Kota Pendidikan dan Kota Budaya adalah dua hal yang sangat erat dengan Yogyakarta. Kota Pendidikan disematkan pada kota ini karena terdapat sekitar 137 perguruan tinggi baik perguruan tinggi negeri, maupun perguruan tinggi swasta.
Tidak saja jumlahnya banyak, perguruan tinggi di Jogja juga didukung fasilitas penunjang yang berkualitas sehingga melahirkan lulusan yang berkompeten. Tidak heran jika banyak sekali orangtua hampir di seluruh pelosok negeri memilih Jogja sebagai tempat untuk melanjutkan studi anaknya.
Kota Jogja juga disebut sebagi Kota Budaya. Kok bisa? Ya, karena di Yogyakarta mempunyai beragam potensi budaya, diantaranya adalah kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya yang berupa fisik. Sedangkan potensi budaya yang non fisik adalah berupa gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dalam masyarakat.
Beruntung sekali, pada tanggal 29 Maret 2019 saya diajak oleh salah satu teman yang aktif dalam Komunitas Kompasianer Jogja (KJOG), bersama dengan teman-teman lainnya untuk menyaksikan Pameran yang digelar di Pagelaran Kraton Jogja. Pameran tersebut adalah salah satu rangkaian kegiatan yang diadakan oleh Kraton dalam rangka Mangayubagyo 30 tahun Sri Sultan Hamengku Buwono X bertahta.
Pameran dengan tema " Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat" tersebut dilangsungkan dalam rentang waktu satu bulan penuh mulai tanggal 07 Maret -- 07 April 2019. Pameran ini sekaligus sebagai tanda dikembalikannya 75 buah naskah kuno Kraton Yogyakarta yang diambil oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles ketika Inggris menguasai Yogyakarta pada tahun 1812.
Bersama rombongan Kompasiana kami diarahkan oleh prajurit untuk masuk terlebih dahulu di ruang pameran sisi Timur dikarenakan sudah ditata secara rapi masing-masing naskah berikut sejarahnya secara berurutan.
Pada bagian pintu masuk dipajang berbagai lambang penobatan raja (ampilan dalem), seperti: Galing (Burung Merak) yang melambangkan kebijaksanaan, Dalang (Kijang) sebagai simbol kepandaian, Sawung (Ayam) sebagai lambang kekuatan, Hardo Waliko (Naga) sebagai wujud  tanggung jawab seorang raja.
Naskah yang ditampilkan dalam pameran tersebut antara lain, Babad Ngayogyakarta, Babad Mataram, Babad Giyanti, serat Pawukon, Serat Kandha Ringgit Tiyang serta teks-teks bedhaya. Sebagaimana ditulis dalam aksara Jawa yang sulit dibaca, masing-masing naskah dilengkapi dengan keterangan nama, tahun dibuat dan inti yang diceritakan dalam naskah tersebut.
Beberapa naskah dan keterangannya dalam pameran ini antara lain Babad Ngayogyakarta Hamengku Buwono I dumugi Hamengku Buwono III menceritakan tentang sejarah Yogyakarta, pembagian kekuasaan Surakarta sesuai perjanjian Giyanti (1755), kilas pemerintahan Hamengku Buwono I (1755-1792) hingga jatuhnya Yogyakarta ke tangan Inggris (1812).