Mohon tunggu...
Edi Subkhan
Edi Subkhan Mohon Tunggu... -

peminat pedagogi kritis (critical pedagogy) dan kajian budaya (cultural studies), S1 di Universitas Negeri Semarang (Unnes) dan S2 di program pascasarjana Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Siapa Berhak Menilai?

2 Januari 2011   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:02 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Rakyat makin dewasa, makin tahu mana yang harus diapresiasi tinggi dan mana yang pantas dihujat.” Kira-kira itulah simpulan yang bagi saya setidaknya cukup menggembirakan dari gagalnya Timnas Indonesia menjuarai Piala AFF 2010 kemarin. Sayangnya grafik naiknya kedewasaan rakyat, utamanya para penggila bola tersebut tidak diikuti oleh kedewasaan pihak-pihak yang selama ini menjadi pemegang kuasa dunia persepak bolaan Indonesia, yakni PSSI, wa bil khusus Nurdin Halid. Padahal bukankah mestinya mereka yang berperan sebagai pemberi teladan, berada di barisan paling depan memberikan pemahaman pada rakyat mengenai mana yang baik mana yang buruk, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Waduh, sungguh ndak habis pikir saya, saya pikir beliau itu ya pernah makan bangku sekolahan, bahkan gedung-gedung kuliah sepertinya juga pernah digerogotinya. Kok ya tidak ngeh terhadap sindiran rakyat, bahkan sesama politisi untuk mundur, bahkan teriakan dan makian rakyat yang jelas-jelas pun tak dihiraukan. Saya husnudzon saja, mungkin saja betul bahwa beliau itu memang tidak paham bahwa dirinya tidak diinginkan untuk tetap duduk sebagai ketua PSSI, yang selama dua periode tidak banyak prestasi bisa ditorehkan. Dan jelas yang dimaksud bukan cuma prestasi menang tanding, melainkan prestasi pembinaan bibit-bibit sepak bola sejak dini. Bisa jadi beliau merasa sebagai penjunjung nilai-nilai demokrasi prosedural, hingga kalaupun mau melengserkan beliau ya harus melalui mekanisme prosedural, yakni lewat Kongres. Barangkali beliau bersikukuh: “Wah, sebenarnya saya juga pengen mengundurkan diri secepatnya, karena rakyat sudah menuntut saya mundur, saya legowo, ingin mencintai sepak bola sebagai rakyat yang cintanya pada sebak bola tulus tanpa tendensi politik dan ekonomi, tapi apa boleh buat ya, saya ini amat sangat patuh pada tata sistem dan aturan main, jadi saya ndak bisa mundur. Saya nggak mungkin menghianati amanat yang telah diberikan pada saya ketika Kongres yang lalu. Dan saya tahu mereka yang menuntut saya itu digerakkan oleh kepentingan politik, saya tahu ada yang bayar mereka. Jadi, saya akan tetap menegakkan tata aturan yang ada di PSSI dan menjalankan amanat sebaik-baiknya, jangan ganggu orang yang lagi khusu' bekerja bagi kemajuan sepak bola negeri ini,” hehe… Itu perkiraan saya saja. Semua orang bisa menerka bahwa ketetapan hati Nurdin Halid untuk tetap menjadi ketua PSSI adalah karena banyak untung yang bisa ditangguk dari banyak perhelatan dan proyek-proyeknya. Indikasinya jelas, tiket tanding kandang Timnas dinaikkan ketika animo rakyat untuk menonton langsung di Gelora Bung Karno membludak. Alasan klise yang disampaikan adalah, “Ini untuk meningkatkan pelayanan bagi penonton, harga tiket yang dibayar sebanding dengan pelayanannya!”  