Dalam sehari kami harus bisa menargetkan 3 rit[8], sebelum kembali kepondok kerja untuk beristirahat. Paling tidak pukul 5 sore atau sebelum keadaan hutan kembali menjadi gelap.Â
Entah berapa banyak galon air dihutan yang kami minum langsung tanpa dimasak. Paling tidak untuk menggantikan dahaga serta keringat tubuh yang keluar sebesar biji jagung disaat mendorong kayu-kayu raksasa itu.Â
Airnya terlihat berwarna sangat merah karena berada diatas tanah gambut.meskipun airnya berwarna tetap terasa manis saat berada di indera pencecap perasa lidah.Mungkin karena sudah sangat hausnya seluruh sel tubuh kami.
Sebuah pekerjaan yang maha berat dan tidak perlu difikirkan tetapi cukup dikerjakan. Tenaga yang tersimpan dibadan hanya melalui berpiring-piring nasi yang selalu kami habiskan dengan lauk seadanya.Â
Itulah yang menyebabkan rata-rata kami menjadi pria-pria berotot seperti seorang binaraga meski tubuh kami rata-rata pendek atau dibawah 160 sentimeter.
 Dulu pernah diceitakan saat aku masih dikampung. Beberapa pekerja kayu sebelumnya itu hilang disaat mereka bekerja didalam hutan karena diterkam harimau buas yang merasa rumahnya diganggu. Ternyata saat ini akupun menyaksikan sendiri, bahkan didepan mataku langsung.
 Pada saat kejadian, malam itu terasa sangat hening setelah hujan ringan di awal malam. Pardi teman sebayaku satu kampung keluar sendirian untuk buang air kecil. Ia turun sendirian dengan membawa sebuah senter untuk penerang.Â
Setengah jam kemudian Pardi belum juga kembali. Sebenarnya tidak lama ia melangkahkan kaki di luar pondok aku mendengar suara orang berteriak minta tolong ditengah lengkingan derik jangkrik malam yang juga seperti terasa memekakkan telinga.
Ditambah cuaca dingin menyebabkan kami semua seperti malas menanggapi tanda-tanda bahaya yang sedang dihadapi oleh teman rombongan kami.
 Setelah tahu Pardi lama belum kembali hampir semua kami terbangun dan keluar untuk menemui nya. Tetapi yang ada disana hanya tertinggal senter dan sarung lusuhnya yang penuh berlumuran darah.
 Darahku terasa berdesir melihat pemandangan yang ada didepanku saat itu. Aku langsung teringat adikku dan langsung mendekat ke pondok tempatnya beristirahat dan semua terlihat aman sehingga membuat hatiku kembali lega. Aku kemudian kembali ketempat kerumunan teman-teman sepondokku.