Pohon maple dikiri kanan sungai yang sebelumya tampak menghijau, saat ini tampak serempak mengubah warnanya menjadi kuning keemasan. Daun-daun yang menguning tua itu sepertinya masih tidak mau melepaskan diri dari ujung-ujung rantingnya yang tampak sudah menghitam. Tetapi belum waktunya dedaunan meranggas.
Sedang burung-burung gagak yang selalu hadir dimusim salju seperti sangat bersemangat berterbangan sambil beriringan kesana kemari melawan hawa dingin yang merasuk. Bunyi nyanyiannya melengking nyaring, seolah memberitahu kepada seluruh penduduk Bristol untuk mempersiapkan diri menghadapi musim salju yang beku dan sunyi. Dikiri kanan sungai tampak asap menggumpal-gumpal berebut keluar dari cerobong asap rumah terapung. Semuanya seperti bersiap untuk selalu menjaga kehangatan menuju musim salju tiba.
Biarlah musim yang membeku, tetapi jiwaku akan selalu terasa hangat saat berada di samping Pruistine sambil memelihara obsesi untuk terus berpetualang ditempat yang kuangankan. Hal tersebut sebenarnya sejalan dengan semangat kota Bristol sebagai pusat penjelajahan dunia yang melegenda. Kota tempatku dilahirkan ini sampai menyandang sebutan sebagai seorang Kapten Stewart, sepertinya selalu mendorongku untuk menjelajah kesetiap pelosok belahan dunia manapun. Tanpa terkecuali.
“Tidak cukupkah dengan apa yang telah kau miliki saat ini, Stewart!” Pruistine suatu ketika dengan nada semakin lemah dan serak mengingatkan kembali terkait keinginanku untuk berlayar jauh. Aku mengernyitkan dahi, biasa akan tampak jelas sekali tiga garis melintang dikening sebagai tanda usiaku telah memasuki paruh baya dan Pruistine akan berkata
“Sudahlah Stewart usiamu tidak bisa berbohong,” sambil ia menunjuk jidatku yang mulai tampak menua dan mengingatkanku untuk tidak pergi berlayar jauh. Dan aku hanya memandangnya kembali dengan senyuman yang dalam.
“Percayalah! masa depan kita ada disana, Pruistine” jawabku bersemangat, meski wajah Pruistine tampak berusaha tersenyum membesarkan hatiku, karena ia sangat mengenaliku sebagai seorang yang sangat teguh memegang pendirian.
Memang akhir-akhir ini nama Hindia Belanda seperti telah menyihirku. Jejeran pulaunya yang ditumbuhi pohon kokoh tropis berdaun lebat yang berpigmen hijau terang. Tanahnya subur dengan berbagai jenis tanaman rempah yang diperebutkan pedagang dari seluruh dunia. Dengan tujuan terakhirku adalah ingin sekali menginjakkan kaki di Kerajaan Sambas Darussalam yang terletak di Pulau Borneo. Diceritakan bahwa lapisan tanahnya yang luas terhampar sejauh mata memandang tersimpan banyak mengandung butiran emas dengan armada lautnya yang sangat gagah berani.
Motivasi menjelajahi pulau-pulau di Hindia Belanda semakin membuncah saat semboyan: gold, glory dan gospel selalu digaungkan kepada pelaut sepertiku. Kata-kata mantra yang memberikan semangat bagi pelaut untuk berlayar keseluruh empat penjuru mata angin dengan tujuan mencari kekayaan, kejayaan dan yang terpenting menjalankan perintah suci dari Tuhan dalam menyebarkan ajaran cinta kasih Kristus. Sehingga segala halang rintang yang dihadapi seperti tidak berarti.
Cerita-cerita saudagar sukses. Tuturan penuh semangat dengan wajah sumringahnya tentara- tentara belia kerajaan dalam menceritakan penaklukan wilayah yang sukses gilang gemilang. Kemudian narasi terus mereka lanjutkan tanpa jeda akan penjelajahan pulau-pulau cantik, secantik gadis-gadis pribumi Hindia Belanda yang mendiaminya lengkap dengan misteri-misteri yang menyertainya. Semuanya kembali menjadi motivasi tanpa kendali bagi siapapun yang mendengarkannya.
Aku Stewart, perwira kerajaan Inggris berpangkat kapten, dari negeri yang selama ini dikenal sebagai penguasa samudra. Selalu berlayar dengan semangat untuk: lihat, datang dan menang atau slogan dalam bahasa latinnya adalah: veni ,vidi dan vici, telah lebih dari cukup sebagai bahan bakar dan memompa semangat juang pantang menyerah dari setiap pelaut Inggris.