingga tampak sangat harmonis dengan kancing kancing baju yang besar dan menonjol.

"Kecepatan 4 km per jam" Arthur melaporkan sementara kecepatan kapal saat ini. Beberapa petugas tali temali tampak masih menarik dan menyesuaikan arah angin untuk lebih mempercepat pergerakan kapal. Petugas layarpun tidak kalah cekatan dengan gagah beraninya bergelantungan diatas tiang layar yang berayun ayun seperti laba-laba yang sedang memasang jaring pengamannya.

"Segera di kecepatan 5 km per jam!" pintaku kepada Arthur yang masih serius memperhatikan dan memberikan aba-aba kepada petugas yang masih bergelantungan diatas tiang-tiang layar. Arthur langsung memberikan tanda dua jempol jari kepadaku, artinya perintahku siap akan dieksekusinya dengan baik. Tampaknya tidak akan ada kendala untuk sampai dikecepatan tersebut. Itu artinya dalam seminggu kapal layar akan sampai ke wilayah tujuan.

Lima jam perlayaran telah berlalu. Mulai terlihat secara samar pulau Onrust[1]. Tiga tahun lalu Inggris telah berhasil merebut pulau tersebut dari Belanda dengan meluluh lantakkan pertahanan dan benteng kuat yang dibangun Belanda sebelumnya. 

 Waktu terus berjalan tanpa bisa dihentikan. Seperti semangat perjalanan semua awak kapal saat ini. Cuaca dan angin sangat bersahabat sehingga mendorong kami lebih cepat.  Kepulauan Onrust  yang sebelumnya hanya serupa noktah kecil di tengah samudra, sekarang berubah menjadi bayang-bayang biru yang semakin tampak jelas dipandang mata. Pinus laut dan pohon kelapa menjadi semakin tampak jelas berjejer didaratannya.

 Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi seperti orang yang sedang melambaikan tangan karena tertiup angin laut yang tidak berkesudahan. Saat melintas pulau-pulau dibagian utaranya, kecepatan kapal layar sedikit berkurang.  Angin laut seperti sedikit terhalang karena dibentengi oleh deretan pulau-pulau kokoh disekitar Onrust yang terlihat menghunjam laut.

 Dua jam setelah jejeran kepulauan Onrust terakhir terlihat, kapal memasuki suasana laut yang masih tetap tenang. Matahari disebelah barat mulai akan tenggelam. Angin sore menjelang malam mendorong kapal melaju tanpa halangan. Commando melaju dengan kecepatan yang dinginkan, dan bahkan diinfokan oleh petugas navigasi kecepatan telah mencapai diatas lima kilometer perjam.

 Matahari tenggelam perlahan. Seiring dengan langit yang nampak perlahan menjadi gelap. Dari balik jendela kemudi, disebelah langit timur bulan belum menampakkan dirinya, karena saat ini telah masuk malam 17 bulan Zulhijjah. Artinya cahaya bulan akan keluar dua jam dari sekarang. Awak dapur mulai menghidangkan makan malam diruang utama dekat kemudi.

 Seperti biasa  selalu akan ada beberapa awak kapal yang terlihat mabuk laut karena kondisi tubuh yang kurang prima. Beberapa dari mereka bahkan tidak dapat berdiri tegak dengan baik. Angin malam saat ini bertiup sedikit kencang. Dibeberapa bagian titik langit terlihat awan hitam membentang seperti ingin membuat halangan dinding untuk kami bergerak maju. Meski beberapa awan hitam berhasil kami lewati tanpa kendala berarti dan aku merasa laut jawa terasa mulai berani mengombang-ambingkan kapal layar kami ditengah lautan yang seolah tidak bertepi.

 Makan malam wajib bagi seluruh awak kapal untuk mempertahankan stamina tubuh dalam melawan dingin angin malam dan gelombang laut. Menu yang disajikan tidak jauh dari menu yang penyajiannya praktis seperti sayur saverkrout[2] ,irisan daging-daging yang telah diawetkan dan terasa asin dilidah serta tidak lupa juga biskuit. Biasanya terdapat sajian khusus untuk seorang kapten sepertiku. Pilihan menu favoritku seperti daging panggang yang dilumuri madu dan sedikit bir. Beberapa petugas seperti juru mudi, navigasi, tali, layar dan persenjataan kuminta untuk menemaniku dalam santap malam sambil membicarakan hal penting selama dalam pelayaran. 

 Angin dapat kukatakan masih dalam moderat. Perbincangan ringan kami lakukan sambil meneguk bir yang terasa langsung menghangatkan rongga kerongkongan dan tubuh. Angin laut terasa bertambah dingin dan kencang. Dari laporan-laporan yang kudapatkan saat makan malam itu dapat kusimpulkan perjalanan semuanya lancar.

 Gelombang laut jawa saat ini diperkirakan setinggi 3 meter. Sebelum menuju peraduan aku berdiri dedepan jendela kemudi untuk memastikan kembali arah kapal tetap menuju ke utara. Langit malam yang cerah seperti saat ini, sangat membantuku untuk melihat rasi bintang Ursa Mayor dimana bintang Betha Ursa Mayor dan Alpha Ursa Mayor jika ditarik lurus sampailah dihorison kaki langit, artinya disanalah titik utara itu. Maka sudah kupastikan kapal ini persis sedang menuju kearah yang direncanakan.

 Petugas jaga navigasi di haluan atas kapal serta tali temali terus berjaga dan berganti setiap 6 jam sekali. Dengan ombak yang dapat dikatakan masih bersahabat dan bisa membuat istirahat malam awak kapal lainnya tidur dan istirahat dengan nyaman. Suasana kapal mulai terasa sunyi. Diluar terlihat taburan bintang-bintang dilangit . Bunyi kecipak air laut yang membentur haluan dan hempasan gelombang pada kiri kanan lambung kapal seperti alunan irama merdu yang terus mengiringi kami menuju Borneo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun