Setelah beberapa bulan bekerja. Dibeberapa bagian otot lengan dan perut telah terlihat seperti seorang atlet binaraga sejati. Pada bulan kedelapan ini atas permintaan Pak Fendi pekerjaanku berpindah dari pondok ditengah hutan ke daerah dekat sungai yang mendekati kampung. Meskipun Sakinah pada awalnya menolak karena meninggalkannya berjuang sendiri ditengah hutan rimba.
“Aku takut Bang Nurdin!” ungkapnya saat aku mengatakan diminta kepala rombongan untuk melanjutkan pekerjaan di logpond.
“Semua akan baik-baik saja, Dek!” aku menatap wajahnya yang tampak murung karena aku tidak disampingnya lagi,”kita harus mengumpulkan uang yang banyak untuk balik kampung nanti,” pungkasku kembali. Ia pun kemudian hanya mengangguk lemah.
Tugasku di logpond saat ini adalah membawa kayu gergajian berbentuk balok-balok sepanjang 4 meter sebanyak mungkin diatas sepeda yang sudah dimodifikasi.
Pada sisi kiri dan kanan sepeda akan diikatkan kuat-kuat kayu balok yang siap meluncur diatas jalan yang masih berupa tanah kuning tersebut. Perlu tenaga ekstra untuk dapat mengayuh sepeda dan mengendalikannya sampai ditempat tujuan. Jika dilihat sepeda yang membawa kayu gergajian itu persis seperti sebuah pesawat, tetapi tidak bisa terbang.
Sampai akhirnya sebulan menjelang lebaran. Hati siapa yang tidak berbunga-bunga karena hampir setahun bekerja keras megumpulkan uang dengan memeras keringat, kini saatnya menjemput bahagia merayakan lebaran dikampung.
Di kem aku menunggu dengan tidak sabar kembalinya rombongan yang masih berada di pondok tengah hutan termasuklah Sakinah adikku. Semua persiapan untuk kepulangan telah kukemaskan termasuk membawa kembali sarana kerjaku sepeda modifikasi.
Sampai saatnya begitu rombongan datang di kem. Sakinah langsung menyergap dan memelukku sambil menangis tersedu-sedu. Wajahnya memang terlihat pucat. Perasaanku gundah. Disaat itu juga gadis belia itu seperti tidak bisa menahan hasrat muntahnya..
“Bang aku...!” ungkap Sakinah yang tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Terasa badannya yang lemah seperti bergetar menahan tangis.
“Kita akan segera kembali ke kampung Dek!” ungkapku pelan serta selesailah tugas-tugas beratnya selama ini yang telah dijalaninya dengan sabar tanpa mengeluh sedikitpun. Seorang adik yang sangat bertanggungjawab. Tetapi mendengar kata kampung ternyata Sakinah kembali menangis sejadi-jadinya.
“Aku malu, Bang!” Tubuhku langsung gemetar mendengarnya. Sakinah yang biasanya begitu bersemangat saat ini seperti hilang keceriaan dan semangat hidupnya,”aku malu dengan orang kampung karena aku sedang hamil,” suaranya tambah melemah dan hampir tidak terdengar karena tertahan oleh isak tangisnya.