Â
Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech bisa jadi merupakan titik akumulasi intervensi pihak berwajib terhadap cara berbahasa di ruang publik. SE inipun praktis menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sebagian kalangan yang pro menilai ini adalah langkah yang tepat sebagai upaya preventif menangkal ujaran-ujaran kebencian yang berujung pada permusuhan, konflik sosial hingga disintegrasi bangsa.
Di sisi lain, SE yang ditandatangai langsung oleh pimpinan tertinggi institusi kepolisian ini dinilai sangat tendensius, syarat muatan politik dan berpotensi melumpuhkan kebebasan berpendapat yang notabenenya dilindungi oleh konstitusi. Canggihnya cara manusia modern berinterkasi memungkinkan ujaran-ujaran (utterances) terpublikasi secara masif dan cepat dengan atau tanpa disadari oleh si penutur aslinya. Partisipasi verbal masyarakat terhadap pemerintah dan isu-isu yang sedang hangat dewasa ini semakin meningkat.
Partisipasi tersebut sangat multidimensional mulai dari hanya sekedar mengomentari, memberikan ulasan panjang hingga memberikan kritik. Namun, kebebasan berbicara di ruang publik dibatasi oleh aturan, norma dan etika. Kebebasan berbicara yang dimanifestasikan melalui komentar dan tautan (posting) di media-media sosial selain wajib mengindahkan kaidah informasi juga harus menjunjung tinggi nilai kesantunan berbahasa.
Siapa Yang Diancam?
Sebuah surat edaran resmi dari pucuk tertinggi pimpinan kepolisian yang ditujukan bagi organ dibawahnya tentu memiliki dasar, kajian dan pemikiran yang melatarbelakangi. Langkah Jenderal Badrodin Haiti menerbitkan edaran ini merupakan bentuk penekanan (stressing) bagi polisi untuk lebih aware dan proaktif terhadap penindakkan secara hukum maraknya ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang secara yuridis sebenarnya sudah diatur dalam hukum positif yang berlaku yaitu Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Di dalam KUHP sangat jelas dan tegas mengatur tentang delik hukum dan sanksi bagi siapapun yang melakukan tindakan seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan menyebarkan berita bohong diancam hukuman pidana. Salah satu hal yang membuat edaran ini banyak menuai kritik adalah kemunculannya di tengah-tengah tajamnya sorotan masyarakat dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan kinerja Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Edaran ini dinilai akan memberangus masyarakat biasa (civil society) dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan eksekutif. Namun, apabila ditinjau dari aspek normatif siapapun bisa menjadi korban tidak hanya menteri, pejabat tinggi negara atau presiden.
Kiamatnya Criticisim?
Salah satu hal yang paling kontroversial pada SE Kapolri tersebut adalah pada huruf (h) Â poin 3 disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media diantaranya adalah jejaring media sosial seperti facebook, twitter dan blog mandiri. Situs jejaring sosial adalah media paling digemari di Indonesia dengan lebih dari 63 Juta akun (dikutip dari laman kominfo.go.id). Jejaring sosial tidak hanya berfungsi sebagai koneksi antarmanusia melainkan juga menjadi sarana berbagi, berdiskusi hingga mengkritisi. SE Kapolri ini dikhawatirkan akan mereduksi sikap kritis masyarakat internet (netizen) dalam merespon setiap isu-isu yang berkembang dan kebijakan-kebijakan pemerintah meski tidak satupun dalam poin edaran tersebut menyebutkan criticism sebagai salah satu bentuk hate speech.
Kita sama-sama tahu bahwa sikap kritis sangat diperlukan dalam proses transformasi berbangsa dan berdemokrasi. Mudahnya bertutur dengan Presiden dan para menterinya, kepala-kepala daerah, pejabat pemerintahan, anggota dewan melalui akun resmi masing-masing adalah satu sarana untuk membangun diskursus-diskursus konstruktif untuk bersama-sama memikirkan masalah dan nasib bangsa ini. Berdasarkan pengamatan penulis di diskusi-diskusi media sosial banyak netizen yang membawa konsep, pemikiran dan ide yang justru lebih cemerlang dari postingan sekaliber menteri atau kepala daerah. Oleh karena itu, sikap kritis harus dilihat sebagai check and balance bukan tindakan makar.
Filsuf bahasa J.L. Austin pernah menulis buku berjudul How To Do Things With Words. Salah satu pokok bahasan yang sangat relevan dengan cara kita berbahasa dewasa ini adalah teori ternama di kalangan masyarakat linguistik yaitu Speech Acts. Dalam teori ini terdapat tiga aspek mendasar dalam tiap ujaran (utterances) yaitu locution (bentukan bahasa), illocutionary force (tindakan yang dilakukan melalui ujaran) dan perlocutionary act (dampak dari tindakan). Teori ini menggeneralisasi bahwa semua tindakan bisa dilakukan dengan kata.