Dan coba lihat, layanan apa yang diberikan selama masyarakat antri tiket berjam-jam lamanya? Saya memang tidak tahu persis bagaimana perhitungan untung-ruginya dari sebuah perhelatan sepak bola, tapi kira-kira memang keuntungan finansial itulah yang diincar, termasuk dengan klaim-klaim politik agar dapat satu dua untung di luar hasil jualan tiket dan proyek-proyek “resmi” tersebut. Sudah pasti di PSSI itu menguntungkan, karena Indonesia ini adalah negeri para penggila bola yang fanatik, gairah supporter Timnas kemarin adalah bukti nyata fanatisme itu. Ada yang rela dua hari tidur di Senayan untuk antri tiket, ada yang rela jual sepeda onthel dan kambing, ada juga yang rela jauh-jauh dari Makasar numpang kapal laut walaupun ia terpaksa mabuk laut, juga sudah pasti tidak ketinggalan para Bonek yang tanpa bekal uang saku memadai berani nekat ke Jakarta walau sudah pasti tahu tidak kebagian tiket. Di sebelah sana, para kapitalis, para pemburu harta, pengumpul pundi-pundi, pialang saham, bandar judi, dan segenap bolo kurowo-nya cara pandangnya sudah pasti tidak sama dengan Anda. Kalau Anda memaknai geliat para supporter tersebut sebagai bentuk satu rasa kebanggaan dan harapan yang sama dan kemudian disebut sebagai “nasionalisme, ” maka mereka, para pemuja harta itu melihat para suporter sebagai deretan dan kumpulan angka-angka rupiah yang sangat menjanjikan. Perhitungannya menggunakan rumus ekonomi liberal-kapitalis, dengan modal sesedikit mungkin harus bisa mendapatkan laba sebanyak-banyaknya. Semoga saya salah, tapi agaknya logis juga ketika kemudian PSSI pimpinan beliau Nurdin tidak rela lahir putaran kompetisi sepak bola lain, selain Liga Super Indonesia (LSI) yang resmi berada di bawah PSSI. Besaran klub bola yang undur diri dari LSI dan join dengan Liga Primer Indonesia (LPI) artinya adalah berkurangnya untung doku yang bisa ditangguk oleh LSI dan PSSI. Makin banyak klub bola yang mundur dari LSI makin merugi dan meranalah mereka, yakni para pihak yang berada dan bermain di dalam tubuh PSSI dan LSI sekadar untuk kepentingan perutnya belaka. Semoga saya salah lagi, tapi untuk urusan yang satu itu memang agaknya demikian jugalah logikanya yang paling rasional. Gerak jurus lanjutannya tentu adalah melakukan intimidasi struktural, yakni mengancam para pemain, official, pelatih dan semua yang terlibat dalam kompetisi bola selain LSI akan dicekal tidak akan bakal main di Timnas. Semua kompetisi di luar yang resmi diselenggarakan oleh PSSI (LSI) adalah ilegal, tidak sah, dan tidak diakui oleh PSSI, dan oleh karenanya semua yang terlibat di dalamnya tidak diakui oleh PSSI. Kalau diterus-teruskan nanti PSSI akan bilang: semua bentuk kompetisi di luar yang resmi diselenggarakan oleh PSSI, seperti LPI, pertandingan sepak bola antar-kampung (Tarkam), pertandingan antar Rt/Rw, pertandingan antar-daerah, pertandingan persahabatan di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, semuanya adalah ilegal, tidak sah dan tidak diakui! Waduh, bisa gawat kalau begitu. Katanya mau menyemarakkan dunia persepak bolaan Indonesia, kok malah jadi main berangus keragaman yang muncul? Katanya mau menyemai dan mencari bibit-bibit unggul pemain bola dari bawah, kok malah mematikan proses dan lokus-lokus munculnya potensi-potensi tersebut? Bagi saya, tiada lain ini adalah bentuk arogansi pusat terhadap pinggiran, arogansi institusi yang dianggap mewakili otoritas “kebenaran” dalam dunia sepak bola terhadap institusi-institusi lain yang dianggap tidak sah dan ilegal. Dan fenomena yang terjadi dalam dunia persepak bolaan Indonesia ini juga terjadi dalam banyak dimensi kehidupan sosio-kultural-politik kita sehari-hari. Betapa banyak institusi sosial, budaya, politik, ekonomi yang ingin menjadi “pusat,” ingn menjadi pemegang otoritas kebenaran yang dipatuhi, bahkan kalau bisa disembah-sembah, dituhankan. Tidak ada kebenaran dan keabsahan di luar institusi pusat tersebut, semuanya salah, semuanya tidak sah, ilegal dan tidak diakui keberadaannya. Di sinilah, tiap hasrat untuk menjadi pusat, menjadi kuat, besar, berkuasa, powerfull, selalu diiringi oleh praktik kesewenang-wenangan, otoritarianisme, dan status quo. Benar kata orang, “power tend to corrupt.” Perasaan sebagai bagian dari institusi pemegang otoritas tunggal tersebut akhirnya membuahkan kultur dan relasi sosial yang tidak setara, sudah pasti mereka yang di luar lingkaran kekuasaan otoritas tersebut menjadi pihak yang ditundukkan, posisinya lebih rendah, inferior, subordinat, kalau bisa hanya sekadar jadi sekrup untuk meneguhkan roda-roda gila kekuasaan saja. Perasaan sebagai pemegang kebenaran itu akhirnya juga menjadi pupuk subur bagi tumbuhnya rasa berhak untuk menilai yang lain sesuai dengan standar si penilai sendiri: bahwa si A adalah baik si B adalah buruk, bahwa yang itu bisa dilanjutkan dan yang lain harus dihentikan, bahwa si A dapat diakui dan si B tidak boleh diakui. Saya dan mungkin sebagian dari kita bisa jadi pernah merasa seperti itu, yakni merasa berilmu lebih banyak, lebih luas, lebih tinggi, lebih dalam, dan kemudian merasa berhak dan memiliki otoritas untuk menilai bahwa si A pintar dan oleh karenanya harus dijadikan teman, si B bodoh dan oleh karenanya harus dijauhi dan dibuang jauh-jauh agar tidak mengganggu laju pembangunan peradaban modern. Kita kemudian meneguhkan “otoritas” tersebut dalam bentuk institusi-institusi sosial, kebudayaan, politik, ekonomi dan agama. Sekolah dan kampus misalnya, adalah kreasi pelembagaan otoritas kebenaran tersebut. Jadi, kalau anak-anak atau adik-adik Anda tidak lulus Ujian Nasional (UN), artinya mereka tidak lulus dalam standar kebenaran yang telah disusun dalam bentuk test oleh institusi yang juga menjadi peneguh dunia persekolahan dan perkampusan, yakni Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Ditjen Mandikdasmen, Ditjen Dikti dan sejenisnya. Anak-anak atau adik-adik Anda tersebut kemudian disebut sebagai bodoh, otak udang, kurang beruntung, dan pada akhirnya tidak akan dapat masuk dalam lingkaran institusi yang berjejaring dan diteguhkan oleh dunia persekolahan dan perkampusan, yakni perusahaan-perusahaan, dunia industri modern, dunia orang kantoran, dunia birokrasi pemerintahan dan lainnya. Lebih-lebih kalau Anda tidak ikut Ujian Nasional atau bahkan tidak bersekolah, maka Anda tidak akan diakui oleh dunia yang dibangun di atas fondasi logika sertifikat, ijazah dan segenap formalitas di atas kertas lainnya. Keberadaan Anda, kompetensi Anda, skill Anda, luas dan kedalaman pengetahuan Anda, nilai-nilai luhur Anda, gagasan besar Anda, ide-ide visioner Anda, tidak akan dianggap absah oleh institusi pusat tersebut. Meneruskan contoh konkrit di atas, Anda tidak akan bakalan diterima mendaftar jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagian administrasi dan akuntansi misalnya, walaupun Anda mahir betul tata administrasi dan sistem akuntansi, walaupun masih ditambah oleh nilai plus akhlak, pribadi, karakter Anda yang jujur, menepati janji, taat pada hukum. Karena yang dibutuhkan oleh birokrasi pemerintahan negeri ini adalah orang-orang lulusan dunia persekolahan dan perkampusan, tidak mengapa skill administrasi dan akuntansinya pas-pasan, asalkan dia punya ijazah dengan IPK tinggi, maka bolehlah diterima jadi PNS. Biarpun dia tidak jujur, bahkan mungkin cenderung bermental penjilat, cari muka, lebih patuh pada atasan ketimbang pada tata aturan hukum, tidak jadi soal. Yang penting prosedurnya benar, sesuai dengan tata aturan dan sistem yang telah dibuat dan dianggap benar oleh otoritas pemegang kebenaran tersebut. Kalau dipikir-pikir, kebebalan itulah yang jadikan birokrasi pemerintah, sekolah, kampus dan semua institusi sosial modern di negeri ini nggak maju-maju, karena sekadar bertumpu pada seremonial sistem dan logika formalitas ijazah. Padahal terang dan jelas, bahwa ijazah, piagam dan sertifikat di atas kertas tersebut tidak akan pernah dapat menjadi penanda kualitas yang sesungguhnya dari seseorang, betapa mudahnya kertas-kertas sertifikat tersebut dimanipulasi, diotak-atik, dirubah-rubah untuk menampilkan citra bagus di mata publik. Dengan demikian, pada hakikatnya sekolah dan kampus punya otoritas untuk menilai dan melabeli seseorang serta menentukan masa depan seseorang menjadi apa. Sekolah dan kampus dengan demikian telah berlaku otoriter, kalau PSSI dengan LSI-nya, maka sekolah dengan Ujian Nasionalnya, kampus dengan ijazah kesarjanaannya. Sebenarnya tidaklah terlalu bermasalah ketika alat otoritasnya tersebut sahih, benar, relevan, adil, dan tepat. Tidak masalah kalau putaran kompetisi LSI dilakukan dengan fair, adil, namun justru sebaliknya, dan hal itulah yang mendorong munculnya LPI sebagai gerakan “tandingan.” Tidak masalah juga kalau seandainya “Ujian Nasional” sekolah-sekolah konsepnya benar dengan dilandasi dasar filosofi yang tepat, praktiknya konsekuen, penuh kejujuran, dan mengedepankan nilai-nilai kebaikan, namun bukankah yang terjadi sebaliknya? Dan inilah “kutukan” yang terbukti nyata, bahwa tiap otoritas yang berhasrat untuk meneguhkan diri sebagai satu-satunya (the only one) kebenaran, niscaya akan menghasilkan alat-alat legitimasi yang bermasalah. Kenapa? Jawaban singkatnya adalah: karena tidak ada institusi pembanding, tidak ada institusi di luar institusi “pusat” tersebut yang berdaya melakukan kritik dan gerakan kontra mainstream. Semuanya diberangus oleh pusat, semuanya dicaplok dan dijadikan sebagai institusi untuk peneguh nilai-nilai, pengetahuan dan ideologi pusat saja. Padahal harusnya institusi-institusi di luar institusi yang merasa menjadi pusat, merasa punya otoritas kebenaran absolut tersebut, tetap dibiarkan untuk tumbuh berkembang menjadi penyeimbang nalar, sikap dan etika. Agar tetap ada cermin untuk refleksi diri, agar tetap ada yang mengingatkan secara tidak langsung atau mengkritik secara langsung kesalahan dan kelemahan yang ada. PSSI bolehlah tetap ada sebagai identitas tanggung jawab negara dalam mengurus olah raga di negeri ini, LSI juga boleh tetap ada, tapi LPI juga harus dijaga keberadaannya, kalau bisa bahkan silakan saja membuat putaran kompetisi-kompetisi sepak bola lain. Agar semuanya saling bisa koreksi diri, agar tidak ada yang posisinya menjadi pusat dan kemudian otoriter dan sewenang-wenang. Dalam pendidikan, bolehlah Kemdiknas tetap ada, bolehlah sekolah tetap ada sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam “mencerdaskan kehidupan bangsanya” melalui jalur formal, namun hendaknya jangan ada Ujian Nasional, kalaupun ada ujian ya jangan satu macam saja. Para praktisi, intelektual, pemikir dan ilmuwan pendidikan boleh saja dan bahkan menurut saya harus membuat konsep dan alat-alat evaluasi lainnya, yang dirasa lebih baik, lebih adil, menghormati keunikan siswa, menghargai bakat, minat, dan kemampuan masing-masing individu. Jadi, tiap sekolah, tiap siswa, boleh memilih bermacam-macam jenis evaluasi untuk mengetahui kemampuan dirinya dalam bidang tertentu, tidak ada paksaan harus ikut Ujian Nasional, boleh ikut jenis ujian lainnya. Kalau ingin mengetahui kemampuan berbahasa Indonesia, bisa dibuat alat evaluasi yang relevan, misalnya dengan menilai olah kata lisan dan tulisan siswa, kekayaan kosakata, kepiawaian memilih diksi yang tepat dan sejenisnya. Kalau ingin tahu kemampuan olah raga, ya dibuat alat evaluasi yang dapat melihat kemampuan olah raga siswa, bisa jadi dibuat lebih spesifik, apakah pada sepak bola, basket, lari, bola volley, renang, kasti atau yang lainnya. Hasil penilaiannya dibuat dalam bentuk deskripsi yang mengungkapkan kemampuan siswa tersebut, kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik apa yang sudah dicapai. Hasil evaluasi/penilaian inilah yang jadi bahan pertimbangkan untuk meningkatkan kemampuan atau bisa jadi bahan pertimbangan untuk keperluan lain, misalnya pertimbangan masuk kuliah dan pengembangan bakat minat siswa. Guru saya, Pak Darmaningtyas mencontohkannya seperti ujian a la TOEFL. Jadi kalau ingin mengetahui kemampuan bahasa Inggris seseorang ya gunakan alat ujian yang relevan, yakni TOEFL. Selain TOEFL juga ada IELTS dan lainnya. Nah, institusi yang memerlukan seseorang dengan kemampuan bahasa Inggris tinggal melihat hasil penilaian TOEFL atau IELTS. Begitu juga mestinya ujian untuk siswa-siswa di sekolah-sekolah formal kita. Karena kemampuan, bakat dan minat siswa sudah tentu berbeda satu sama lain, kalau siswa bakat di sepak bola ya tidak usah dipaksa mengikuti ujian matematika, fisika dan kimia misalnya, lebih baik dia mengikuti ujian sepak bola saja, demikian juga sebaliknya. Jadi tidak ada paksaan. Siswa tidak dipaksa untuk dinilai oleh sebuah standar nilai tertentu yang bisa jadi amat merugikannya, karena tidak sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan kemauannya. Inilah bentuk pluralitas penilaian, bahwa tidak hanya satu institusi saja yang berhak untuk menilai seseorang, banyak institusi dan orang yang berhak untuk memberikan penilaian. Ketika semuanya diberikan peluang untuk berdiri sejajar, setara, tidak saling sikut, tidak sok menjadi yang paling benar, maka ini adalah upaya untuk betul-betul menjadikan siswa, guru, sekolah sebagai subjek yang dihargai dan berkuasa, ini juga upaya untuk tetap memanusiakan manusia, menghargai manusia, menghargai institusi lain di luar Kemdiknas, di luar persekolahan resmi. Lalu mengapa Kemdiknas tetap ngotot mempertahankan Ujian Nasional yang otoriter dan kontraproduktif dengan tujuan pendidikan yang memanusiakan manusia tersebut? Bukankah di Kemdiknas mestinya adalah gudangnya pada intelektual yang paham betul ilmu pendidikan? Iya, bisa jadi begitu, dan semoga memang begitu, tapi fakta kengototan pelaksanaan Ujian Nasional mengharuskan saya berpikir lain. Bahwa mungkin saja memang di Kemdiknas banyak orang tahu betul ilmu pendidikan, tapi yang patut dipertanyakan adalah: apakah mereka memahami posisi dan disposisi pusat dan non-pusat tersebut? Kalaupun tahu, bisa jadi sebagaimana di dalam PSSI, mereka sedang ditutup mata, hati dan pikiran dari fakta dan nilai-nilai kebenaran. Bisa jadi mereka sedang terjebak pada perhitungan untung-untungan ekonomis di balik proyek Ujian Nasional, atau terjerat pada cara pandang bahwa tidak ada cara lain untuk mengevaluasi proses pembelajaran selain dengan Ujian Nasional, bahwa cara tersebut sudah pasti benar, hingga muncul argumen menggelikan dari oknum birokrat beberapa waktu lalu, “Kalau tidak ditest, lalu siswa belajar untuk apa?” Waduh!? Semoga beliau yang bilang begitu sadar bahwa ia sedang khilaf, dan esok paginya segera meralat kata-katanya itu. Mungkin sama juga di PSSI, sudah tentu mereka tahu benar nilai demokrasi, tahu betul hakikat olah raga, sepak bola, hanya saja sedang khilaf dan tidak sadarkan diri—tapi kok waktunya lama betul. Oleh karena itu, mari kita sama-sama berdoa dan berupaya agar mereka segera sadar diri, tahu diri, untuk memberikan ruang gerak bagi entitas dan institusi di luar mereka berkembang. Yang harus dipahami adalah: evaluasi dan ujian model Ujian Nasional hanyalah satu dari banyak konsep dan strategi yang bisa dilakukan untuk menilai kemampuan seorang siswa, LSI hanya satu putaran kompetisi di antara banyak kompetisi sepak bola yang bisa diselenggarakan secara bebas. Tiada lain kritik harus terus dilakukan untuk membuka mata dan hati mereka, bahwa arogansi dan sikap otoriter Ujian Nasional sangatlah kontraproduktif dengan hakikat pendidikan yang bertujuan untuk mengolah dan mengeksplorasi potensi diri anak-anak kita. Lalu kalau tidak ada Ujian Nasional, kualitas pendidikan tidak akan meningkat dong? Ah, kata siapa! Tidak ada praktik pendidikan yang tidak berupaya untuk terus meningkatkan kualitas dirinya, jadi tidak usah khawatir, tanpa adanya Ujian Nasional yang dianggap sebagai ukuran standar nasional, pada dasarnya praktik pendidikan di banyak tempat akan tetap berupaya meningkatkan kualitasnya. Lagian, selain banyak imbas negatif dari Ujian Nasional, ternyata ia pun sekadar alat ukur saja. Alat ukur ibarat penggaris yang digunakan untuk mengukur tinggi badan siswa, tapi ya cukup itu saja fungsinya, penggaris itu tidak dapat meninggikan badan siswa itu, dan hanya makanan bergizi dan olah raga yang teraturlah yang dapat meninggikan badan anak itu. Ujian Nasional dan berbagai jenis test pun sama saja, tidak akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas siswa, ia hanya sebagai alat test, alat evaluasi untuk mengetahui kemampuan seorang siswa saja. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kualitas siswa hanya dapat dilakukan melalui perbaikan fasilitas, peningkatan kualitas guru, dan sejenisnya. Dalam ilmu bela diri, yang penting bukan menang tarung atau sabung, melainkan bagaimana mengoptimalkan kemampuan tubuh (batin, mental, raga), kalau hanya untuk menang, maka dengan pistol pun bisa menang dengan mudah. Dalam permainan sepak bola juga demikian, ada jogo bonito atau sepak bola indah yang dilawankan dengan sepak bola untuk asal menang, yang terpenting bagi jogo bonito bukanlah menang, melainkan bermain indah, cantik, tapi tetap total, maksimal, agar penonton terhibur, bergembira dan bersuka ria bersama, menang-kalah itu soal kesekian. Dalam pendidikan, yang lebih penting adalah proses optimalisasi dan eksplorasi potensi diri siswa sesuai dengan keunikan masing-masing, bukan untuk lulus test atau ujian, karena kalau hanya untuk itu nyontek pun bisa. Coba kita kalkulasi serius, ketika kita lulus Ujian Nasional, pengetahuan dan keterampilan apa dari soal-soal Ujian Nasional itu yang dapat kita gunakan untuk kehidupan keseharian kita. Jangan bilang bahwa suatu saat nanti pasti akan berguna, pokoknya akan berguna, yang namanya ilmu pasti akan berguna,kalau tidak sekarang ya nanti, entah kapan, hehe... Argumen itu tiada lain hanyalah nilai-nilai taqlid dan kultur kekolotan yang hidup dalam utopia ilusif tanpa bersedia melihat realitas, bahwa soal-soal ujian tersebut tidak berguna sama sekali. Berapa duit kita keluarkan untuk try out, les privat, istighosah minta kelulusan 100 persen, dan lainnya. Sayangnya entah kenapa, kita sampai sekarang merasa bahwa yang formalitas itu lebih penting ketimbang yang inti, kenapa kita tetap memakan kulit dan malah membuang isinya, kenapa kita tetap menganggap angka-angka itu bisa mewakili kualitas diri dan kemampuan seseorang, kenapa kita tetap percaya bahwa hanya ada satu otoritas yang layak menilai, melabeli dan menentukan masa depan hidup seseorang, kenapa kita tidak percaya bahwa tiap institusi dan orang berhak untuk menilai, dan kenapa kita tidak berani bergerak mewujudkannya, memberikan ruang gerak bagi tumbuhnya keberanian untuk juga bersuara, memberikan evaluasi dan kritik… Selamat tahoen baroe soebat, semoga berkah di tahoen depan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun