Indonesia kontemporer, pasca-reformasi politik tahun 1998, diwarnai oleh gambaran fenomena karut-marut politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan bahkan agama. Harapan tentu ada, yakni dibukanya pintu demokratisasi sebagai peluang membangun kedaulatan rakyat dan kesejahteraan sosial. Hanya saja tampak bahwa gerak laju reformasi dalam segala bidang tersebut dibebani oleh trauma mendalam terhadap segala sesuatu yang berbau Orde Baru, termasuk terhadap Pancasila yang ketika di bawah kekuasaan pemerintah Orde Baru dijadikan sebagai alat legitimasi pelanggengang kekuasaan (status quo). Dalam gegap gempita demokrasi liberal dan desakan globalisasi itulah berkehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat terlihat koyak oleh praktik-praktik nilai-nilai dasar, ideologi dan budaya yang justru mengancam keberadaan dan keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.
Pertama, yang paling mencuat adalah korupsi. Pemberitaan kasus korupsi yang dilakukan oleh para oknum birokrasi pemerintahan hampir tiap hari menghiasai media massa nasional dan daerah. Bukan hanya dilakukan oleh para konglomerat kelas kakap atau politisi tua, kasus korupsi Wisma Atlet yang melibatkan politisi muda, Nazaruddin, menunjukkan bahwa korupsi juga dilakukan oleh kaum muda. Korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintah dan perusahaan kelas atas seperti kasus Century dan sebelumnya dana talangan BLBI, bahkan di banyak daerah juga terjadi korupsi, termasuk korupsi “kecil-kecilan” bahan bangunan proyek pembangunan gedung Sekolah Dasar (SD) misalnya. Korupsi juga bukan didominasi terjadi di institusi-institusi yang memang dikenal banyak terdapat kepentingan pribadi dan golongan bercokol, di parlemen misalnya, tapi juga merambah kementerian yang mestinya mengurus nilai-nilai kebaikan, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahkan di sekolah pun terjadi korupsi.
Kedua adalah munculnya teror, intimidasi dan kekerasan di masyarakat, baik atas nama kelompok agama tertentu, atau yang dipicu oleh rasa sentimen kesukuan, etnis, golongan, daerah, kelas sosial, dan lainnya. Retak-retak persatuan yang mewujud dalam kebencian antar-suku, etnis, agama, kelas sosial, daerah sejatinya jauh dimulai pada masa Orde Baru, namun baru meletus ke permukaan ketika peristiwa penjarahan dalam kerusuhan Mei 1998. Di sinilah salah satu risiko yang harus ditanggung ketika pintu demokrasi dibuka selebar-lebarnya adalah munculnya gerakan yang justru kontra-demokrasi, terutama mewujud dalam bentuk teror atas nama agama, terlebih pasca-peristiwa 9/11 World Trade Center (WTC). Tidak hanya itu, teror, intimidasi dan kekerasan tersebut juga pasti mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena telah membangun prasangka negatif terhadap satu kelompok tertentu. Paling ekstrem adalah teror dalam bentuk bom bunuh diri, ancaman bom, intimidasi terhadap aktivitas keagamaan dan budaya tertentu, diskriminasi terhadap minoritas etnis atau agama dan lainnya.
Ketiga adalah persoalan keadilan yang dirasa belum terpenuhi, sebaliknya ketidakadilan justru banyak mencuat dalam praktik-praktik ekonomi politik dan hukum di masyarakat dan lingkaran kekuasaan. Ketidakadilan ekonomi muncul melalui pemihakan pemerintah pada korporasi ketimbang terhadap ekonomi rakyat, bentuknya adalah menjamurnya mall, minimarket dan waralaba dari luar negeri di banyak daerah. Sementara pedagang kaki lima dan rakyat jelata yang hidup di pinggiran-pinggiran kota justru digusur dan tidak banyak dipikirkan bagaimana memberdayakan dan melayani kebutuhan mereka. Mafia hukum yang terjadi dalam praktik peradilan pun makin menambah ketidakpercayaan masyarakat banyak kepada para penegak hukum, yakni ketika para koruptor kelas kakap justru hukumannnya tidak seberapa berat dan bahkan mendapat remisi, berbeda dengan maling ayam kelas kampung. Selain itu banyak kasus korupsi pun akhirnya tenggelam dan hilang entah ke mana tidak jelas kasusnya.
Keempat adalah problem yang menimpa anak-anak remaja dan muda usia sekolah, yakni tentang lunturnya etika dan sopan santun serta pergeseran pandangan hidup dan budaya mereka di sekolah dan pergaulan sehari-hari. Kasus yang mencuat antara lain adalah tawuran masal, narkoba, bullying, sampai pada pergaulan bebas dan prostitusi yang dilakukan remaja dan pemuda usia SMP sampai perguruan tinggi, terutama di kota-kota besar. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat mereka itulah yang nantinya diharapkan dapat berperan besar dalam membangun masyarakat. Fenomena tersebut lambat laun akan membentuk fondasi kultur masyarakat yang rapuh, labil, dan tentu membahayakan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang membutuhkan ikatan identitas nilai dan budaya yang kuat. Selain keempat fenomena utama tersebut di depan, tentu masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang sangat berpotensi menjadi pemicu disintegrasi bangsa dan menghianati amanat berdirinya negara Indonesia sebagai jalan untuk membangun masyarakat dan bangsa yang berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Dari keempat fenomena yang dikemukakan secara singkat tersebut, hampir semua pihak menagih dan meminta pertanggung jawaban dunia pendidikan. Logikanya sederhana, praktik korupsi dilakukan oleh mereka yang pernah mengenyam pendidikan, dalam hal ini yang dimaksud tiada lain adalah pendidikan formal atau persekolahan (schooling). Demikian juga dengan para pelaku tindak kekerasan, intimidasi, dan teror di masyarakat. Para pejabat pemerintah yang bertugas merumuskan kebijakan dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan juga sudah pasti lulusan pendidikan formal; para penegak hukum, jaksa, pengacara dan hakim juga lulusan dunia pendidikan (perguruan tinggi). Paling ironis tentu adalah tindak kekerasan dan asusila yang dilakukan oleh para remaja usia sekolah, karena bagaimana bisa anak-anak usia sekolah yang masih berada dalam tanggung jawab sekolah ternyata melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai, budaya dan pengetahuan yang diajarkan di sekolah?
Di sinilah dunia pendidikan ditunjuk sebagai akar penyebab utama dengan mempertanyakan: bagaimana bisa sekolah dan kampus menghasilkan lulusan yang bermental korup? Apa yang diajarkan di sekolah? Tidak adakah pembelajaran nilai dan budaya anti-korupsi di sekolah? Apakah di sekolah tidak diberikan materi tentang realitas nilai dan budaya di masyarakat Indonesia yang majemuk (plural) yang mesti dihadapi dengan penerimaan, toleransi dan keadilan. Apakah guru dan pihak sekolah terlalu sibuk mengejar prestasi dan label internasional hingga terlupa untuk mewaspadai pemikiran, pandangan dan sikap hidup yang masuk secara masif di lingkungan sekolah? Dengan fenomena-fenomena tersebut, dunia pendidikan dituntut untuk membangun praksis pendidikan yang dapat membekali anak didiknya dengan nilai-nilai dan budaya anti-korupsi, anti-kekerasan, toleransi, keadilan, etika, moralitas, demokrasi dan lainnya. Asumsinya, dengan bekal itulah maka akan tercipta sikap hidup dan budaya masyarakat yang anti-korupsi, damai, toleran, adil, dan bermoral.
Namun bukankah selama ini di sekolah-sekolah juga sudah memberikan materi tentang nilai-nilai anti-korupsi, toleransi, saling menghormati, kekeluargaan, keadilan, kemanusiaan, etika, sopan santun dan lainnya? Bukankah bahkan mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai perguruan tinggi terdapat materi pelajaran Agama, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn)? Bahkan beberapa program khusus digagas untuk mengatasi masalah serius tersebut, di antaranya adalah program yang dikawal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan juga Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), muncullah program-program reaksioner untuk mencegah praktik korupsi di sekolah dan kampus, antara lain adalah adanya Warung Kejujuran dan bahkan di beberapa kampus terdapat matakuliah anti-korupsi. Dengan berbagai materi pelajaran yang sudah cukup banyak tersebut patut dipertanyakan, mengapai sampai sekarang tindak korupsi, amoral, kekerasan, intimidasi, ketidakadilan dan lainnya masih saja terjadi?
Adakah yang salah di sekolah? Apakah materi pelajarannya terlalu ringan atau terlalu berat; terlalu teoretis atau terlalu teknis, hingga menjadikan praksis pembelajaran dirasa tidak ada manfaatnya dan tidak bermakna oleh para siswa? Apakah metode pembelajarannya bermasalah, tidak tepat, atau membosankan, hingga menjadikan praksis pembelajaran tidak menarik? Apakah media pembelajarannya kurang menarik, konvensional, hingga tidak mampu membantu mengoptimalkan proses belajar? Jawaban dari asumsi-asumsi pertanyaan tersebut dapat kita lihat sekilas dari praksis pembelajaran pada matapelajaran Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah-sekolah pada umumnya.
Pertama, praksis pembelajaran pendidikan agama di banyak sekolah tidak jauh-jauh dari aktivitas menghafal dan memahami materi secara tekstual saja. Kurikulum pendidikan agama di sekolah-sekolah juga lebih banyak ditekankan pada pemahaman konseptual saja, termasuk tidak banyak yang dikaitkan dengan konteks sosio-kultural di masyarakat riil. Beberapa nilai-nilai agama yang dibelajarkan melalui praktik nyata di masyarakat juga terlihat lebih banyak yang merupakan ritual-ritual agama saja, belum yang betul-betul menyentuh realitas persoalan nilai-nilai dan budaya di masyarakat, sehingga ranah “kebergunaannya” tidak bisa banyak diidentifikasi. Di sisi lain, dalam banyak hal ketika hampir semua anak-anak sebenarnya telah mendapatkan pendidikan agama di keluarga dan masyarakat tempat ia tinggal, maka posisi pendidikan agama di sekolah dapat dikatakan sekadar sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan yang terdapat di kurikulum saja. Metode pembelajarannya yang monoton menjadikan banyak siswa mengikutinya lebih karena merasa sebagai formalitas dan kewajiban pemeluk agama tertentu saja, bukan karena ketertarikan pada materi dan praktik pembelajarannya.
Kedua, praksis pembelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan juga relatif monoton, tidak banyak beranjak dari sekadar memahami materi yang diambil dari buku teks pelajaran saja. Materi tentang nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila justru lebih dibahas secara tekstual yang lepas dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat riil. Sementara itu pengetahuan dan nilai-niai kewarganegaraan yang diberikan justru terlihat sangat tidak relevan dengan tingkat perkembangan dan konteks pergaulan anak didik—terutama pada kurikulum jenjang Sekolah Dasar (SD). Matapelajaran Pancasila dan kewarganegaraan pun banyak dipandang sebelah mata, karena dianggap materinya mudah dipelajari dan juga karena tidak diikutkan dalam Ujian Nasional (UN)—untuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Metode pembelajarannya yang monoton dan tidak banyak kreativitas serta inovasi, menjadikan tidak banyak siswa tertarik, sedangkan materinya yang tidak kontekstual membuat siswa sulit memahami kebergunaan mempelajari Pancasila dan kewarganegaraan.
Selain matapelajaran agama dan kewarganegaraan tersebut, tentu pengetahuan, nilai-nilai, budaya dan ideologi anti-korupsi, anti-kekerasan, toleransi, keadilan, kebersamaan dan lainnya juga terdapat pada matapelajaran lain. Hanya saja pada kedua matapelajaran itulah nilai-nilai tersebut secara eksplisit tertulis dan dijadikan materi atau pokok bahasan yang harus dipelajari siswa di sekolah. Secara teoretik, fakta praksis pembelajaran agama, Pancasila dan kewarganegaraan tersebut sekadar mengasah ranah kognitif saja, belum sampai mengasah ranah afektif. Padahal sebenarnya pada ranah afektif itulah nilai-nilai, budaya dan ideologi anti-korupsi, anti-kekerasan, toleransi, keadilan dan lainnya dapat dipelajari secara optimal. Tidak sekadar dipelajari sebagai pengetahuan, melainkan dipelajari sebagai betul-betul nilai-nilai, budaya dan ideologi yang hidup dan dipraktikkan secara nyata.
Lebih jauh lagi, sampai sekarang pendidikan dan matapelajaran Pancasila seakan masih dianggap sebagai alat untuk mendukung pemerintah berkuasa, bukan untuk memberdayakan dan membangun kedaulatan rakyat. Asumsi tersebut muncul akibat dari perlakuan penguasa selama Orde Baru yang menjadikan Pancasila sebagai alat legitimasi dan pelanggengan kekuasaan (status quo). Hal itu jugalah yang bisa jadi menjadi salah satu penyebab hilangnya penamaan Pancasila dalam pendidikan nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila di sekolah, sekarang di sekolah disebut sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sebelumnya secara jelas disebut Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Sebab lain bisa jadi juga karena Pancasila dimaknai sebagai nilai-nilai, budaya dan ideologi yang hidup di masyarakat, termasuk juga di sekolah dan semua matapelajaran, dan oleh karenanya tidak perlu disebut secara spesifik satu matapelajaran Pancasila di sekolah.
Selain itu, kalau pendidikan Pancasila ditujukan untuk membangun karakter manusia yang cakap, susila, beretika, bermoral, maka beberapa pihak menyatakan bahwa pendidikan agama justru akar sosial dan emosionalnya lebih kuat ketimbang pelajaran Pancasila dalam membelajarkan tentang etika, moralitas dan lainnya. Namun, berangkat dari argumentasi tersebut, kita juga dapat berkaca dari realitas masalah yang telah disebutkan di depan, bahwa agama dalam beberapa kasus ditafsirkan dan dijadikan sebagai payung legitimasi bagi praktik kekerasan, teror dan intimidasi. Oleh karena itu, satu nilai-nilai dasar ideologis yang dapat menjadi acuan dalam memberantas praktik korupsi, kekerasan dan menegakkan keadilan sosial di Indonesia adalah Pancasila. Ia tidak sekadar ditujukan untuk membentuk manusia Indonesia yang beretika, bermoral, humanis, dan religius, melainkan juga menjadi fondasi bagi bangunan membangun masyarakat dan bangsa yang berdaulat, adil dan makmur.
Sejarah lahirnya Pancasila dan perjalanannya sampai sekarang—terlepas dari ia digunakan sebagai alat legitimasi rezim berkuasa pada masa Orde Lama dan Orde Baru—telah membuktikan dirinya sebagai tali pengikat keutuhan dan persatuan bangsa, serta fondasi dalam membangun masyarakat adil makmur dan demokratis. Hanya saja karena trauma terhadap kekuatan represif Orde Baru yang menggunakan Pancasila versi rezim penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya, maka sekarang Pancasila tidak banyak lagi diacu sebagai solusi dalam mengatasi masalah yang terjadi di masyarakat. Masyarakat yang terombang-ambing dalam globalisasi pun kemudian banyak mengambil secara serampangan nilai-nilai, budaya dan ideologi yang sebenarnya justru bertentangan dengan Pancasila dan menjadi salah satu akar dari munculnya praktik korupsi, kekerasan dan ketidakadilan sosial. Di titik inilah, tiada kata lain dalam upaya untuk membangun tatanan sosial dan budaya masyarakat yang bersih dari korupsi, kekerasan, intimidasi, ketidakadilan dan sejenisnya kecuali kembali pada Pancasila.
Dari perspektif lain sebenarnya fenomena ketidakadilan, kekerasan, korupsi dan lainnya tersebut memang tidak dapat dipandang sepenuhnya sebagai kesalahan dunia pendidikan saja. Pada kasus korupsi misalnya, menunjukkan bahwa soal sistem dan kultur birokrasi sangat berpengaruh dalam mendorong atau bahkan menjebak seseorang untuk terlibat dalam praktik korupsi. Bentuk riilnya adalah desain sistem yang permisif terhadap perilaku korupsi. Kekerasan, teror dan intimidasi yang terjadi di masyarakat juga menunjukkan bahwa faktor lingkungan pergaulan di masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku dan sikap yang pro-kekerasan tersebut. Hal yang sama juga dapat dilihat dalam masalah keadilan, terlihat jelas bahwa negara dan korporasi perannya sangat besar dalam melahirkan bentuk-bentuk ketidakadilan secara sistematis. Walaupun begitu bukan berarti dunia pendidikan tidak dapat berperan dalam mengatasi fenomena tersebut, hanya saja perannya memang tidak secara langsung, melainkan melalui jalur mendidik anak-anak bangsa dan membangun praksis pendidikan yang ditujukan untuk transformasi sosial.
Dengan mendidik anak-anak bangsa melalui sistem persekolahan (pendidikan formal) maupun non-persekolahan, maka sejak dini seorang anak dapat dibangun pemahamannya mengenai nilai-nilai dasar ideologis: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Selain itu, dengan arah dan desain pendidikan yang ditujukan untuk transformasi sosial tentu diharapkan dapat secara langsung turut berperan dalam membangun tatanan sosial masyarakat yang lebih baik, yakni melalui konsep sekolah sebagai pusat kebudayaan dan perubahan sosial.
Berangkat dari asumsi dasar tersebut, maka adalah penting untuk merevitalisasi pendidikan Pancasila sebagai upaya fundamental dalam membangun dan membelajarkan nilai-nilai dasar ideologis Pancasila pada anak-anak didik di sekolah. Pertanyaannya adalah: bagaimanakah mestinya Pancasila dipandang dan dimaknai dalam konteks Indonesia sekarang ini? Bagaimanakah pendekatan metodologis yang tepat dalam membelajarkan nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila? Pertanyaan tersebut harus diajukan mengingat tentu kita tidak ingin mengulang kembali praksis pembelajaran pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan selama ini yang relatif monoton, tekstual, dan tidak banyak berkaitan dengan realitas kehidupan yang dihadapi oleh para siswa dalam kesehariannya. Sebagaimana diungkap sedikit di depan, problem pendidikan Pancasila tidak semata-mata sekadar masalah metode pembelajaran yang tidak menarik dan justru membosankan, melainkan juga mengenai perspektif paradigmatik dalam memandang dan memaknai Pancasila dan praksis pendidikan.
Pertama, Pancasila harus dilihat ulang tidak sebagai alat pemerintah untuk melanggengkan status quo, melainkan untuk membangun kedaulatan rakyat dan mewujudkan keadilan sosial. Kedua, pendidikan tidak dilihat sebagai proses transfer pengetahuan, nilai-nilai dan budaya dominan, melainkan dipahami sebagai proses transformasi sosial. Ketiga, praksis pembelajarannya tidak sekadar mengetahui dan menguasai materi saja, tapi harus sampai pada melakukan atau mempraktikkan pengetahuan, nilai-nilai, budaya dan ideologi tersebut.
Ketiga ideal konsep dan praksis pendidikan Pancasila tersebut jelas merupakan kebalikan dari konsep dan praksis pendidikan Pancasila sebelumnya. Dengan demikian Pancasila tidak menjadi alat pelanggengan status quo penguasa, melainkan menjadi batu pijakan dan daya dorong mewujudkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial; Pancasila bukan milik penguasa, melainkan milik semua rakyat Indonesia. Di sisi lain pendidikan untuk transformasi sosial adalah keniscayaan, tanpa transformasi sosial maka fenomena dan praktik korupsi, kekerasan, teror, intimidasi, ketidakadilan dan sejenisnya akan dibiarkan begitu saja. Pendidikan yang dimaknai sebagai proses transfer pengetahuan saja relatif tidak punya daya dobrak dalam mempertanyakan tata nilai dominan yang seringkali tidak adil, eksploitatif, dan diskriminatif. Terlebih ketika praksis pembelajaran hanya untuk sekadar tahu dan menguasai materi saja, maka hasilnya hanyalah robot-robot yang tidak mungkin menjadi subjek utama pelaku perubahan sosial.
Satu gagasan dan perspektif paradigmatik pendidikan yang dapat menjadi dasar ideologis bagi praksis pendidikan ideal sebagaimana dikemukakan di depan adalah pedagogi kritis (critical pedagogy) atau yang juga banyak disebut sebagai gagasan dan praksis pendidikan pembebasan atau pendidikan emansipatoris. Mengapa pedagogi kritis? Tiadakah konsep pendidikan lain yang memiliki garis besar perspektif paradigmatik dan tujuan ideologisnya untuk transformasi sosial dengan memihak pada upaya perwujudan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial? Jika kita telaah lebih jauh dalam perkembangan sejarah gagasan dan gerakan pendidikan, tiada lain memang perspektif paradigmatik dan praksis pedagogi kritislah yang tepat dan kokoh sebagai dasar ideologis dari upaya untuk melakukan revitalisasi pendidikan Pancasila di Indonesia sekarang ini.
Gagasan dasar dan praksis pedagogi kritis dapat kita telusuri mulai dari pemikiran dan perjuangan Paulo Freire, Ivan Illich, Everet Rheimer, yang dilanjutkan oleh Henry Giroux, Michael Apple, Peter McLaren, Joe Kincheloe, dan kawan-kawannya. Di Indonesia kita juga dapat menelusurinya pada gagasan dan gerakan pendidikan Tan Malaka dengan Sekolah Rakyatnya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa, Y.B. Mangunwijaya dengan SD Eksperimennya, selain itu juga terdapat Mansour Fakih dan kawan-kawan yang membangun gerakan pendidikan partisipatoris dan emansipatoris dalam memberdayakan rakyat, serta H.A.R. Tilaar yang membawa diskursus pedagogi kritis dalam lingkaran akademik di kampus melalui karya-karyanya. Selain itu kita juga dapat melihatnya pada gerakan pendidikan alternatif yang dibangun oleh para aktivis dengan mengambil inspirasi dari Paulo Freire dan kawan-kawan.
Garis besar dari perspektif paradigmatik pedagogi kritis adalah: selalu kritis dalam melihat relasi pengetahuan dan kekuasaan; melihat bahwa pendidikan tidaklah netral dan sangat politis sebagai arena kontestasi dan negosiasi pengetahuan; bahwa problem sosial kemanusiaan seperti ketidakadilan, kemiskinan, eksploitasi, diskriminasi adalah problem struktural (sistem); mengarahkan praksis pendidikan untuk transformasi sosial mewujudkan keadilan, demokrasi, kedaulatan rakyat, nasionalisme, humanisme dan lainnya. Secara lebih lengkap konsepsi dasar pedagogi kritis akan diurai pada bagian tersendiri di modul ini, namun berkaitan dengan upaya revitalisasi pendidikan Pancasila dengan menggunakan perspektif pedagogi kritis yang diajukan di sini, di sini akan dicoba urai sedikit mengenai bentuk elaborasinya.
Pertama, pendidikan Pancasila dapat dipahami dalam beberapa bentuk, yakni sebagai satu matapelajaran tersendiri sebagaimana yang ada sekarang dengan nama Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)—tanpa secara eksplisit ditambahkan kata Pancasila di situ; selain itu dipahami sebagai pengetahuan dan nilai-nilai yang dalam bentuk materi yang dapat dipelajari secara integratif lintas-matapelajaran; dan juga dipahami sebagai nilai-nilai ideologis yang beroperasi di kelas, sekolah dan bahkan masyarakat (hidden curriculum). Dengan mendasarkan pada perkembangan intelektual dan identitas sosio-kultural anak didik, maka fokus pembelajaran pendidikan Pancasila pada jenjang Sekolah Dasar (SD) pada nilai-nilai dasar dan budaya Pancasila, baru mulai dikenalkan dengan konsep Kewarganegaraan (civic) adalah pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan di tingkat Perguruan Tinggi (PT) sudah saatnya untuk mengkaji Pancasila secara lebih mendalam dengan analisis filosofi dan ideologinya.
Kedua, salah satu bentuk pendekatan pembelajaran dalam pedagogi kritis yang diajukan sebagai metodologi pembelajaran dan sekaligus cara pandang kritis terhadap pendidikan Pancasila adalah dengan literasi kritis (critical literacy). Penjelasan lebih rinci tentang literasi kritis terdapat dalam bahasan tersendiri di modul ini, namun sekilas di sini dapat kita kemukakan beberapa konsep dasarnya. Pada dasarnya literasi kritis adalah strategi menggunakan teks sebagai materi pembelajaran dengan melihatnya secara kritis, teks yang dimaksud tidaklah terbatas pada teks tertulis saja, melainkan juga media lain yang dapat dipahami dan dibaca sebagai teks. Dengan demikian tidak terbatas pada buku teks, teks berita di media massa, cerita pendek,novel dan sejenisnya, melainkan juga lagu plus klipnya, film, gambar, foto dan sejenisnya.
Ketika teks tersebut dibaca secara kritis maka harus dikaitkan dengan realitas sosio-kultural dan politik yang terjadi di sekitar teks yang dibahas tersebut. Caranya adalah dengan mempertanyakan substansi teks tersebut apa; nilai-nilai, budaya, pengetahuan dan ideologi apa yang dikandung oleh teks tersebut; kemudian refleksi teks tersebut dengan konteks sosio-kultural riil yang terjadi dalam kehidupan siswa dan masyarakat.Bacaan kritis terhadap teks tersebut diarahkan untuk membuka selubung ideologis, kepentingan politis, dan praktik-praktik ketidakadilan, diskrimininasi, eksploitasi, represi dan lainnya di masyarakat—melalui teks. Lebih jauh lagi, literasi kritis tidak cukup dengan pembacaan kritis dan refleksi kritis saja, melainkan sampai pada pengambilan sikap atau aksi yang riil.
Ketiga, upaya untuk membangun mentalitas dan sikap anti-korupsi, cinta damai, toleransi, adil, rendah hati, sopan dan lainnya melalui pendidikan Pancasila tidak dapat dicapai ketika praksis pembelajarannya hanya ditujukan untuk sekadar memahami dan menguasai materi pelajaran saja. Oleh karena itu harus tujuannya adalah untuk dapat merubah paradigma berpikir dan sikap hidup, hingga diharapkan dapat menjadi bagian dari proses transformasi sosial masyarakat ke arah yang lebih baik. Ranah pengambilan sikap atau aksi (action) dalam istilah pedagogi kritis inilah yang kurang dituju dan dicapai dari desain konsep pendidikan nilai pada umumnya. Aksi di sini tidak harus dipahami sebagai melakukan gerakan sosial di masyarakat, namun minimal adalah: mengambil sikap yang tegas dan tepat sejak dalam pikiran untuk memperjuangkan keadilan, membangun demokrasi kerakyatan, melawan praktik korupsi dan lainnya. Dengan demikian, Pancasila tidak semata-mata hanya dipahami sebagai sebuah matapelajaran yang harus dikuasai dan dinilai dari hasil tes tertulis, melainkan harus dipahami sebagai nilai-nilai dasar ideologis dan budaya yang hidup.
Keempat, pendekatan metodologis yang digunakan dalam pedagogi kritis terutama adalah dengan dialog, pelibatan sosial dan hadap-masalah (problem-posing). Ketiga pendekatan pembelajaran tersebut sangat sentral sebagai upaya untuk membangun kesadaran kritis (critical consciousness) dari anak didik dan masyarakat secara luas. Dialog digunakan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa posisi antara guru dan anak didik adalah setara, pengetahuan dan pendapat anak didik didengar, diapresiasi dan bahkan menjadi titik tolok dari bahan pembelajaran. Dialog adalah pintu bagi pengembangan pengetahuan yang demokratis di kelas.
Di sisi lain, pelibatan sosial—dengan proyek sosial dan sejenisnya—adalah cara untuk membangun sensitivitas sosial dan emosional serta nalar kritis terhadap realitas sosial di masyarakat. Pelibatan sosial juga upaya untuk memutus jarak antara sekolah dan masyarakat, agar anak didik tidak tercerabut dari akar sosio-kulturalnya dan paham betul realitas masalah yang riil terjadi. Sementara itu konsep problem-posing adalah pendekatan pembelajaran dengan menggunakan pertanyaan sebagai senjata utama dalam membangun pengetahuan dan kesadaran kritis anak didiknya. Ketiga strategi tersebut sebagai pendekatan utama dalam pedagogi kritis juga menjadi strategi yang digunakan dalam praksis pembelajaran literasi kritis, karena tujuannya sama, yakni membangun kesadaran kritis, dan oleh karena itu pula literasi kritis juga menjadi bagian dari pedagogi kritis.
Akhirnya dengan merujuk pada penjelasan tersebut di depan, upaya revitalisasi pendidikan Pancasila dengan menggunakan perspektif paradigmatik pedagogi kritis dan terutama secara lebih operasional melalui literasi kritis amatlah relevan. Tentu sebagai upaya awal untuk mengenalkan pedagogi kritis pada masyarakat, terutama literasi kritis untuk para guru pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan belum dapat mencakup semua jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karena itu pada modul ini difokuskan untuk mengenalkan pendidikan Pancasila dengan menggunakan pendekatan literasi kritis pada jenjang SD dan SMP. Harapannya tentu setelah ini dapat diperluas pada jenjang SMA dan juga perguruan tinggi. Selain itu, karena literasi kritis sebagai sebuah pendekatan pembelajaran kritis relatif belum banyak dipraktikkan di sekolah-sekolah, terutama untuk membelajarkan nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila, maka terlebih dulu akan dilaksanakan pelatihan pembelajaran menggunakan pendekatan literasi kritis. Di sinilah terutama guru-guru matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah sasaran utamanya.
Sebagai sebuah modul, maka konsep dasarnya adalah menjadi acuan model dalam praksis pembelajaran literasi kritis di kelas. Beberapa jenis teks dan/atau media yang digunakan sebagai contoh di sini bervariasi, mulai dari teks berita di media massa, klip dan lirik lagu, cerita pendek, novel, puisi, gambar, foto, dan film. Berangkat dari beberapa contoh “teks” tersebut, kemudian masing-masing diulas mengenai argumentasi mengapa dan apa keuntunganny? Pengetahuan, nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila manakah yang dikandung dalam teks tersebut? Bagaimana desain sistem dan proses pembelajarannya yang disarankan? Bagaimana tindak lanjut pembelajarannya? Bagaimanakah cara mencari teks-teks tersebut yang tepat sebagai bahan pembelajaran?
Dengan demikian diharapkan guru tidak terpaku pada teks yang diberikan di dalam modul ini, sebaliknya teks-teks yang digunakan dalam modul ini posisinya sekadar sebagai contoh, dan guru silakan mencari sendiri teks-teks serupa yang dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran untuk nilai-nilai, budaya dan ideologi Pancasila tertentu secara lebih spesifik. Di sini lebih ditekankan pada guru mencari teks-teks yang sudah ada dan banyak terdapat di sekitar guru, berita di media massa banyak bisa dicari dari koran-koran dan majalah, klip dan lirik lagu bisa banyak didapat dari internet, gambar dan foto juga demikian, cerita pendek dan novel juga tidak kalah banyaknya ada di toko-toko buku. Walaupun begitu tidak masalah ketika guru ingin mencoba berkreasi membuat teks sebagai bahan pembelajaran secara mandiri. Sementara itu memang dengan teks-teks tersebut guru dituntut untuk dapat kreatif mendesain pross-proses pembelajaran dengan pendekatan literasi kritis, jadi tidak terpaku pada skenario proses pembelajaran yang telah dibuat dalam modul ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H