Mirza memejamkan matanya, lalu menatap Qia dan dilanjutkan meniup lilin yang menyala sedari tadi.
"Kamu sendiri Qi?
"Ya, seperti yang diliat aja hehehe"
"Makasih banyak ya, udah repot-repot kesini"
"Sama-sama, ini ada hadiah kecil dari aku, semoga suka ya!" ucapnya sambil memberikan tote bag yang sedari tadi bergantung ditangan.
"Wah apa nih, makasih banyak ya sekali lagi, aku happy banget!" ucapnya tersenyum merekah sambil mengelus-elus kepala Qia.
Kringgg kringgg kringgg !!!Â
Benar nyatanya, itu hanya sebuah mimpi indah yang tidak akan menjadi kenyataan. Jam weker itu membangun kan ku dari kebahagiaan sementara. Dan saat ini aku harus menerima realita dan melanjutkan kembali hidupku. Tapi tak bohong, aku sungguh rindu.
Merindukan seseorang yang sama sekali kita tidak tau apa yang harus dilakukan terkadang sangat menyesakkan. Tapi tak apa, selagi kehidupannya terus berjalan dan mengalir bahagia aku rasa ini akan berjalan dengan baik-baik saja.
Membeli satu gelas coffee, mungkin salah satu untuk bertahan juga. Meskipun, aku pikir dulu aku tidak akan meminumnya. Melewati kedai pizza itu lagi, kenangan terakhir itu masih menghantui kepala ini. Meskipun ku tepis berkali-kali, masih saja tetap datang lagi.
Caci maki ku sudah banyak dipendam sampai kelu, rasa ku juga sudah habis dan mati dimakan waktu. Cinta juga sudah dipendam lama kian memudar bahkan sudah mati perlahan. Kisahnya masih berputar tak karuan, mungkin memang rindu nya juga belum memudar, mau kesekian rindu jika semesta tak mengizinkan kita mungkin tak akan pernah menjadi temu. Kuharap, atas segala rindu yang ada aku sanggup menghadapi nya.Â