Cogito Ergo Sum = I Think, Therfore I Am (Descartes)
Tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu, kalau kepada anak TK atau SD kelas satu di minta menggambar “pemandangan”, maka kita cukup percaya diri terhadap tingginya probabilitas muncul gambar sawah, dua gunung dengan matahari terbit di tengahnya, dan tidak lupa awan biru dengan coretan beberapa ekor burung. Siapa yang menyuruh untuk menggambar demikian ? Barangkali tidak ada. Namun itulah contoh umum yang ada di papan tulis sekolah, yang lalu menjadi mindset bersama bahwa itulah yang disebut “pemandangan.” Tahu, tapi tidak paham.
Sekolah di masa lalu, menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, karena keterbatasan buku dan sumber lainnya. Kalau kita dapat menyerapnya –dengan indikator nilai ulangan dan ujian – kita dianggap telah lulus, berpengetahuan. Dalam konteks pendidikan dasar, semestinya ini cukup relevan, namun persoalannya pola yang sama berlanjut hingga level sekolah menengah, bahkan pendidikan tinggi. Dosen pun mengeluh, karena banyak mahasiswa yang memilih menelan saja apa kata dosen. Yang terjadi adalah proses mengajar tanpa belajar. Mindset belajar adalah mencari nilai dan gelar. Proses belajar bukan dimaknai sebagai indahnya pergaulan dengan ilmu pengetahuan, namun penderitaan dan kerja keras untuk mencari nilai.
Terjadinya dialog ilmu pengetahuan di dalam proses belajar tetaplah menjadi mimpi bila belajar itu dianggap hanya menerima pengetahuan di kelas. Ada perubahan paradigma belajar yang harus terjadi. Pertama, pemahaman arti belajar secara lebih luas dengan melepas guru/dosen sebagai satu-satunya sumber, dengan berdisiplin menggali berbagai sumber (buku, googling, diskusi, media, dan sebagainya). Kedua, perlunya membangun budaya akademik yang mendorong terjadinya dialog (bukan monolog), penghargaan terhadap perbedaan pendapat (dengan argumen yang dapat dipertanggungjawabkan), menempatkan pengajar sebagai mentor dan fasilitator (bukan sebagai sumber yang tidak dapat diganggu gugat) dan memberi ruang pada kreatifitas (bukan keseragaman pendapat).
Menciptakan budaya belajar yang demokratis, tidak dapat tercipta dalam semalam. Ini menjadi tugas penanaman pola pikir keilmuan secara kreatif sejak usia dini. Anak yang terbiasa diajak untuk membicarakan (bukan diberi tahu), berpendapat, dan dihargai pendapatnya akan membiasakan diri untuk bukan sekedar menelan pengetahuan, namun juga mengkritisi dan pada akhirnya mencapai pemahaman. Dengan demikian, pendidikan itu bukan sekedar melakukan transfer knowledge, namun interaksi dengan ilmu pengetahuan.
Perubahan paradigma belajar, bagi mereka yang sampai hari ini masih percaya bahwa satu-satunya gambar pemandangan adalah dua gunung dengan matahari terbit ditengahnya, tampaknya bisa jadi suatu hal yang nyaris mustahil. Karena itu, baiklah kita sadar untuk membiasakan proses belajar yang demikian pada anak-anak kita. Hari ini tak sedikit orang tua yang mengeluhkan TK yang mencoba kreatif dengan pola bermain, sosialisasi dan bersikap untuk membentuk karakter karena dianggap tidak produktif. Di sisi lain banyak yang senang dengan TK yang mengisi anak-anak dengan ketrampilan hitung, baca dan tulis, karena itulah tolok ukur “pintar”. Hasil belajar di sekolah –bahkan ilmu non-eksakta -- masih diukur melalui soal dengan jawaban multiple choice, artinya tidak sependapat dengan pembuat soal dapat berkonsekuensi mendapat nilai jelek. Sejauh mana dialog dengan ilmu pengetahuan itu telah difasilitasi dengan baik?
Guru yang baik adalah mereka yang mau mengajak muridnya berpetualang di dunia keilmuannya hingga bersama-sama menemukan pemahaman, karena itu, marilah kita belajar dulu untuk merubah paradigma tentang belajar sebelum benar-benar belajar.
Bagaimana belajar menurut anda ?
(*) Ditulis sebagai komentar terhadap artikel “Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi : Dari Penguliahan Ke Pembelajaran” oleh Bp. Suwardjono
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H