Mohon tunggu...
edi sst
edi sst Mohon Tunggu... Guru - Nothing

Belajar di tengah kerinduan membatu yang tak pernah tertuntaskan oleh waktu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antara Darahku dan Darahmu

30 November 2011   05:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:01 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Antara Darahku dan Darahmu oleh edi sst Setelah kutetapkan waktu, kutetapkan kalbu—juga kutetapkan rindu (yang begitu membatu), marilah langkah demi langkah kita ayunkan, tapak demi tapak kita pijakkan, dayung demi dayung kita kayuhkan, butir demi butir keringat kita alirkan meniti dan mendaki. Dalam gemulai rentak lantunan yang memikat, dalam sangsai rancak tarian yang melekat, menuju puncak bukit cahaya. Pegang tanganku, ayunkan langkah berselibat antara darahku dan darahmu, tembangkan gita purnama di taman-taman kahyangan diiringi gamelan lokananta, gending yang mengiring akhir bahagia kisah cinta Arjunawiwaha. Cobalah kau jawab. Setebal apakah keindahan saat bersamamu, sedalam apakah kesejukan saat di sisimu, sehangat apakah pelukan saat kau medekapku, seteduh apakah cahaya matamu saat kau menatapku, senyata apakah mimpi saat kau berada di sampingku. Jawaban itu akan mengukur makna kebersamaan ini, yang akan mengekalkan makna pendar sinar: bulan bundar terkapar di antara darahku dan darahmu; makna siutan angin yang menggugurkan daun-daun atas nama tiktok jarum jam yang menghujam dan menderu. Berterima kasihlah kepada angin. Mungkin dia akan rindu menyampaikan kabar dan salam kepadamu. Itu cerita masa lalu yang menyisakan debu dan noktah-noktah rindu. Rindu yang kini dengan lembut kau maknai satu demi satu. Tahukah kau. Berapa lama kupintal tali itu sambil menunggu angin dingin menyibak gulungan kabut yang menelusupi hari-hari. Kasih, mari kita coba kekuatan tali itu. Marilah mengayun, menebar kedip cahaya kehidupan. Jangan sia-siakan guguran daun-daun itu. Mereka telah mengurai waktu demi waktu, kalbu demi kalbu, juga air bening yang membasahi pipi dalam hening. Mari basahi lidah kelu ini dengan doa-doa purba yang memecahkan dinding waktu warna saga, begitu tua dan papa. Simpanlah aku dalam bilik-bilik hatimu, saat pintu telah terbuka mengalirkan cahaya yang menyatu antara darahku dan darahmu. Meniti tangga memuncak dalam rengkuhan-Nya. Selalu.

Semarang, 2011

gambar dari google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun