Mohon tunggu...
Edhi Setiawan
Edhi Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tadinya hanya suka membaca, lama-lama jadi ingin menulis. Semoga bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia Mau Kita Bawa Ke Mana?

21 Agustus 2012   03:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Butir ke-3 dari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Secara politik, Kongres Pemuda II yang kemudian ditutup dengan mengikrarkan Sumpah Pemuda itu merupakan salah satu titik waktu munculnya kesadaran perlunya unsur pemersatu bangsa. Tadinya kesadaran berbangsa masih bersifat lokal, sebagai cerminan Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan bahasa, serta tersebar dalam wilayah yang luas dan terpisah-pisah dalam ribuan pulau. Namun munculnya kesadaran perlunya persatuan kebangsaan dan tanah air Indonesia, menjadikan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu dan telah dituturkan secara terbatas terutama di kalangan ningrat dan bahasa administratif pemerintahan kolonial Hindia Belanda memiliki peran yang penting sebagai bahasa pemersatu. Oleh karena itu, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, ditegaskan dalam UUD bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara.

Ada satu ungkapan yang mengatakan bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Hari ini bahasa Inggris diterima luas sebagai bahasa internasional konon karena sejarah kolonialismenya di masa lalu, menjadikan bahasa Inggris memiliki jumlah penuturnya yang luas, disamping kosa katanya yang lengkap sehingga memenuhi syarat menjadi bahasa internasional di masa kini. Hal yang sama terjadi pula dengan bahasa Perancis, walaupun penggunanya terbatas di Perancis dan bekas koloninya saja. Bahasa Jerman dan Jepang sebagai negara kuat dipelajari di banyak negara, karena kedua negara itu dianggap penting. Seiring dengan meningkatknya kekuatan ekonomi Cina, di banyak negara orang-orang mulai berminat mempelajari bahasa Mandarin dengan alasan ekspansi bisnis, bukannya memaksa orang Cina berbicara bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa Cina pun mulai diperhitungkan.

Lalu bagaimana kita sebagai bangsa Indonesia memaknai bahasa Indonesia saat ini ?

Berbicara tentang bahasa Indonesia tidak terlepas dari posisi strategis negara Indonesia di mata dunia. Jembatan emas untuk mempelajari Indonesia adalah dengan mempelajari bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari oleh tetangga ASEAN kita, namun juga di Australia, Belanda, Kanada, dan bahkan di Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa posisi Indonesia dianggap cukup penting, paling tidak secara ekonomi. Jumlah penduduk Indonesia yang termasuk 5 besar di dunia, merupakan potensi pasar yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diatas 5% per tahun adalah wilayah yang sangat menggiurkan sebagai tujuan investasi. Sebagai negara terbesar dari segi jumlah penduduk dan luas wilayah di ASEAN, seharusnya secara politik Indonesia sangat diperhitungkan di tingkat ASEAN. Tidak heran, Indonesia cukup berambisi untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN. (bisa dibaca di sini)

Adanya potensi menjadikan bahasa Indonesia sebagai menjadi bahasa internasional ini nampaknya justru belum terlihat dukungannya di dalam negeri sendiri. Paling tidak beberapa indikator dapat kita lihat di sekitar kita sebagai berikut :

Pertama, kampanye berbahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya semakin lama semakin menghilang. Pengajaran bahasa Indonesia kepada masyarakat luas tampaknya tidak lagi menjadi perhatian kita bersama. Jaman dulu siapa yang tidak mengenal nama Jus Badudu yang setiap minggu mengasuh acara bahasa Indonesia di televisi ? Hari ini televisi kita melalui para pembawa acara maupun sinetron-sinetron mengajarkan bahasa alay dan bahasa “lu-gue” yang dituturkan bukan dalam konteks bahasa daerah, yang pada akhirnya dianggap sebagai bahasa yang "gaul", lalu menjadi baik dan benar. Penyiar radio di daerah pun ikut-ikutan ber-“lu-gue” walaupun dengan logat Jawa yang kental. Belum lagi fenomena menarik yang saya lihat dari nilai UN anak SD (paling tidak di sekolah anak saya) menunjukkan dari 3 mata pelajaran yang diujikan, pelajaran Bahasa Indonesia bukan menempati rata-rata nilai tertinggi. Jadi ?

Kedua, kurang terlihatnya daya dukung untuk menginternasionalkan bahasa Indonesia dengan terus melakukan penyempurnaan dan penambahan kosakata baru. Sebaliknya justru dari para pejabat sampai pebisnis semakin banyak memasukkan kosa kata bahasa Inggris dalam bertutur bahasa Indonesia. Apakah memang bahasa Indonesia tidak memiliki padanan kata untuk menggantikan kata-kata yang mulai umum dituturkan dalam berbahasa Indonesia seperti kata which is, clear, yes, no, dan lainnya ? Bukankah kita sering mendengarnya ? Atau barangkali nama-nama perumahan dengan embel-embel semacam regency, city, estaste, square dan sebagainya? Apakah bahasa Indonesia mutakhir itu sama dengan bahasa Indonesia gado-gado? Jangan-jangan ini mencerminkan kerendahan diri sebagai manusia Indonesia, bermental “inlander” seperti jaman penjajahan Belanda, yang merendahkan ke-Indonesiaan dan meninggikan bahasa asing ?

Ketiga, dunia pendidikan kita yang mencoba maju selangkah dengan model RSBI yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di kelas-kelas sekolah SMP maupun SMU patut dicermati bersama. Tentu saja penting menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dan keilmuan internasional, namun bila tidak diikuti dengan pembelajaran bahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka kita hanya akan menghasilkan generasi yang meninggalkan bahasa Indonesia. Bukankah hari ini generasi itu sudah mulai terbentuk? Berapa banyak dari kita yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi mulai berbahasa Inggris dengan anak yang bersekolah di sekolah internasional hingga anak-anak itu menjadi gagap berbahasa Indonesia ?

Saya pun masih kurang percaya diri menulis artikel ini, semoga cukup memenuhi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu sebaiknya saya sudahi di sini, dengan ucapan selamat menyambut bulan bahasa di bulan Oktober nanti, marilah kita berusaha untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun