Terus terang, waktu kecil aku punya cita-cita menjadi loper koran. Azam itu sempat ditorehkan gara-gara sering memainkan game ikonik  Nintendo bertajuk Paperboy. Game retro mengasyikan  pada konsol permainan video yang tenar di asia pada tahun 1984 itu mengharuskan sang player memerankan seorang anak muda yang bertugas mengantarkan surat kabar ke setiap pelanggannya.Â
Setiap pagi, berkeliling mengendarai sepeda dan melemparkan koran ke  depan pintu rumah si pembaca. Rutinitasnya sederhana, namun sebenarnya banyak tantangan yang mesti dihadapi selama perjalanan. Ada anjing galak, kereta bayi yang melintas, kendaraan bermotor yang melaju kencang dan lainnya yang mesti dihindari agar tak terjadi tabrakan.
Namun, cita itu terealisasi separuhnya. Aku hanya sempat menjajakan koran sebatas menawarkan media berkala kepada pengendara mobil dan sepeda motor saat berhenti menunggu lampu lalu lintas berwarna merah.Â
Berjalan kaki, menghampiri calon pembeli. Aku belum pernah gowes sambil melempar koran seperti paperboy. Maklum, kala itu –buatku- kereta angin adalah sebuah alat transportasi mewah. Dan, sekarang sudah tak mungkin lagi  untuk melakoni profesi legendaris tersebut. Pasalnya, sebagian besar berita sudah tersedia di internet tanpa dipungut biaya.
Walau impian mengendarai sepeda mengantarkan surat kabar tak pernah dilakoni, tapi aku mendapatkan spirit luar biasa dari seorang loper koran dalam game tadi. Sang pengendara tak pernah lelah berjibaku mengantarkan hak pelanggan. Walau hujan mendera, meskipun sering dimaki pembaca karena keterlambatan, semuanya diterima dengan ikhlas. Hal ini semata-mata demi memberi kebahagian pembaca  berupa bahan bacaan gurih yang mengabarkan informasi terkini.
Kini, energi paperboy itu telah masuk ke dalam sukma. Makanya kereta angin yang aku miliki menjadi media tangguh yang terus dikayuh. Bersepeda sambil menebar virus baca. Gerakan ini merupakan kampanye budaya baca dengan menggunakan kendaraan klasik roda dua yang mengandalkan kekuatan otot kaki.Â
Sepeda yang dijadikan salah satu senjata andalan mengangkut buku itu memiliki julukan yang sangat bersahabat. Panggil dia ‘Kabaca’. Dalam Bahasa sunda itu artinya ‘terbaca’. Namun, Kabaca juga merupakan singkatan dari Kargo Baca.
Sejak tahun 2017, Â sepeda perpustakaan itu menggeleser menyapa masyarakat. Perpustakaan bergerak dengan menggunakan kereta angin tanpa bahan bakar ini membuka ruang luas bagi anak-anak untuk membaca secara gratis.
Pada era pagebluk, tentu menyesuaikan dengan kondisi. Namun masih tetap berbagi melayani informasi. Semenjak Covid-19 tenar di Inonesia, aku punya metode lain meminjamkan buku tanpa harus pembaca meninggalkan rumah. Caranya dengan mengantarkan buku yang ingin dipinjam oleh pembaca.Â